Thursday, October 8, 2015

Manajemen Ekspektasi

My life seems like an endless hurdle race. Lari halang rintang. Dengan ekspektasi sebagai halangannya. Mulai saat kita lahir, orang mengharapkan kita untuk menangis. Sedikit lebih besar; kita diharapkan merangkak, berjalan, membaca, sehat, ceria, pintar, ramah, dan serentetan ekspektasi lainnya.

Adopsi Insecurity
Ketika kecil mungkin efek samping dari ekspektasi ini tidak terlalu bisa kita rasakan. Paling ya kita menganggap ekspektasi-ekspektasi eksternal terhadap kita ini sebagai suatu kewajaran. Keniscayaan. Orang masuk sekolah ya memang harus dapat nilai bagus. Kalau sampai dapat nilai merah itu dosa besar. And that's why we strive as best as we could to achieve expectations that is not necessarily be ours. But we adapt. And we adopt the expectations as if they were our own.

Am I ugly? Am I rude? Do people hate
me? Oh shit! I'm overthinking it, am I?
I'm being irrational, am I?! AM I??!!

(Credit: Disney)
Semakin dewasa, baru mulai kita menyadari kalau menghadapi semua ekspektasi ini menyebalkan. insecurity orang-orang di sekitar kita. Nah, yang menyebalkan insecurity ini bisa menular. Okelah kalau beberapa dari mereka punya alasan yang cukup rasional. Tapi kebanyakan ekspektasi tersebut sebenarnya cuma proyeksi dari

Let me give you an example. Gue sih nggak masalah Body Mass Index gue cuma 17.1. Toh gue nggak lagi masuk rumah sakit dua kali setahun. Toh gue nggak lagi mengurung diri di kamar sampai berminggu-minggu dan hidup cuma dari indomie dan The Sims. Tapi kok semua orang bilang gue terlalu kurus ya? Oh shit! Maybe I do need to gain some weight. Gitu.

And it doesn't matter how badass you are. You can have a Ph.D. from a distinguished university, have a bombshell look, and a ridiculously kind heart; still, people will find something wrong with you. "Ya ampuuun, umur segitu belum nikah? Nyarinya pasangan yang kayak apa sih?" said the schadenfreude on the next table. (Nggak kok, Kakak Yenny, aku gak ngomongin kamu. Mumumumuuuu...) Sayangnya menjawab "Nggak kayak pasangan kamu yang agak bodoh itu pastinya!" itu nggak socially acceptable.

Menyebalkan sebenarnya. Orang-orang membungkus ekspektasi-ekspektasi ini dalam kerangka kepedulian, when in fact they are just looking for something to make their sad little life feel a bit more bearable. I pity you, people. Because you feel the need to make people feel bad for the choices they make. Even worse, you don't even realise that you are doing it.

Komodifikasi Ekspektasi 
On a slightly different note, yang namanya ekspektasi ini tampaknya juga telah diinstitusionalisasi dan dikomodifikasi. Ekspektasi tidak cuma dibebankan pada kita oleh individu; tapi juga oleh komunitas, institusi, dan korporasi. Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke salah satu toko t-shirt kenamaan dunia karena saya niat banget mau beli baju kembaran dengan teman baik saya (sebut saja Mas D dari kota S) yang fans berat merk ini. Waktu saya tanya ukurannya, Mas D bilang "XS, soalnya S-nya kegedean di aku." Padahal si Mas D ini sekarang udah chubby-chubby lucuk gitu.

That is not an XL body, famous brand!
Seriously, what's wrong with you?!*
(Selfie credit: Mbak A dari kota A)
Dengan semangat 45, pergilah saya ditemani dua orang dekat saya (halah) ke toko tersebut. Saya ambilkan kaos ukuran XS buat Mas D. Besar juga ternyata. Setelah itu saya coba juga ukuran perempuannya untuk saya. Ternyata XS kekecilan, saya harus beli yang ukuran S. Sempat berpikir, "Hmmm.. aneh deh. Emang ada ya orang yang ukurannya lebih kecil dari gue?" But then I simply shake the feeling off.

Beberapa hari kemudian, saya menemani seseorang ke toko yang sama (sebut saja Mbak A dari Kota A). Nah, si Mbak A ini ukurannya sedikit lebih besar dari saya, tapi tetap saja dia masuk kategori kurus. Beneran deh. Ask anybody (except her). Ketika dia coba-coba kaos super keren yang kami lihat pas saya beliin baju buat Mas D, I was shocked to learn that Mbak A harus beli kaos ukuran XL. Padahal XL itu ukuran paling besar, dan berdasarkan perkiraan ngawur saya, sekitar 70% populasi perempuan Indonesia ukurannya lebih besar dari Mbak A. Maybe I'm overreacting. Cuma kok kayaknya nggak adil ya? Laki-laki diijinkan untuk berbadan besar sementara perempuan dibuat merasa bersalah kalau nggak kecil.

Thin Is Also Beautiful, Damnit!!!
Don't get me wrong, berdasarkan pengalaman saya punya badan kecil nggak enak juga. Orang mengira kita diet ketat, membatasi makan, maniak olahraga, bahkan ada satu orang yang pernah nanya ke saya: "Are you anorexic?" Pengen jawab: "Did you learn your manner in hell?" tapi itu juga nggak socially acceptable. Darn!

Ya emang sih, saya makannya sedikit. Sedikit-sedikit makan. Tapi sakit juga loh kadang-kadang liat tulisan-tulisan yang bilang "big is beautiful, thin is fake." Kenapa sih nggak bisa bilang we are beautiful without needing to be someone we're not? Yes, I'm looking at you right in the eye, Meghan Trainor! *evil stare*.

Oh iya, saya minta maaf ya tulisan kali ini menggunakan lebih banyak bahasa Inggris daripada biasanya. Somehow, misuh pakai bahasa Inggris itu lebih enak. Nggak berasa terlalu kasar.

------------------------------------------
* gambar di kaos disensor supaya nggak kena pasal 310 KUHP #lebayyoben

Sunday, June 28, 2015

To Live is To Love



"To make those rainbows in my mind
When I think of you some time
And I want to spend some time with you" 

***

Jatuh cinta itu perasaan yang sangat menyenangkan, bukan? That sense of excitement, that constant urge to smile, that longing for one more text from the person, that sting of jealousy seeing the person talking with another. Saya sih bukan orang yang romantis-romantis amat ya, tapi buat saya, being in love makes me a better (and a slightly more stupid) person, and I LOVE it. Saya juga senang melihat orang lain jatuh cinta. Buat saya tidak ada yang lebih hidup daripada orang yang sedang jatuh cinta. And I think every single thing about falling in love is worth the emotional roller coaster.

Dan atas alasan tersebutlah maka saya bergembira ketika hari Jumat kemarin secara nasional Amerika mengakui pernikahan sesama jenis. Kalau kata salah satu kolega saya di facebook: "Yang terjadi di amerika hari2 terakhir ini bukan sekedar urusan kawin, tapi bagaimana sistem hukum merespon hak asasi manusia, bagaimana penegak hukum memberi makna baru bagi teks2 hukum dan jurispridensi, dan yang paling penting adalah bagaimana agama tidak masuk dalam sistem hukum." (Pratiwi, 2015).

Buat saya, dengan memberikan pengakuan bahwa komunitas LGBTQ berhak untuk melakukan pernikahan antara mereka, pemerintah Amerika memaksa banyak warganya untuk mengakui apa yang mereka tolak untuk akui: bahwa kelompok ini ada.

***

Manusia selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dengan caranya sendiri. Setiap hal yang dilakukan manusia selama hidupnya didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat hidup mereka lebih baik. Meskipun kadang dalam proses tersebut, mereka mengambil jalan yang dapat merusak diri mereka sendiri dan orang lain. Untuk meyakinkan diri bahwa jalan yang dilakukan sudah benar, kita meliyankan orang lain. Menempatkan mereka sebagai kontras untuk memberi gelap pada hidup kita yang kita anggap terang. You can do all in your power to deny it, but deep down inside, you know I'm right. =P

Jauh lebih mudah memang, untuk meyakini bahwa yang kita lakukan benar dan yang dilakukan orang lain salah. I know, because sometimes I do that to superficially makes me feel better for a while. Mengerikan membayangkan bahwa hal yang kita percayai sesungguhnya bukan hal yang benar. Sayangnya, kita tidak akan pernah benar-benar tahu mana yang namanya kebenaran mutlak. Yang bisa kita ketahui hanya realita kita, dan realita sangat dipengaruhi oleh subjektivitas.

Photo credit: Blue Snapper
Sekarang siapa sih yang bisa bilang kalau dia benar-benar tahu apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang yang jatuh cinta sama sesama jenis? Like, for a fact? Meskipun kita tidak ingin mengakuinya, kenyataannya all that we know about sin are just secondhand information. They are merely things we know from everyone else. Tidak setuju? Yakin sepenuh hati LGBTQ bakal masuk neraka? Situ pernah ketemu Tuhan dan ngobrolin soal ini? Nggak juga kan?

Saya tidak akan memaksa kalian meyakini bahwa diakuinya pernikahan sejenis di Amerika adalah hal yang baik. Kalian berhak mempunyai pendapat kalian masing-masing. Besides, I have realised for a long time that I cannot control what other people think or do. Even though the world will be a lot better if I can.

***

Anyway, salah satu teman juga menanyakan di status facebooknya apakah kami (yang memasang rainbow pride sebagai foto profil kami) akan menerima apabila anak kami suatu saat mengakui bahwa dirinya gay dan ingin menikahi pasangannya. Percaya atau tidak, saya sudah menanyakan pertanyaan ini pasa diri saya sendiri, ketika saya memikirkan apakah aya betul-betul sepenuhnya menerima dan mengakui LGBTQ. 

Saya sudah melihat bagaimana beratnya menjadi gay di dalam lingkungan yang tidak bisa menerima mereka. Saya juga melihat bagaimana pasangan gay bisa bahagia. Jauh lebih bahagia dari kebanyakan pasangan heterosexual; dan mereka yang diterima oleh keluarganya juga jauh lebih bahagia lagi. Dan buat saya, sangat penting melihat anak-anak saya (mengasumsikan akan ada ya) bahagia.

Friday, May 22, 2015

One Less Problem Without You


"You're saying that you know but I really really doubt you..."

Saya masih belum memutuskan apakah saya suka atau tidak dengan Ariana Grande. Di satu sisi, saya merasa terganggu dengan bagaimana dia menyalahgunakan falsetto di kebanyakan lagunya, tapi di sisi lain, saya menganggap lagu-lagunya adiktif dan menantang untuk dinyanyikan di karaoke. Meskipun, yah, saya selalu gagal dengan sukses ketika berusaha menyanyikan lagu-lagunya.

Tapi tenang. Tulisan ini bukan mengenai Ariana Grande, lagu, apalagi karaoke. Saya mau bicara soal masalah. Sepertinya semua orang punya masalah. Kalaupun ada orang yang tidak punya masalah sama sekali, saya belum pernah menemukannya. Meskipun yang merasa tingkah lakunya tidak bermasalah (padahal iya) ada banyak.

Mine And Mine Only
Masalahnya masalah adalah, mereka sangat personal. Masalah bukanlah sesuatu yang bisa dinilai dengan menggunakan nalar publik. Seberapa besar suatu masalah akan sangat tergantung pada pengalaman, pengetahuan, perasaan, dan keadaan seorang individu yang mempunyai masalah. Suatu hal bisa jadi masalah bagi seseorang, tapi merupakan hal remeh buat orang lain; dan itu wajar saja. 

Credit: Shannon Sophia
I found this picture in this article in BuzzFeed.
Let's take freedom of speech for example. Buat sekelompok orang, kebebasan berpendapat adalah hal yang prinsipil dan tidak bisa dikompromikan; untuk kelompok yang lain mungkin kebebasan berpendapat bisa jadi hal yang kontekstual, ada kalanya kebebasan ini harus dikekang; sementara sekelompok yang lain mungkin tidak merasa ada kebutuhan untuk berpendapat bebas, selama hidupnya nyaman.

Karena sangat personal itulah, yang seringkali terjadi adalah orang-orang dengan satu pandangan tertentu akan cenderung mencibir orang yang posisinya berbeda. Nggak apa juga sih. Toh kita diberi kemampuan menilai (entah oleh siapa) supaya kita bisa menentukan ke arah mana hidup kita mau dibawa (more on being judgemental can be found in this article). Saya pikir normal apabila kita berpikir "Oh, gitu doang?" ketika kita mendengar soal masalah orang lain (yang kemudian diikuti dengan perasaan superior karena kita sudah melalui hal yang lebih berat. Hahaha...). Hanya saja kita perlu ingat kalau no matter what you think, the problem is really real to them, and you have no rights to say otherwise

Karena itu, saya pikir kita tidak mungkin bisa membandingkan masalah siapa yang lebih parah, karena setiap orang menghadapi masalahnya dengan cara yang berbeda. Sia-sia saja apabila kita berusaha menilai dua hal yang berbeda dengan set indikator yang sama. Beberapa hari lalu ada seseorang yang berkata kepada saya: "Terus kalau dia ada masalah, gue harus memaklumi, gitu?" Enggak lah! Nobody can tell you what to think. Semua orang berhak punya pendapat. Hanya saja di sisi lain, kita tidak bisa menyangkal bahwa setiap orang punya masalah dan mereka butuh waktu dan ruang untuk meresapi (sebelum akhirnya menyelesaikan) masalah mereka sendiri.

Sharing is Caring
Konon katanya, kita tidak boleh menceritakan masalah kita ke orang lain karena 20% orang tidak peduli dan 80% orang lainnya senang mendengar kita punya masalah. Saya tidak setuju. Menceritakan masalah kita ke orang lain yang kita percaya merupakan salah satu mekanisme penting untuk menjaga kewarasan kita. Saya bukan orang yang mudah percaya dengan orang lain, saya secara ketat menyeleksi orang yang saya anggap kompatibel untuk menjadi teman-teman saya dan saya hanya menceritakan hal-hal tertentu kepada orang-orang ini. Dari mereka saya berharap mendapat penilaian jujur, tapi orang-orang yang ada di lingkar dalam saya sekarang tidak akan pernah mengatakan bahwa masalah saya itu remeh. Karena, sekali lagi, mereka menyadari kalau masalah itu nyata untuk saya, and that's all that matters to them *peluk satu-satu*.

Nicholson. Need I say more?
Credit: 9GAG
Omong-omong, satu hal yang saya sadari setelah saya terjun ke dunia kerja adalah ketika manusia punya masalah dengan seseorang, kita punya kecenderungan untuk tidak mengonfrontasi orang tersebut secara langsung, tapi lebih memilih mengeluh ke orang lain yang tidak ada hubungannya. Saya sendiri merasa saya orang yang cukup frontal menyuarakan pikiran , meskipun saya sadar tidak semua orang bisa menerima pendekatan saya. Makanya saya nggak punya teman kali ya? But bitterness aside, terutama dalam lingkungan profesional, saya pikir akan lebih sehat kalau kita langsung bilang ke orang yang bersangkutan deh, kalau kita punya masalah. Ya nggak sih gaes? *macak bijaksana*

Tuesday, May 12, 2015

Antara Hak dan Pilihan untuk Menyakiti

Di penghujung minggu kemarin, kantor saya menggelar sesi diskusi dengan kelompok LGBT. Tujuannya simpel, untuk memanusiakan teman-teman dari kelompok ini di mata teman-teman kantor. Selama ini kita menganggap bahwa kita berpikiran terbuka terhadap teman-teman dari kelompok marjinal ini, tapi berapa banyak dari kita yang secara sadar pernah berinteraksi dengan mereka? Dengan mendatangkan teman-teman dari kelompok LGBT ke hadapan kami, kantor kemudian memberi wajah kepada sebuah fenomena yang sebelumnya abstrak. Ini lo, wujudnya kelompok marjinal ini. Mereka bukan semata sebuah wacana yang diciptakan untuk menggugah kesadaran kita.

SETUJUUU..!! *lah, semangat*
Gambar diambil dari laman Facebook seorang kawan.
Nggak tahu beliau dapat dari mana.
Saya sendiri sudah cukup banyak berinteraksi secara sadar dengan teman-teman LGBT. Saya tahu mereka gay dan kami tetap bisa menjalin pertemanan yang bermakna. Buat saya sih tidak ada bedanya LGBT dengan orang-orang "normal". LGBT bisa jatuh cinta dan juga punya preferensi dalam menentukan penampilan. Toh seperti yang dikatakan bos saya tadi pagi, "Di beberapa wilayah, orang yang berpakaian berbeda kayak kamu ini ya bisa dimarjinalisasi dan diusir dari komunitas." Iya sih. Tidak perlu beda-beda banget untuk membuat orang lain merasa tidak nyaman. Kadang perbedaan kecil saja bisa dipermasalahkan. Masalah simpel sebenarnya, sayangnya mayoritas orang nampaknya punya hobi untk membuat suatu masalah lebih rumit dari aslinya.

The Unexpected Question
Di akhir sesi diskusi ini, salah satu teman transgender melempar pertanyaan: "Apabila suami/istri kalian kepergok sedang 'berhubungan' dengan orang sesama jenis, apa yang akan kalian lakukan?" Pertanyaan yang menarik sekali. Untuk saya sih simpel. Ini sama sekali bukan masalah preferensi seksual. Ini masalah kejujuran, respek, dan juga pilihan sadar.

Reaksi saya kalau hal itu terjadi? Ya ngamuk lah! Dalam hubungan yang sifatnya eksklusif, mbok mau 'hubungan' ini dilakukan pasangan dengan orang dengan jenis kelamin lain maupun sama, saya bakalan tetap ngamuk. Kenapa? Karena ini masalah integritas. Kecuali ada konsesi bahwa ada ruang-ruang untuk orang lain dalam hubungan, maka setiap orang yang terlibat dalam hubungan tersebut dituntut untuk berusaha mempertahankan komitmen. Karena ketika membuat komitmen, ada implikasi dan konsekwensi yang inheren dengan komitmen tersebut. Salah satunya ya dengan cara mengontrol libido dan mengambil pilihan yang sejalan dengan komitmen tersebut. Asumsinya, setiap orang yang sudah dewasa bisa mengerti ini. Tapi ternyata ya nggak juga tuh. *eh, curcol*

OK!! Eh, apa tadi?
Credit: IFAD
Honesty is The Best Policy
Saya mendengar hal menarik ketika menonton salah satu serial di TV kabel beberapa hari berselang: "The only thing that we can control in a relationship is our own honesty. We can only hope that the other person will do the same." Sebuah hubungan yang bermakna; entah itu hubungan asmara, pertemanan, profesional, atau apapun itu; harus dilandasi oleh kejujuran, yang mana akan mengarah kepada rasa saling percaya. And trust requires constant maintenance.

Saya ingat ketika saya melamar di organisasi saya sekarang. Salah satu pertanyaan bos saya ketika itu adalah "Do you know about logframes?" dan dengan PD saya menjawab: "No. What is that?" Keputusan tepat untuk dilakukan, if I might say so myself. Karena tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari, dan dengan jujur tidak akan ada ekspektasi yang tidak sesuai. Toh saya tetap diterima di posisi yang saya lamar, jadi saya mengasumsikan bahwa kejujuran saya diapresiasi. Hahaha...

R.E.S.P.E.C.T
Balik lagi ke pertanyaan tadi. Salah satu teman saya menjawab bahwa apapun yang terjadi, ya sebagai orang terdekat kita harus tetap mendukung. Well, good for you if you can do that, Mas. Terus terang saya mengatakan bahwa saya tidak akan bisa melakukannya. Dan saya juga tidak mau. Does that make me a homophobic? I don't think so. It made me a person that deserves to be treated with respect.

Berbeda dengan keluarga biologis yang sifatnya given, pernikahan merupakan buah dari keputusan yang dibuat secara sadar. Dengan memutuskan untuk menikahi seseorang dari jenis kelamin yang berbeda, bahkan ketika kita mengetahui bahwa kita lebih tertarik (dan juga kompatibel) dengan sesama jenis, kita secara sadar memutuskan akan mengorbankan pihak yang kita nikahi; karena in one way or the other, akan ada pihak yang terluka. Buat saya, ini tidak adil. Ceritanya akan berbeda ketika dari awal ada arrangement antara kedua belah pihak. Yang penting (buat saya, paling tidak) adalah memberikan counterpart pilihan untuk ikut dengan skema yang ditawarkan atau mencari opsi lain yang lebih sesuai.

Post-Script
 
Credit: CultNoise Magazine
As a side note, ketika saya menanyakan pertanyaan ini ke salah satu teman yang closeted gay, dia menjawab: "Ya gua bakal minta cerai lah!" Tidak masuk akal buat saya, tapi bisa saya maklumi juga sih. Buat saya mengagumkan bagaimana tuntutan masyarakat bisa mempengaruhi pilihan seseorang untuk bersikap. Bagaimana kemudian ekspektasi publik bisa memaksa orang untuk menyangkal dirinya, dengan cara yang tidak positif.

As another side note, diskusi kemarin menjalar ke diskusi-diskusi informal lain. Di setiap diskusi tersebut, orang-orang yang berdiskusi dengan saya selalu menggunakan kata 'kita' dan 'mereka' dalam pembicaraan. Bahkan bagi orang yang bekerja di "organisasi berbasis hak" seperti tempat saya bekerja, masih sulit untuk tidak meliyankan kelompok marjinal. Tanpa kita sadari, pola pikir "ya, hal tersebut ada, tapi tidak di sekeliling saya," sebenarnya juga merupakan salah satu upaya menyangkal keberadaan kelompok marjinal. Padahal siapa coba yang bisa memastikan kalau yang diajak bicara itu juga bukan LGB? Barangkalicuma nggak ngomong aja.

Monday, April 20, 2015

Guru Bangsa Tjokroaminoto: Perjalanan Menuju Hijrah

Saya menyalakan laptop malam ini dengan niatan mulia untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Tapi setelah saya pikir-pikir, sepertinya tidak apa saya tunda barang setengah jam lagi sementara saya membuat tulisan yang sejak semalam ingin saya keluarkan dari kepala ini. Hehehe..

Kemarin saya dan dua teman saya melakukan rangkaian perjalanan impulsif. Lapar, lalu pergi makan di tempat makan baru dilanjutkan karaoke di tempat beraroma tradisional-nasionalis yang belum pernah kami coba sebelumnya. Perjalanan impulsif kami mencapai klimaks ketika kami memutuskan untuk menonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto (sejak saat ini akan dikenal sebagai Tjokro) malam harinya. Dengan cotton sleeveless top dan celana pendek, tanpa membawa jaket. Baru menyadari kemungkinan hipothermia ketika sudah sampai di teater.

Credit: DK
Oke, mungkin perjalanan kami kemarin tidak bisa dibandingkan dengan perjalanan melintasi Sahara atau mendaki Pegunungan Aspen. But for me, it's those kinds of simple deviation from routines that keep my life interesting.

***

Sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan Soegija. Terutama, karena Soegija tidak bisa memenuhi ekspektasi saya (for the sake of traffic, silahkan baca artikel ini).  Jadi, saya masuk ke ruangan teater sambil berpikir: "Sama Soegija bagusan mana ya?" Dan setelah menonton film Tjokro, saya merasa bahwa film ini jauh lebih menarik untuk saya. Bukan, bukan karena sekelibat adegan Reza Rahardian menunggang kuda menggunakan beskap dan blangkon. Paling tidak bukan itu alasan satu-satunya.

Satu hal yang saya sadari ketika menonton film Tjokro adalah betapa gagalnya kurikulum sejarah nasional bangsa Indonesia. Saya ingat belajar soal H.O.S. Tjokroaminoto di sekolah. Tentang SDI yang berubah menjadi SI, terpecah menjadi dua, dan menjadi cikal bakal PKI. Tapi ketika itu saya sama sekali tidak tergugah dengan kisah beliau. Mungkin karena saya juga masih sangat muda kala itu dan belum bisa memahami kompleksitas dinamika sosial-politik-ekonomi yang dihadapi tokoh-tokoh di buku sejarah. Meski demikian, saya pikir sebagian kesalahan ada pada kurikulum sejarah yang terlalu memberi penekanan pada segi kronologis dan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Sayang, padahal apabila disampaikan dengan metode yang tepat, kisah sejarah dapat menginspirasi generasi muda dan menumbuhkan nasionalisme. Jauh lebih efektif daripada upacara bendera seminggu sekali.

***

Laki-laki cerdas nan tampan, berkharisma
kuat, berwajah lokal, berpakaian tradisional,
dengan aura cenderung kekirian. *kipas2*
Ada satu masalah yang dihadapi setiap sineas yang ingin menceritakan kisah sejarah: mencari keseimbangan antara akurasi kisah dan daya tarik komersil. Dalam hal ini, saya pikir film Tjokro cukup berhasil menemukan keseimbangan tersebut. Sebagaimana film besutan Garin lainnya, Tjokro memanjakan saya dengan sinematografi yang luar biasa dan musik-musik yang membuai telinga. Di sisi lain, plot cerita film ini dengan sukses menggelitik saya untuk meng-gugel hal-hal yang berkaitan dengan kisah sejarah yang terjadi pada masa itu.

Jejeran artis Indonesia ternama yang ditawarkan film ini jelas tidak mengecewakan. Ada Reza Rahardian yang, meskipun overexposed, mampu berakting dengan apik; Sujiwo Tejo yang dramatis (saya masih suka mendengarkan lagu-lagu beliau dari masa sebelum beliau kenal twitter); Alex Komang yang saya masih tidak percaya telah tiada; Ibnu Jamil dan Christine Hakim yang dialeknya sangat believable *standing applause*; dan serentetan artis lain yang sukses menghidupkan narasi cerita ini. Berbeda dengan Soegija, interaksi antar tokoh dalam film Tjokro terasa cair dan tidak dipaksakan. Dengan perkecualian satu tokoh yang, menurut teman saya, dimasukkan dalam cerita dalam rangka menjaring massa MBDC.

Hal lain yang membuat saya senang menonton film ini: berbeda dengan Soegija yang terkesan menglorifikasi perang, perjuangan yang diangkat di film Tjokro jauh lebih terasa dekat. Rasa frustrasi yang dirasakan para tokoh, pilihan-pilihan strategis yang dibuat, kesempatan untuk menyerap semangat dan ilmu serta mengembangkan pemikiran kritis, dan di sisi lain juga melepaskan diri dari mentor yang selama ini membimbing buat saya jauh lebih relatable daripada adegan-adegan perang yang mendapat sorotan di film Soegija. Lebih respectable juga.

***

Doe-eyed, clingy girl that plays victim to get
men's attention. Sorry girl, I don't buy it!
(Credit: Mara Carr)
Kelemahan paling buruk dari film ini menurut saya adalah tokoh Stella yang entah kenapa sama sekali tidak masuk dengan sisa plot cerita. Sayang sebenarnya, karena dibandingkan plot Soegija, plot Tjokro jauh lebih mengalir. Dengan catatan tidak ada satu pun adegan Stella di dalam film ini. Terus terang saja saya bingung apa relevansi tokoh Stella. Oke, dia membawa narasi penting mengenai identitas, tapi terus terang saja kehadiran tokoh ini terasa dipaksakan. Setiap kali tokoh Stella berinteraksi dengan tokoh Tjokro, yang ada di pikiran saya adalah: "Dek, nggak lihat po, omnya lagi sibuk?"

Apabila beliau didasari atas tokoh nyata, I think she has been unfairly portrayed, karena Stella dalam film Tjokro  tampak seperti fangirl dengan daddy issue yang mengikuti kemana saja Tjokro pergi dan mencari kesempatan untuk bicara barang sebentar dengan ksatria berkuda putih yang dianggapnya bisa menyelamatkan dirinya dari dunia yang kejam. Dan kalau beliau hanya tokoh rekaan, saya pikir tokoh Mbok Tun bisa dengan lebih efektif menyentil isu identitas tanpa harus buang-buang air time.

Kelemahan lain ada di inkonsistensi. Apabila mau menekankan penggunaan bahasa daerah, akan lebih baik apabila bahasa daerah tersebut digunakan dengan konsisten. Apabila tidak bisa membedakan penggunaan bahasa kromo dan ngoko, serta dialek Jawa Timur dan Yogyakarta, ada baiknya gunakan saja bahasa Indonesia.But then again, saya sukaaa gojek kere yang ditampilkan di sepanjang film.

All in all, quite a good movie (setelah semua adegan menyangkut Stella dihilangkan ya). Watching the movie, I can't help to feel amazed by the characters and the life they are living, the determination they are feeling, and the struggle they are facing.<3

Friday, April 10, 2015

Judge Not Lest Ye Be Judged

Sebagaimana layaknya perempuan produktif di akhir usia 20an masa kini, saya menghabiskan Sabtu pagi dengan menjelajahi linimasa. Dan ketika sedang mengamati twitter, saya menemukan salah satu teman kuliah saya menuliskan twit berikut ini: "Some people don't want to be judged. Yet they, in fact, judge other people :)..."

Hypocritically Open Minded
Menarik. Berkat Yesus (atau lebih tepatnya, interpretasi Lukas atas perkataan Yesus) banyak orang jadi terobsesi untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya berpikiran terbuka dan "nggak nge-judge" orang lain. Pemikiran ini; menurut saya; naif dan sedikit hipokritikal.

Yes. I read the bible to, once upon a time.
Photo by Melissa Johnson

Konon katanya manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang memiliki akal, pikiran, dan kehendak bebas. Ketiga hal ini memberikan kita kemampuan untuk menimbang dan membuat pilihan. Dan seberapapun kita ingin menyangkal hal ini, dalam proses menimbang dan membuat pilihan tersebut, kita pasti membuat penilaian atas hal di luar diri kita, termasuk juga atas perilaku dan reaksi manusia lain.

Coba saya ilustrasikan. Misalnya saja kita tahu kalau seseorang punya riwayat mengelapkan uang, pasti kita tidak akan menawarkan beliau posisi sebagai bendahara di organisasi kita kan? Contoh lainnya, ketika kita tahu seseorang punya kecenderungan melakukan kekerasan, apakah kita akan mau menjadi pasangan hidupnya? Kalau saya sih no, nggak tau kalau Mas Dhani. #eh

Judging is Inevitable
Fact is, we judge. Setiap saat dalam hidup kita, kita menilai segala sesuatu di sekeliling kita. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Setiap penilaian yg kita buat atas situasi, lokasi, dan orang lain menentukan kemana kita akan membawa hidup kita. Karena ketika tidak melakukan penilaian, kita akan menjadi orang yang plin-plan. Dan itu bukan kualitas yang menurut saya baik untuk dimiliki oleh siapapun.

Hmmm.. A gun does kill faster..
Picture taken from this page.
Bagian-bagian lain dari alkitab bahkan mengatakan kita untuk menilai orang lain. Dalam injil Yohanes dikatakan "Janganlah menghakimi menurut apa yang tampak tetapi hakimilah dengan adil." (Nah, kalau ini saya nggugel). Jadi sesungguhnya bukan tindak penghakimannya yang tidak boleh dilakukan, tapi tindak penghakiman yang cetek, bodoh, dan tidak adil.

Saya pribadi berpikir bahwa menilai orang lain adalah hal yang secara natural akan kita lakukan. Meski demikian, kita harus selalu ingat bahwa yang kita hakimi itu juga manusia. Dengan hak untuk menentukan kehidupannya sendiri. Dan oleh karena itu, meskipun kita berpikir bahwa dia melakukan tindakan yang salah, kita harus tetap menyadari kenyataan bahwa bukan hak kita untuk memulihkan jalan hidup untuk orang lain. Intinya? Respek! Selalu ingat bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar, komentar yang tidak boleh dikatakan, dan pilihan yang tidak boleh dipaksakan.

And Finally, Screw You!
Picture by aunty acid.
Ya, saya menilai orang lain. Dan saya tahu bahwa orang lain juga menilai, dan bahkan meremehkan saya. But you know what? I don't care. Saya tahu kalau ini hidup saya, dan saya punya hak prerogatif untuk menentukan hidup ini mau saya bawa kemana.

Saturday, April 4, 2015

Memuji Atau...

Hari ini saya menemukan artikel ini dan mempelajari istilah baru: backhanded compliment. Backhanded compliment adalah ketika seseorang memberikan pujian pada seseorang, tapi tanpa sadar sebenarnya di saat yang sama juga sedang mengritik orang yang sedang dipujinya. Kalau mau diterjemahkan, mungkin bisa dikatakan pujian nyinyir ya? Sebenarnya kejadiaan ini bukan hal baru sih buat saya. Selama hidup entah sudah berapa orang, baik yang dekat maupun yang tidak, yang mengatakan pada saya "Wah, kamu masih kurus aja ya." Ingin rasanya sekali-sekali menjawab: "Iya nih, kamu juga masih nggak tahu sopan santun aja ya." Apa daya etika tidak mengijinkan.

Buat saya, kenyataan bahwa saya kurus itu bukannya enak maupun tidak enak. That is just the way I am. Dan terus terang saya tidak mengerti kenapa hal itu selalu menjadi hal pertama yang digunakan orang untuk menilai saya. Mungkin karena karakteristik fisik pada dasarnya lebih mudah dilihat daripada karakteristik intelektual, apalagi emosional ya?

Pusing Pala Barbie
Nggak, saya nggak mau ngajak karaoke. Saya pikir pujian nyinyir berangkat dari dua hal: adanya standar yang berlaku soal kecantikan dan perasaan ketidakamanan. Nah, anehnya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak standar. Tidak ada skala pengukuran yang jelas akan kecantikan. Akibatnya, "standar" ini jadi sama sekali tidak standar karena sangat tergantung pada interpretasi penilai (yang mana merujuk pada setiap orang dalam masyarakat).

Standar yang sama sekali tidak standar. (credit: Mattel)

Menurut pengamatan saya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak realistis. It's impossible, unattainable, ridiculous, and downright sickening. Seberapapun kerennya anda, pasti orang (baik orang lain maupun diri anda sendiri) masih bisa menemukan kekurangan di dalam diri anda. Sayangnya, mayoritas orang percaya bahwa standar ini perlu diikuti. Alasannya simpel, karena setiap orang punya perasaan tidakamanan tadi dalam dirinya; dan ada pihak-pihak yang dengan sengaja bermain-main dengan ketidakamanan ini.

Akhir-akhir ini, standar kecantikan sepertinya ditentukan oleh korporasi. Lewat iklan-iklan yang terpampang dimana-mana, korporasi-korporasi menggiring opini kita tentang kecantikan yang "lumrah", meskipun sebenarnya tidak umum ditemukan di dunia nyata. Ya, kecantikan tipe Barbie begitu deh.

Terpengaruh imaji yang disodorkan korporasi ini, banyak orang yang sesungguhnya berukuran normal secara statistik jadi terobsesi mengikuti imaji ini. Mau dibilang jangan termakan ajakan ini juga tidak mungkin, karena invasi imaji sempurna ini sangat masif sampai sulit dipisahkan dari hidup sehari-hari, tapi ya paling tidak usahakanlah jangan sampai menyakiti diri sendiri, baik secara fisik maupun mental.

Subtle Sexism
"And you look like you can use some
manner!" (Picture by Vanessa from
Van's Scribbles)
Seperti juga disinggung di artikel yang saya temukan tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa pujian nyinyir juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran seksis. Ada anggapan konvensional bahwa setiap orang harus masuk ke dalam boks tertentu untuk bisa dianggap berhasil sebagai manusia. Dan seringkali, boks-boks ini dibedakan dengan karakteristik-karakteristik yang sangat bias gender.

Susah juga ya. Dunia tempat kita hidup ini sudah terlalu tersegregasi untuk kita mengharapkan bisa hidup di dalamnya tanpa sedikitpun "doing gender." Paling tidak kalau mau ke toilet di tempat umum kita pasti ngecek dulu itu toilet perempuan atau laki-laki, kalau nggak mau disorakin gara-gara salah masuk WC. Mengharapkan dunia untuk sama sekali tidak bias gender tidak hanya naif, tapi juga utopis.

Saking terbiasanya kita dengan segregasi gender, kadang secara tidak sadar kita bersikap seksis pada orang. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada orang yang berbuat jahat by default. Menjadi jahat butuh proses, entah itu proses peniatan atau pembebalan. Dalam kasus pujian nyinyir, kebanyakan dimulai dari proses pembebalan.

Selama bergenerasi-generasi kita dilatih untuk mematikan sensitivitas kita terhadap perasaan orang lain. Anggapan bahwa suatu hal dapat dikatakan lumrah, sementara hal-hal lain masuk ke dalam kategori aneh menjadi pembenaran kita bertindak tidak sensitif pada orang lain. "Dia sih, nggak ngikutin pakem, boleh dong kita ingatkan akan kesalahannya. Toh demi kebaikan dia sendiri," begitu kira-kira proses rasionalisasi tindak kejahatan emosional yang terjadi di dalam bathin kita sebelum kita (tanpa niatan jahat tentunya, sudah refleks sih) melakukan body shaming ke orang yang bentuknya tidak sesuai pakem.

Masalahnya, body shaming ini selalu dibungkus dengan kata-kata, intonasi, dan gestur yang terkesan sebagai perwujudan kepedulian dan cinta kasih, jadi orang yang menerimanya juga seringkali tidak menyadari kalau sedang direndahkan. Tapi meskipun tidak sadar, pasti ada sebagian dirinya yang merasa sakit ketika menerima komentar ini.

If You Can't Say Something Nice...

...say something clever but devastating. Eh, enggak dink. Bercanda. Hahaha... Nah, itu tadi contoh perbuatan jahat yang melalui proses peniatan. Ada tujuan untuk menyakiti. Tapi kebanyakan dari kita dalam kondisi normal kan nggak mau ya menyakiti orang? Ya kan? Ya kan?

Tuh! Denger kata Kakak Ryan! (credit: queenkatie)
Nah kalau anda setuju dengan saya, maka marilah kita sama-sama berusaha menumbuhkan kembali sensitivitas kita. Kita bisa mengambil langkah pertama dengan mulai menghormati orang lain. Ini termasuk menghormati kenyataan bahwa bentuk fisik setiap orang berbeda-beda, dan setiap orang punya hak untuk menentukan bagaimana dirinya berpenampilan dan bagaimana dia ingin menjalani hidupnya. After all, it's their life, not yours. Berhenti memiliki ekspektasi apapun mengenai penampilah orang lain, and just accept them the way they are. Kalau anda tidak suka dengan cara seseorang berpenampilan, ya nggak usah diikuti. It's that simple.

Thursday, April 2, 2015

Ayam Tiren, Pentungan, dan Kotodama


"For I am a bear of very little brain and long words bother me." 
 ~Winnie the Pooh (A.A. Milne)



Pagi hari kemarin, saya menyimak dua teman saya berdiskusi mengenai carut marut keadaan saat ini. Meskipun, kalau mau jujur, saya pikir setiap masa punya kecarutmarutannya sendiri. Ketika sedang bicara mengenai bagaimana orang-orang saat ini mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap korupsi, dalam segala perwujudannya, teman saya mengemukakan suatu ide yang sangat menarik: orang menganggap korupsi remeh karena sesungguhnya dalam bahasa Indonesia, nilai rasa kata tersebut tidak dipandang rendah.

Mushuuuu..!!! =D
Kata korupsi sendiri merupakan kata yang kita serap dari bahasa latin: corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dengan kata lain, melakukan tindak korupsi berarti melakukan tindakan yang busuk dan merusak. Dalam bentuk aslinya, kata ini mempunyaai nilai rasa yang sangat jelek. 

Para pengguna bahasa latin dan derivatnya dapat merasakan betapa buruknya ketika seseorang diasosiasikan dengan kata corruptio tadi. Dengan menyatakan seseorang melakukan corrumpere, masyarakat berbahasa latin secara tidak langsung mendegradasi martabat orang tersebut. Imbasnya tidak hanya dirasakan oleh si pelaku, tapi juga orang-orang terdekatnya.

Lost in Translation
Sayangnya, dalam proses penyerapan kata dari bahasa asing, jarang sekali elemen emosional (simply put, nilai rasa itu tadi) bisa ikut diserap. Ya mau gimana lagi? Berbeda dengan pengguna bahasa aslinya, bangsa penyerap tidak melalui proses internalisasi nilai rasa yang berlangsung selama bergenerasi-generasi. 

Akibatnya, sulit bagi kita bangsa Indonesia, yang tidak menggunakan kata korupsi untuk menjelaskan daging ayam tiren yang sudah membiru dan berbau busuk, untuk bisa menangkap tingkat kemuakan para pengguna bahasa latin di masa lalu terhadap kata ini. Makanya ketika orang tertuduh (bahkan tervonis) korupsi, mereka masih tenang-tenang saja mencalonkan diri untuk jabatan publik dan senyum-senyum di media. Kalau mau mendapat efek yang diharapkan, ya kita harus menggunakan kata yang lebih relatable untuk bangsa Indonesia: maling, rampok, begal.

Don't Take Offense at My Innuendos
On a slightly different note, saya menemukan kutipan yang menarik ketika sedang menjelajahi quotegarden.com dan mencari kutipan soal bahasa: "One man's frankness is another man's vulgarity." (Kevin Smith). Kenyataannya, nilai rasa suatu bahasa akan sangat tergantung pada pengalaman dan pemahaman yang dimiliki seseorang. Kata tiran akan mempunyai pengertian yang sangat berbeda bagi orang yang menjadi korban dan orang yang diuntungkan.

Any publicity is good publicity.
Ayo mampir ke warungnya Manto!
(lah, ternyata kanca..)
Beberapa waktu silam, media sosial heboh protes salah satu kelompok masyarakat terhadap salah satu warung di Jogja yang menawarkan makanan dengan nama yang vulgar di dalam menunya. Padahal warung ini juga sudah bertahun-tahun buka, dan kata-kata vulgar yang diusung di menunya itu sebenarnya (saya duga) hanya merupakan harmless joke bagi pemiliknya dalam rangka menarik pengunjung. Lha, wong warungnya juga warung burjo biasa, bukan warung remang-remang. Tapi rupa-rupanya di masyarakat yang semakin sensi ini, ide kreatif yang agak nyeleneh sulit untuk ditoleransi. 

Yap, menurut saya masyarakat sekarang sudah semakin mudah tersinggung deh. Segala macam yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya langsung dihadapi dengan pentungan (baik yang virtual maupun literal). Rasanya ingin deh mengatakan kepada dunia untuk chill out! Toh meskipun ada orang yang tidak sepaham dengan anda, mentari masih bersinar. It's not exactly the end of the world, so why are you responding to it like it is? Mengutip kata Kakak Jewel, "Not to worry 'cos worry is wasteful and useless in times like these."

Soul of Words
Apapun itu, ketika digunakan dengan tepat, kata-kata adalah hal yang punya kekuatan (baik untuk membangun maupun merusak). Masyarakat Jepang mempuyai konsep "kotodama" yang apabila diterjemahkan dengan bebas berarti jiwa dari kata-kata. Mereka percaya bahwa ada kekuatan magis yang bersemayam dalam kata-kata. Berdasarkan pemahaman ini, apabila kita menggunakan kata-kata kita dengan tepat, maka kita bisa mengontrol hal-hal di sekeliling kita. Konsep yang sama juga diangkat oleh Ursula Le Guin dalam seri Wizard of Earthsea-nya. If we learn the true name of things then we can control it. A very good series. All geeks must read it!

Kalau tidak salah, di masa lalu juga pernah ada penelitian yang menemukan bahwa pohon yang tumbuh sambil diperdengarkan kata-kata positif bisa tumbuh dengan baik, sementara yang diperdengarkan kata-kata negatif akan layu. Mungkin hal ini bisa terjaadi karena dalam kata-kata negatif secara inheren terkandung juga emosi dan energi negatif ya? Bagaimana menurut anda?

----------------------------------------
* Gambar Pooh diambil dari laman ini.
** Gambar Mushu diambil dari laman ini.
*** Logo resmi Kedai 24 Jam by Arismanto (mungkin)

Thursday, March 19, 2015

And Then We Laugh 'Til We Cry

Have you ever heard such thing called as the International Day of Happiness? Well, apparently the UN set 20 March as such day. I guess happiness is something that is very rare these days, it needs an international day to remind people to be happy. Even the pope acknowledged that one of the biggest issue for youth today is gloom. Or, freely interpreted, the lack of happiness.

Personally, I think that being happy is overrated. Happiness, and other emotions, are means to maintain people's sanity; all of which are equally as important. Of course being happy is more desirable. But I think people today are so obsessed on their pursuit of happiness that other emotions are often being intentionally put aside in order to be happy.

As human, we experience a whole range of emotions from the bright cheerful ones to the darkest part of the abyss of your soul that only shows during your most intimate times. In today's society, the darker set of feelings are often being translated as an indication of something wrong in life. People who are down and depressed are often labeled as ungrateful, or a failure. Society desperately trying to make these people open their eyes and see the light around them without realising that these people are blinded by the unnatural light.

As I get older, I think I can better understand and respect the spectrum of emotion. Maybe people think that I am a cynic, but I disagree. I cherish the times when I feel happy, but I also cherish the moments when I feel agony, confusion, and disgrace. I think that those times shaped the way I am now. Denying them would mean nullifying all the good they have done to my life. You can never be a whole person if you only focus on your bright side. And acknowledging the dark side is a way to better connect to your inner self. Besides, based on my experience, the most badass people I know are those who has stared their dark side in the eye and continue to stand.

Yes. I'm a geek. Sue me.
Anyhoo, I think happiness is not something you need to fight for. I think it's just something you need to naturally let in. I think happiness is not about locking away your emotional baggage, but about allowing yourself to breathe in every once in a while and smile as your little niece asking you to come home soon or you watched a baby husky learning to howl. About shedding a tear when you see that extremely touching scene when Tomoe was killed by Kenshin's sword. About appreciating the moments you spend in silence with the friends that are dear to your heart, and about embracing that zing of pain when you are physically unable to hold them when they are hurting miles away from you. About opening your hearts to every single thing that you feel and still knowing that despite all, everything is okay.


This whole damn world can fall apart
You'll be OK, follow your heart

-----------------------------------------------------------------
* Nakahara Sunako's picture from the manga Perfect Girl Evolution by Hayakawa Tomoko
* Kenshin and Tomoe's picture from the manga Rurouni Kenshin by Watsuki Nobuhiro

Sunday, March 8, 2015

Make It Happen!

8 Maret 2015. Hari Perempuan Internasional. Entah kenapa waktu terasa semakin cepat berlalu. Mungkin karena pada dasarnya semakin lama perbandingan relatif antara satu hari dengan total waktu kita hidup memang semakin kecil ya? Baiklah. Cukup meracaunya. Kembali ke Hari Perempuan Internasional (untuk selanjutnya disebut IWD--International Women's Day) yang kita rayakan hari ini.

Tema IWD kali ini adalah "Make It Happen" yang seyogyanya dipersembahkan bagi pencapaian-pencapaian perempuan. Segala pencapaian memang selayaknya diapresiasi. Namun mengapresiasi pencapaian perempuan secara khusus menjadi penting, mengingat umumnya perempuan harus menghadapi lebih banyak tantangan dalam meraih pencapaian tersebut; baik yang datang dari pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun dirinya sendiri.

Yang paling penting, seringkali kita lupa mengapresiasi pencapaian perempuan. Pencapaian perempuan kadang tidak dilihat sebagai keberhasilan dirinya, namun seringkali dilihat sebagai bonus akan pencapaian ayah/suami/saudara laki-laki/anak laki-lakinya. "Yah, lumayan buat nambah-nambah penghasilan Bapak," sering kan kita dengar kata-kata seperti ini? Sayangnya, jarang ada perempuan yang bisa mengklaim bahwa pencapaiannya adalah miliknya. Bahkan kadang kalau ada perempuan yang sukses, orang-orang malah mencibir: "Sudah umur segitu kok mikirin karier doang. Kalau tambah berumur tambah nggak ada yang mau loh," terima kasih loh, tante nyinyir sebelah rumah. Saya sih cuma meyakini kalau setiap perbuatan itu ada karmanya. Jadi silahkan tante tunggu saja. Hehehe...

Hasil dan Proses
Faktanya, kebanyakan perempuan kalah start dari laki-laki dalam berbagai aspek (misalnya saja dalam pendidikan dan kepemilikan modal, baik modal finansial maupun sosial). Lebih menyebalkan lagi, tidak mudah bagi perempuan untuk mengejar ketinggalan tersebut, karena pengaturan sosial-politik-religius-kultural yang  berlaku saat ini punya kecenderungan untuk tidak membiarkan perempuan mengejar ketertinggalannya itu. Makanya banyak feminis tidak lelah berkoar-koar soal keadilan. Lha wong kalau nggak begitu apa ya perempuan bakalan dikasih kesempatan? Nggak juga kan?

Justru karena itulah, kita tidak bisa mengukur "pencapaian" perempuan semata-mata dari keberhasilan yang bombastis. Pencapaian, terutama pencapaian perempuan, hampir setiap kali bukan merupakan sesuatu yang given, melainkan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Dengan demikian, ketika bicara pencapaian perempuan berarti kita membicarakan proses transformasi yang memampukan perempuan.

Bicara pencapaian perempuan berarti melihat perubahan-perubahan kecil ke arah positif yang terjadi secara perlahan, dan seringkali terabaikan begitu saja. Padahal bagi perempuan, melakukan perubahan-perubahan kecil dan insignifikan itu saja sudah perjuangan luar biasa yang menguras energi dan emosi. Nah, disinilah apresiasi jadi penting. Untuk menjaga semangat dan energi perempuan agar bisa berjuang satu hari lagi. This is, after all, a never ending process. Makanya kita berlu lebih jeli melihat hal-hal seperti ini, supaya kita kemudian bisa mengapresiasinya, dan dengan demikian memberi bahan bakar yang dibutuhkan bagi transformasi perempuan.

Uphill Battle, I look Good When I Climb


You haven't seen the best of me and I'm still working on my masterpiece

Ngomong-ngomong soal usaha yang di keluarkan perempuan untuk mencapai sesuatu, akhir-akhir ini saya sedang tergila-gila dengan lagunya Jessie J yang bertajuk Masterpiece. Menurut saya lagu ini dengan apik menggambarkan perjuangan yang dilakukan perempuan dalam meraih apa yang dia ingin capai, despite all the challenges.

Kenapa menurut saya lagu ini spesial? Karena perjalanan menuju pencapaian bagi perempuan sama sekali bukan hal yang glamor. Perempuan (mungkin laki-laki juga ya, tapi berhubung hari ini IWD jadi mari kita batasi pembicaraan pada perempuan saja) yang berusaha tidak menapaki jalan yang mulus. Banyaknya tantangan akan menyebabkan perempuan terjatuh dan terjatuh lagi, seperti kata Ariel PeterPan.

Setiap kali perempuan terjatuh, maka akan ada proses menyalahkan diri sendiri dan merasa gagal. Paling tidak saya begitu, sampai taraf tertentu. Seberapa parahnya proses ini akan sangat tergantung pada kepribadian masing-masing perempuan. Jessie J dalam lagu Masterpiece menyatakan bahwa hal ini tidak apa-apa. Tidak ada orang yang sempurna, dan setiap orang akan jatuh. Tapi ketika kita punya sesuatu yang ingin dicapai dan determinasi untuk mencapainya, maka yang bisa kita lakukan ya terus berjalan. After all, isn't that what life's all about?

So Here's to You, and You, and You, and You
Di sekeliling saya ada banyak sekali perempuan luar biasa, dengan permasalahan-permasalahan yang meskipun berbeda-beda bentuknya, tapi harus dihadapi dalam keseharian mereka. Saya pikir beberapa dari mereka akan membaca tulisan ini. Paling tidak saya harap demikian. Bagi kakak, adik, teman, kolega, saudara, ibu, dan semua perempuan yang saya sayangi; saya yang membaca tulisan ini; saya ingin secara khusus menyampaikan bahwa saya menyaksikan perjuangan kalian, dan kalian luar biasa. I know that it has not been easy. I know how hard you have struggled. But you are doing great! So here's to all of you, for being the amazing women that you are. Cheers!

--------------------------------------------------------------------
* Gambar "Be Kind Rewind" diambil dari halaman ini.
** Gambai "Internet Hug" diambil dari pesan Whatsapp teman beberapa waktu berselang. Apabila ada yang tahu asalnya tolong hubungi saya yah.