Thursday, October 8, 2015

Manajemen Ekspektasi

My life seems like an endless hurdle race. Lari halang rintang. Dengan ekspektasi sebagai halangannya. Mulai saat kita lahir, orang mengharapkan kita untuk menangis. Sedikit lebih besar; kita diharapkan merangkak, berjalan, membaca, sehat, ceria, pintar, ramah, dan serentetan ekspektasi lainnya.

Adopsi Insecurity
Ketika kecil mungkin efek samping dari ekspektasi ini tidak terlalu bisa kita rasakan. Paling ya kita menganggap ekspektasi-ekspektasi eksternal terhadap kita ini sebagai suatu kewajaran. Keniscayaan. Orang masuk sekolah ya memang harus dapat nilai bagus. Kalau sampai dapat nilai merah itu dosa besar. And that's why we strive as best as we could to achieve expectations that is not necessarily be ours. But we adapt. And we adopt the expectations as if they were our own.

Am I ugly? Am I rude? Do people hate
me? Oh shit! I'm overthinking it, am I?
I'm being irrational, am I?! AM I??!!

(Credit: Disney)
Semakin dewasa, baru mulai kita menyadari kalau menghadapi semua ekspektasi ini menyebalkan. insecurity orang-orang di sekitar kita. Nah, yang menyebalkan insecurity ini bisa menular. Okelah kalau beberapa dari mereka punya alasan yang cukup rasional. Tapi kebanyakan ekspektasi tersebut sebenarnya cuma proyeksi dari

Let me give you an example. Gue sih nggak masalah Body Mass Index gue cuma 17.1. Toh gue nggak lagi masuk rumah sakit dua kali setahun. Toh gue nggak lagi mengurung diri di kamar sampai berminggu-minggu dan hidup cuma dari indomie dan The Sims. Tapi kok semua orang bilang gue terlalu kurus ya? Oh shit! Maybe I do need to gain some weight. Gitu.

And it doesn't matter how badass you are. You can have a Ph.D. from a distinguished university, have a bombshell look, and a ridiculously kind heart; still, people will find something wrong with you. "Ya ampuuun, umur segitu belum nikah? Nyarinya pasangan yang kayak apa sih?" said the schadenfreude on the next table. (Nggak kok, Kakak Yenny, aku gak ngomongin kamu. Mumumumuuuu...) Sayangnya menjawab "Nggak kayak pasangan kamu yang agak bodoh itu pastinya!" itu nggak socially acceptable.

Menyebalkan sebenarnya. Orang-orang membungkus ekspektasi-ekspektasi ini dalam kerangka kepedulian, when in fact they are just looking for something to make their sad little life feel a bit more bearable. I pity you, people. Because you feel the need to make people feel bad for the choices they make. Even worse, you don't even realise that you are doing it.

Komodifikasi Ekspektasi 
On a slightly different note, yang namanya ekspektasi ini tampaknya juga telah diinstitusionalisasi dan dikomodifikasi. Ekspektasi tidak cuma dibebankan pada kita oleh individu; tapi juga oleh komunitas, institusi, dan korporasi. Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke salah satu toko t-shirt kenamaan dunia karena saya niat banget mau beli baju kembaran dengan teman baik saya (sebut saja Mas D dari kota S) yang fans berat merk ini. Waktu saya tanya ukurannya, Mas D bilang "XS, soalnya S-nya kegedean di aku." Padahal si Mas D ini sekarang udah chubby-chubby lucuk gitu.

That is not an XL body, famous brand!
Seriously, what's wrong with you?!*
(Selfie credit: Mbak A dari kota A)
Dengan semangat 45, pergilah saya ditemani dua orang dekat saya (halah) ke toko tersebut. Saya ambilkan kaos ukuran XS buat Mas D. Besar juga ternyata. Setelah itu saya coba juga ukuran perempuannya untuk saya. Ternyata XS kekecilan, saya harus beli yang ukuran S. Sempat berpikir, "Hmmm.. aneh deh. Emang ada ya orang yang ukurannya lebih kecil dari gue?" But then I simply shake the feeling off.

Beberapa hari kemudian, saya menemani seseorang ke toko yang sama (sebut saja Mbak A dari Kota A). Nah, si Mbak A ini ukurannya sedikit lebih besar dari saya, tapi tetap saja dia masuk kategori kurus. Beneran deh. Ask anybody (except her). Ketika dia coba-coba kaos super keren yang kami lihat pas saya beliin baju buat Mas D, I was shocked to learn that Mbak A harus beli kaos ukuran XL. Padahal XL itu ukuran paling besar, dan berdasarkan perkiraan ngawur saya, sekitar 70% populasi perempuan Indonesia ukurannya lebih besar dari Mbak A. Maybe I'm overreacting. Cuma kok kayaknya nggak adil ya? Laki-laki diijinkan untuk berbadan besar sementara perempuan dibuat merasa bersalah kalau nggak kecil.

Thin Is Also Beautiful, Damnit!!!
Don't get me wrong, berdasarkan pengalaman saya punya badan kecil nggak enak juga. Orang mengira kita diet ketat, membatasi makan, maniak olahraga, bahkan ada satu orang yang pernah nanya ke saya: "Are you anorexic?" Pengen jawab: "Did you learn your manner in hell?" tapi itu juga nggak socially acceptable. Darn!

Ya emang sih, saya makannya sedikit. Sedikit-sedikit makan. Tapi sakit juga loh kadang-kadang liat tulisan-tulisan yang bilang "big is beautiful, thin is fake." Kenapa sih nggak bisa bilang we are beautiful without needing to be someone we're not? Yes, I'm looking at you right in the eye, Meghan Trainor! *evil stare*.

Oh iya, saya minta maaf ya tulisan kali ini menggunakan lebih banyak bahasa Inggris daripada biasanya. Somehow, misuh pakai bahasa Inggris itu lebih enak. Nggak berasa terlalu kasar.

------------------------------------------
* gambar di kaos disensor supaya nggak kena pasal 310 KUHP #lebayyoben