Sunday, April 20, 2014

Via Dolorosa

"Apakah tuduhanmu terhadap orang ini?"
"Jikalau Ia bukan penjahat, kami tidak menyerahkannya kepadamu!"
Kata Pilatus pada mereka, "Ambillah Dia, dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu!"
Kata orang-orang Yahudi itu, "Kami tidak diperbolehkan membunuh seseorang." 

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti misa Jumat Agung sebagai bagian dari rangkaian tri hari suci. Sebelum anda pergi, jangan khawatir, ini bukan tulisan agamis, pun bukan tulisan historis. Tapi untuk sedikit memberi konteks bagi anda yang tidak beragama Katolik, hari Jumat Agung adalah hari yang secara khusus digunakan untuk memperingati penderitaan dan kematian Yesus. Perjalanannya melewati Via Dolorosa, atau Jalan Penderitaan. Jadi, hari Jumat yang setiap tahun libur itu bukan Paskah ya, karena paskah itu peringatan kebangkitan Yesus, baru dirayakan di hari Minggu.

Dalam tradisi Katolik, misa Jumat Agung sedikit berbeda dari misa biasa, salah satunya karena pembacaan Injil tentang kisah sengsara Yesus dinyanyikan oleh passio. Mungkin supaya orang-orang bisa lebih menghayati kisah sengsara tersebut ya? Karena dengan dinyanyikan, suasananya jadi lebih khidmat dan sedikit mencekam. Sayangnya, keputusan konsili vatikan entah nomor berapa untuk menggunakan passio di misa Jumat Agung juga membuat peserta misa seringkali mengantuk. Kenapa? Karena bacaan Injilnya jadi lamaaaaa...

Kebencian dan Logika
Anyway, ketika mendengarkan passio kemarin, ada dua segmen menarik yang saya sadari dari kisah sengsara Yesus yang dilagukan tersebut. Yang pertama adalah di adegan ketika para umat Yahudi membawa Yesus ke hadapan Pilatus, dan terjadilah dialog yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Penggalan dialog ini bagi saya sangat menarik karena mengonfirmasi hal yang sudah saya yakini sejak lama. Hatred clouds our judgement.

Just saying, you must have hated someone so much
if you want him to die an agonizing death, right?*
Kenapa saya bilang demikian? Umat Yahudi pada saat itu sangat membenci Yesus. Rasa benci ini begitu besar sampai-sampai mereka menginginkan kematiannya. Sesuatu yang bahkan tidak diijinkan dalam hukum Taurat. Makanya mereka membawa Yesus ke Pilatus, pejabat Romawi yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman mati.

Saya mengerti mengapa para tokoh Yahudi pada saat itu bisa membenci Yesus. Yesus adalah figur yang revolusioner. Dan semua hal yang mengganggu status quo akan dianggap sebagai ancaman oleh orang-orang yang sudah merasa terlalu nyaman di dalamnya. Terutama ketika para tokoh ini merasakan bahwa ada kebenaran dalam kata-kata sang revolusioner. Mereka takut orang lain akan melihat kebenaran tersebut, dan meyakini bahwa mereka juga menginginkan revolusi. Dan setiap ancaman, dalam pemikiran realis, harus segera dimusnahkan.

Yang lebih menarik dalam dialog ini sebenarnya adalah pack mentality atau mentalitas kawanan yang ditunjukkan oleh orang Yahudi sisanya, yang sebenarnya tidak mendapat keuntungan apa-apa dari struktur sosial yang berlaku pada saat itu. Kalaupun mendapat keuntungan, pasti tidak sebanyak para tokoh yang saya sebutkan tadi. Tapi mereka ikut-ikutan sepenuh hati meyakini bahwa Yesus adalah ancaman yang begitu besar, sampai-sampai hukum Taurat yang mereka junjung tinggi bolehlah diabaikan demi menghapuskan ancaman ini. Kenapa saya bilang ikut-ikutan? Karena ide ini muncul dari Kayafas, seorang tokoh Yahudi yang menyatakan bahwa adalah lebih berguna jika satu orang mati demi seluruh bangsa.

Kalau saya pikir-pikir, pack mentality yang ditunjukkan orang Yahudi pada saat itu mirip ya dengan yang terjadi saat ini? Tidak hanya dalam ranah agama, tapi juga dalam ranah sosial, politik, dan lain-lain; manusia saat ini sangat mudah disetir oleh pihak lain yang mereka anggap lebih pintar, lebih bijak, dan lebih berkuasa. Makanya pada saat ini banyak sekali yang oleh salah satu teman saya disebut sebagai Klompentapir: Kelompok Pendemo Tanpa Berpikir. Seperti orang Yahudi saat itu, sebenarnya mereka sih tidak yakin masalahnya apa. Pokoknya harus dilawan. Makanya apabila kita bertanya pada mereka seperti yang dilakukan Pilatus pada orang Yahudi dalam dialog di atas, paling-paling jawaban yang para Klompentapir berikan ini sama nggantungnya degan jawaban orang-orang Yahudi di atas. Nevertheless, mereka haqul yakin kalau isu ini perlu mereka bela, kalau perlu sampai menghilangkan nyawa, entah nyawa mereka sendiri atau nyawa orang lain.

Saya tidak tahu pendapat anda, tapi menurut saya fenomena ini menyedihkan. Menyedihkan karena manusia, dengan segala kemegahannya, tidak mampu menggunakan pemikiran kritis dan logika. Saya tidak tahu apakah kecenderungan ini memang human nature atau hanya muncul ketika manusia menghadapi kehidupan yang sulit. Tapi saya menolak meyakini manusia tidak bisa memilih menggunakan logikanya. Satu hal yang pasti, sistem yang kacau memperparah kecenderungan ini. Dan ya, menurut saya sistem yang berlaku Indonesia saat ini kacau balau.

Terjebak dalam Simbolisme
Itu satu, mari kita beranjak ke hal kedua yang membuat saya tertarik; supaya tidak dituding gagal move on. Dalam bacaan Injil Jumat Agung, dikatakan bahwa umat Yahudi tidak masuk ke gedung pengadilan untuk menonton secara langsung inkuisisi Pontius Pilatus terhadap Yesus, karena pada hari itu adalah hari persiapan paska Yahudi, peringatan keluarnya umat Yahudi dari perbudakan Mesir. Masuk ke gedung pengadilan bisa menajiskan diri mereka, tapi jangan tanya saya kenapa. Saya bukan ahli Taurat.

Bagus sih, tidak mau menajiskan diri mereka sebelum perayaan hari besar. Yang membuat saya heran adalah, setelah itu mereka--dengan segala kebenciannya--ikut menyaksikan dan meramaikan kisah sengsara Yesus. Sungguh, saya gagal memahami apa yang menyebabkan mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi najis dengan menonton orang dihakimi, tapi tidak akan menjadi najis ketika mereka beramai-ramai menghakimi dan menikmati penderitaan orang yang sama. In my own personal opinion, yang kedua sih harusnya lebih membuat najis ya.

Tapi lagi-lagi menurut saya kejadian ini relevan dengan keadaan sekarang. Saya jadi teringat beberapa saat lalu ada artikel yang membahas mengenai penelitian bertajuk "How Islamic are Islamic Countries?" yang dipublikasikan di tahun 2010. Saya sendiri belum pernah membaca hasil penelitian tersebut dan hanya mendasari pendapat saya dari artikel di atas. Intinya, negara-negara yang dianggap lebih 'Islami' dalam artian bagaimana ajaran Islam mempengaruhi kehidupan bernegara dan sosial umat Muslim justru bukan negara-negara Islam.

Saya tidak bermaksud mendiskreditkan teman-teman yang Muslim. Hanya ingim mengomentari fenomena yang saya amati saja. Saya mengamati bahwa banyak umat 'beragama', tidak hanya Islam, puas dengan menerapkan aspek-aspek simbolis dari agamanya. Asal sudah ke gereja setiap minggu dan selalu ingat Kristus itu baik, ya sudah menjadi umat Kristen yang baik. Tapi amit-amit kalau sampai pacaran, apalagi nikah sama orang yang beda agama. Yesus pasti nangis di surga sana. Kasarnya demikian.

Your religion is so much more than these symbols,
people! It's what you do in your day-to-day life
that matters the most! **
Masalahnya, saya ini orang yang meyakini bahwa agama adalah sarana bagi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Menjadi manusia yang lebih baik untuk saya erat kaitannya dengan memperlakukan manusia lain secara lebih baik pula. Hal ini yang saya pikir sering dilupakan oleh orang-orang yang merasa beragama. Seringkali ketika merasa beragama, orang punya kecenderungan menempatkan orang beragama lain sebagai second-class citizen. Mereka lupa kalau orang beragama lain itu diciptakan oleh Tuhan juga. Dalam pendapat saya sih, Tuhan yang menciptakan orang yang memeluk segala macam agama, dan bahkan orang yang tidak beragama sekalipun itu Tuhan yang sama ya. Nggak tau ya menurut anda gimana.

Kesimpulannya?
Seperti biasa, tidak ada kesimpulan! Hahaha... Tapi saya jadi berpikir, dengan segala kemajuan yang dialami oleh manusia sejak jaman Yesus disalib sampai sekarang, ternyata masih banyak hal yang tidak berubah. Sebegitu lambatkah kemajuan peradaban kita sampai-sampai kita masih melakukan kesalahan yang sudah dilakukan 2.000 tahun yang lalu? Atau kita hanya oblivious? Menolak menyadari bahwa kita melakukan kesalahan dan menolak berubah ke arah yang lebih baik?

Saya percaya bahwa manusia; sebagai makhluk Tuhan yang konon paling sempurna; dianugerahi akal, budi, dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Kita diberikan kemampuan untuk melakukan analisa dan pertimbangan rasional sehingga kita mampu menimbang-nimbang hal yang mana yang baik dan buruk. Sekaran pertanyaannya, jalan mana yang mau kita ambil? Apa kita mau menjadi lebih baik? Ataukah kita mau tetap melakukan kesalahan yang sudah kita lakukan selama paling tidak 2.000 tahun? The choice is entirely up to you.

------------------------------------------------
*Gambar salah satu perhentian Via Dolorosa di Yerusalem diambil dari halaman ini.
** Gambar ssimbol-simbol religius diambil dari halaman ini.