Sunday, October 14, 2012

Because I am a Girl

A father asks his daughter:
Study? Why should you study?
I have sons aplenty who can study
Girl, why should you study?
 
The daughter tells her father:
Since you ask, here’s why I must study.
Because I am a girl, I must study.

Long denied this right, I must study
For my dreams to take flight, I must study
Knowledge brings new light, so I must study
For the battles I must fight, I must study
Because I am a girl, I must study.

To avoid destitution, I must study
To win independence, I must study
To fight frustration, I must study
To find inspiration, I must study
Because I am a girl, I must study.

To fight men’s violence, I must study
To end my silence, I must study
To challenge patriarchy I must study
To demolish all hierarchy, I must study.
Because I am a girl, I must study.

To mould a faith I can trust, I must study
To make laws that are just, I must study
To sweep centuries of dust, I must study
To challenge what I must, I must study
Because I am a girl, I must study.
 
To know right from wrong, I must study.
To find a voice that is strong, I must study
To write feminist songs I must study
To make a world where girls belong, I must study.
Because I am a girl, I must study.

~ Because I am a Girl, I must Study by Kamla Bhasin

Malala, at the age of 12
Picture courtesy of msnbc
Malala Yousufzai, 14 tahun, ditembak di kepala dalam perjalanan pulang dari sekolah karena berusaha memastikan haknya mendapat pendidikan. Di satu sisi, kisah Malala (dan banyak lagi kisah lainnya) membuat diri saya bersyukur lahir di negara yang mengijinkan perempuan mengenyam pendidikan sampai ke tingkat yang tinggi, besar dalam keluarga yang menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak perempuan, dan bergaul dalam lingkungan yang menghormati hak perempuan akan pendidikan. Namun, di sisi lain, kisah-kisah ini membuat saya berpikir, bagaimana saya sebagai individu bisa membantu perempuan-perempuan yang haknya atas pendidikan diabaikan, dan bahkan dirampas; hanya karena mereka perempuan.

Saya bukan feminis. Saya tetap percaya pada pembagian peran, meski saya yakin bahwa jenis kelamin tidak bisa dijadikan satu-satunya faktor yang mendefinisikan pembagian peran tersebut. Tapi ya, saya percaya bahwa perbedaan ada agar kita bisa saling melengkapi. Justru karena alasan tersebut, maka saya berpendapat bahwa penting bagi semua orang, laki-laki dan perempuan, untuk mendapatkan pendidikan. Kenapa? Karena bagaimana mungkin kita bisa saling mendukung apabila kita tidak memiliki kapasitas yang sama? Dalam berelasi di tingkat apapun, bukankah pihak dengan kapasitas yang lebih rendah cenderung menjadi beban? Lalu kenapa kita, sebagai masyarakat, dengan sengaja menciptakan beban-beban dalam kehidupan bermasyarakat kita dengan menjauhkan suatu golongan tertentu dari akses terhadap pendidikan?

Berbicara dalam konteks spesifik perempuan, saya sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang tidak ramah pada perempuan. Bagi perempuan, setiap hari adalah perjuangan. Kami harus bertahan menghadapi pihak-pihak yang memandang kami sebagai warga kelas dua, dan di saat-saat tertentu bertahan menghadapi orang yang memperlakukan kami sebagai objek. Banyak perempuan bahkan tidak menyadari bahwa hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima dan menyikapinya sebagai sebuah kewajaran. Padahal ketika masyarakat tidak berpihak pada perempuan, seorang perempuan harus bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk perlindungan diri. Bagaimana seorang perempuan dapat melindungi dirinya apabila dia dididik untuk menghormati dan menjaga keberlangsungan ketimpangan yang merugikan dirinya?

Ada banyak sekali pertanyaan dalam tulisan saya kali ini. Banyak diantaranya tidak bisa saya jawab. Dalam suatu diskusi yang saya ikuti baru-baru ini,saya belajar bahwa ketimpangan gender diciptakan oleh lingkungan di luar tubuh biologis kita dan bercokol dalam pikiran kita semua. Setelah diskusi tersebut saya jadi berpikir bahwa sebagai masyarakat, dua hal yang penting untuk kita lakukan adalah berhenti mentolerir pembedaan-pembedaan atas dasar jenis kelamin yang dapat merugikan salah satu pihak serta merombak pola pikir kita dalam memandang pola hubungan yang timpang antara pria dan wanita, dengan mengakui bahwa memang ada ketimpangan di sana.

Saya masih belum bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa saya lakukan untuk perempuan-perempuan yang tidak seberuntung saya dalam hal mengenyam pendidikan, tapi mulai sekarang, setiap hari saya akan berusaha perlahan-lahan untuk tidak menolerir diskriminasi dan mulai bersuara bagi mereka yang tidak tahu bahwa mereka boleh bersuara. Mungkin tidak dengan cara yang bombastis, tapi saya yakin bahwa saya bisa berkontribusi terhadap perubahan, sekecil apapun.

Sunday, August 19, 2012

"Mohon maaf lahir bathin!"

Semasa hidup saya entah berapa kali saya sudah mengucapkan kata-kata ini, baik secara lisan maupun tulisan. Ya, setiap kali lebaran datang, saya selalu bergabung dalam semangat lebaran.Hal ini saya lakukan karena saya menikmatinya. Saya suka semangat persaudaraan yang muncul ketika lebaran, begitu juga keceriaan yang sangat kental ketika lebaran tiba. Saya melihat keadaan dimana setiap orang berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang lebih baik setelah berpuasa sebulan lamanya sebagai perwujudan dari harapan akan perubahan dan perbaikan; dan hal itu indah.

Tahun ini, seperti juga tahun-tahun lainnya, saya sudah mengirimkan beberapa ucapan selamat Idul Fitri ke beberapa teman terdekat, sepaket dengan kata-kata mohon maaf lahir bathin. Tentu saja masing-masing diiringi dengan niat tulus untuk memperbaiki hubungan yang retak karena segala kekhilafan. Tapi tahun ini saya sedikit berpikir, setelah ritual saling maaf memaafkan ini selesai, kemudian apa? 

Maaf ya..
Di bangku SMP saya diajarkan mengenai tahapan pertobatan. Tahap pertama adalah menyadari bahwa kita telad melakukan kesalahan. Sebelum bisa memperbaiki diri, kita haruslah mengetahui, sebenarnya apa sih dosa yang telah kita lakukan? Kenapa sih hal itu kita anggap sebagai sebuah dosa? Hal ini haruslah terlebih dahulu direnungkan. Lagipula, apa gunanya meminta maaf ketika kita sendiri tidak tahu kesalahan kita? Apalagi ketika kita tidak merasa bersalah.

Tahap kedua adalah menyesali kesalahan tersebut. Saya adalah manusia, dengan segala kekurangannya. Secara pribadi, saya merasa ada beberapa kesalahan yang saya tahu sebaiknya tidak saya lakukan, tapi saya tidak menyesal tuh melakukannya. Paling tidak belum. Saya menyadari bahwa ini adalah perwujudan dari egoisme tingkat tinggi yang saya miliki, tapi inilah kenyataannya. Saya pikir tidak adil bagi kedua belah pihak ketika saya menyatakan minta maaf secara holistik (lahir bathin) ketika masih ada hal-hal yang tidak sungguh-sungguh saya sesali.

Tahap ketiga adalah mengakui kesalahan kita. Mengakui kesalahan lewat meminta maaf tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki hubungan antarmanusia yang retak karena dosa, tapi juga membebaskan bathin kita secara pribadi dari perasaan tidak mengenakkan yang muncul karena kita menyadari kita berdosa. Anda akan terkejut bagaimana perasaan anda akan menjadi jauh lebih ringan setelah anda mengeluarkan kata-kata maaf. Untuk dapat melakukan hal ini, sayangnya, dibutuhkan kerendahan hati dan kesediaan mengakui bahwa kita manusia lemah. Oh ya, akan lebih baik apabila permintaan maaf bersifat spesifik dan bukannya holistik, agar kita tau dan lawan bicara mengerti konteks permohonan maaf yang kita berikan.

Tahap terakhir, dan ini yang paling penting, adalah berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Sayangnya tahapan inilah yang paling sering dilupakan. Setiap permohonan maaf sebaiknya harus diresapi dan diwujudkan dalam bentuk perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Permintaan maaf tidak akan ada gunanya apabila hal tersebut hanya menjadi wacana, apalagi apabila hal ini terjadi berulang kali.

Selamat hari raya Idul Fitri, semua!
Saya tidak percaya orang bisa memulai lagi dari awal. Setiap tindakan yang kita lakukan akan meninggalkan bekas pada diri kita dan orang lain yang terlibat. Saya tidak percaya setelah ritual maaf-maafan setiap tahun segala sesuatunya akan serta merta menjadi baik kembali. Diperlukan usaha terus-menerus untuk bisa menjadi baik, dan hal itu tidak mudah. Karena mengevaluasi diri terus-menerus itu melelahkan, demikian juga melawan ego yang sering kali tidak mau menerima bahwa dia telah melakukan kesalahan. Tapi suka atau tidak hal itulah yang harus dilakukan.

Akhir kata, selamat Idul Fitri bagi kita semua. Semoga kita semua mau melaksanakan proses panjang menuju fitrah. Mudah-mudahan kita akan mampu meminta maaf tidak hanya lewat perkataan tetapi juga lewat pikiran dan perbuatan kita. Dan semoga kita bisa senantiasa membangun hubungan baik dengan sesama manusia dan juga dengan Tuhan yang maha esa, tidak peduli apa agama kita. Minal aidin wal faidzin!

*Gambar Sorry diambil dari alamat ini dan gambar Eid Mubarak diambil dari alamat ini.

Tuesday, August 14, 2012

Berbeda, Maka?

Akhir-akhir ini saya merasa orang-orang (terutama warga Jakarta) menjadi lebih sensitif; unfortunately; not in a good way. Berdasarkan yang saya lihat, orang-orang menjadi cenderung lebih defensif ketika menyangkit dirinya sendiri dan di sisi lain mulai xenophobic terhadap hal-hal selain dirinya. Hal ini menyebabkan mereka seringkali bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya remeh. Perwujudan egoisme? Mungkin. Tapi mungkin juga paranoia.

Alasan saya mengungkit hal diatas karena akhir-akhir ini, media massa di Jakarta (kalau bukan di seantero Indonesia) diramaikan dengan isu-isu seputar suku, agama, dan ras. Dipicu oleh kampanye untuk putaran kedua Pilkada yang prosesnya, menurut saya, tidak anggun, isu SARA kembali menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan bahkan diperdebatkan. Tidak, saya tidak akan membicarakan proses Pilkada. Sudah terlalu banyak yang melakukan hal tersebut. Saya hanya ingin membicarakan efek domino dari perebutan kekuasaan semu tersebut.

Fakta: Perbedaan Itu Nyata
 
Berbeda itu indah

  Saya kira tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia ini, perbedaan itu ada dan nyata. Jauh di dalam hati, tentu masing-masing dari kita ingin menjadi berbeda; karena lewat perbedaan itulah kita bisa menonjolkan diri kita. Otherwise we would just be a statistic; and statistic, as we all know, is boring. Ya, kalau berani jujur, saya pikir kita semua punya hasrat untuk dilihat sebagai diri kita sendiri. Karena itulah kita berusaha menunjukkan kualitas-kualitas kita ke mata dunia; dan di sisi lain mulai memberi jarak antara diri kita dan orang lain dengan menentukan batas-batas dalam bentuk perbedaan.

Perbedaan itu bisa apa saja. Dari perbedaan fisik seperti warna kulit dan bentuk badan, perbedaan identitas seperti agama dan aliran politik, sampai perbedaan preferensi seperti warna dan makanan favorit. Sayangnya, dalam upaya kita menjadi berbeda, tingkat toleransi kita terkompromikan. Kita hanya mau menerima perbedaan sampai batas comfort zone kita. Segala sesuatu di luar itu adalah keanehan yang mengancam. Dan salah.

Ironis sebenarnya, dalam rangka mengejar individualitas kita justru mengasosiasikan diri kita dengan kelompok-kelompok. Kita menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai perlindungan, tempat kita merasa nyaman dan aman. Tidak salah sih, toh mencari rasa aman adalah suatu hal yang naluriah. Permasalahannya adalah ketika orang terjebak dalam euforia kelompok dan melupakan bahwa ada kelompok-kelompok lain.

Perbedaan = Konflik?
Tidak bisa dipungkiri, seringkali perbedaan dan pembedaan menyebabkan friksi antar manusia dan antar kelompok. Tapi, sebagaimana yang saya pelajari di bangku kuliah, konflik tidak selalu buruk. Kadang konflik justru dapat mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, tergantung cara kita menyikapi dan mengatasi konflik tersebut. Dalam hal ini, kebijaksanaan dan kerendahan hati menjadi penting. Kenapa? Karena konflik muncul karena ada lebih dari satu kepentingan; dan kesediaan mengakui dan menolerir kepentingan lain penting dalam resolusi konflik.

Dalam lagunya yang bertajuk Beauty of Grey, Live mengatakan: "...the perception that divides you from him is a lie, for some reason we never ask why." Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ini sih. Kenyataannya seperti yang saya katakan tadi, perbedaan itu ada dan nyata. Tapi perlu diingat bahwa identitas adalah sesuatu yang punya aspek cross-cutting. Kalaupun berbeda di salah satu aspek, pasti kita juga punya persamaan di aspek lain. Tidak mungkin tidak. Permasalahannya kita tak pernah repot-repot bertanya, sebenarnya apa sih persamaan dan perbedaan di antara kita?

Balik ke isu SARA yang sekarang sedang ramai, banyak orang membuat pernyataan bahwa isu SARA tidak boleh diangkat, apalagi di ruang publik. Saya sangat tidak setuju. Justru karena isunya ada dan sensitif, maka perlu dibicarakan. Ketidaktahuan itulah yang membuat orang meliyankan sesuatu. Ketika ada ruang untuk diskusi dan saling mengenal, barulah pengertian bisa tumbuh. Tapi ya itu, dalam berdiskusi kita harus mau menurunkan benteng kita dan mau menerima penjelasan dari pihak lain. Kalau tidak, yang ada jadinya malah debat kusir.

Maka?
Ada beberapa hal yang menurut saya penting ketika menyikapi isu SARA. Pertama, perbedaan itu nyata dan adalah bodoh ketika kita berusaha menafikkannya. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir konflik negatif, kita harus bersedia membuka diri dan mempelajari hal-hal di luar zona nyaman kita. Tanpa hal ini, maka mau tidak mau kita akan terperangkap dalam xenofobia yang menjadikan kita defensif sampai pada taraf ofensif.

Kedua, kelompok dibentuk oleh individu-individu dengan pengalaman dan persepsinya masing-masing. Hindari generalisasi dan stereotip. Dalam setiap kelompok pasti ada individu yang baik dan juga jahat, yang reseh dan juga asyik. Ya, mereka punya persamaan; but guess what? Some of them have similarities with you too. Bahkan mungkin lebih banyak dari yang anda bayangkan sebelumnya.

Ketiga, bagaimanapun berbedanya kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan. Penting untuk memanusiakan manusia. Meskipun dalam beberapa kasus, saya merasa sulit melakukannya, tapi saya selau berusaha mengingat hal ini. Berusaha memberikan setiap orang respek yang layak mereka dapatkan, simply karena dia manusia.

Keempat, selalu gunakan logika dan empati dalam menyikapi informasi. Hanya karena seseorang lebih terpandang, tua, atau hafal kitab suci bukan berarti dia tau semuanya. Olah setiap informasi yang anda terima dengan otak dan hati. Coba bayangkan anda ada di posisi orang lain; apa kepentingannya? apa kesusahannya? apa yang melatarbelakangi tindakannya? Meski mungkin tidak mungkin memahami 100% tentang orang lain, tapi tindakan ini bisa memperluas persepsi anda, dan juga menjadikan anda lebih bijaksana.

Gambar diambil dari alamat ini.

Saturday, July 28, 2012

Lima Roti dan Dua Ikan

Saya punya hubungan yang baik dengan Tuhan, tapi saya bukan penganut Katolik yang baik. Karena itu lewat tulisan kali ini saya tidak berusaha menunjukkan pengetahuan saya tentang iman Katolik, melainkan hanya ingin membagi perenungan saya atas salah satu bacaan kitab suci yang cukup sering diangkat, dan mungkin banyak diketahui baik oleh orang yang memeluk Kristianitas maupun tidak, bertema lima roti dan dua ikan.


Alkisah pada suatu ketika, saat menyepi di tepian Danau Tiberias, Yesus dikejutkan dengan 5000 orang yang berharap mendengar Yesus mengajar. Dalam setiap acara yang melibatkan banyak massa, pasti ada permasalahan dalam hal logistik. Hal inilah yang dihadapi Yesus pada saat itu. Bagaimana caranya menyediakan konsumsi bagi 5000 orang? 

Dihadapkan dengan masalah ini, para murid Yesus kebingungan. Setelah mencari-cari jalan keluar, seorang anak kemudian menawarkan bekalnya yang terdiri dari lima roti dan dua ikan. Para murid pun pesimis. Apalah artinya bekal itu dibandingkan jumlah massa yang berkumpul? Singkat cerita, Yesus mengadakan mukjizat sehingga bekal tersebut bisa memberi makan semua orang yang ada di sana, dengan sisa 12 bakul banyaknya.

Kitab suci dari agama manapun dipenuhi dengan metafora yang bisa diartikan secara harfiah, ataupun diambil sisi aplikatifnya, sesuai preferensi pembacanya. Dalam rangka membuat diri saya mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran yang ada di kitab suci, saya pribadi seringkali memilih untuk fokus pada memahami sisi praksis dalam merenungkan cerita-cerita yang ada dalam Alkitab, terutama penggalan yang satu ini.

Setiap kali saya mendengar kisah ini saya selalu berpikir bahwa inti cerita ini tidak terletak pada Yesus yang mampu menarik massa sedemikian banyak untuk mendengar ajaran-Nya ataupun pada ke-Illahian Yesus yang membuatnya mampu menyediakan makanan pada orang-orang tersebut dari sedikit makanan yang berhasil dikumpulkan; tapi pada anak kecil yang rela menyerahkan bekal makanannya, yang mungkin sengaja disisihkan oleh orang tuanya untuk memastikan anaknya tidak akan kelaparan selama menyaksikan Yesus mengajar.

Anak kecil itu sendiri sebenarnya tidak membawa makanan berlimpah. Meskipun bisa diperdebatkan, lima roti dan dua ikan paling-paling hanya cukup untuk dua kali makan. Bukan jumlah yang signifikan ketika dihadapkan dengan jumlah orang yang masif tersebut. Walaupun begitu, dengan menyerahkan bekalnya, anak kecil tersebut menyadari bahwa setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab sosial untuk menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya demi kepentingan yang lebih besar.

Tanpa bermaksud mengecilkan pengertian mukjizat, saya berpikir bisa jadi mukjizat yang dimaksudkan adalah ripple effect dari kesediaan anak kecil tersebut mengorbankan miliknya, sehingga orang-orang lain yang sebenarnya juga membawa makanan bagi kepentingannya sendiri-sendiri menjadi tergerak (mungkin atas dasar rasa malu) untuk juga memberikan sesuatu bagi kepentingan kelompok, yang pada akhirnya menunjukkan bahwa apabila setiap orang mau berkontribusi, maka kepentingan umum sebenarnya bisa dipenuhi tanpa harus mengandalkan pada sumber daya dari luar.

Nah, sekarang saya ingin mencoba mengaitkannya dengan konteks saat ini. Kita hidup dalam dunia yang mempunyai banyak masalah. Apabila anda tidak menyadarinya maka anda mungkin ada dalam penyangkalan atau hanya tidak peduli. Ketika melihat suatu masalah, secara naluriah saya akan merasa bahwa ada sesuatu hal yang harus dilakukan. Namun ketika merancang suatu solusi, saya terjebak dalam keinginan saya untuk langsung menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga seringkali berujung pada solusi yang muluk-muluk, yang tidak dapat saya lakukan sendiri. Dan pada akhirnya, perasaan tidak mampu itumembuat saya tidak melakukan apa-apa.

Penggalan kitab suci ini membuat saya berpikir bahwa mungkin dalam menyelesaikan masalah sebesar apapun, mungkin kita harus memulai dengan melakukan hal-hal kecil yang ada dalam kemampuan kita. Bisa jadi penyelesaian ini berupa kita menyumbangkan sumber daya yang kita miliki (tidak harus yang bersifat materiil) dalam usaha penyelesaian masalah, melakukan advokasi, atau mungkin dengan hanya membantu diseminasi informasi lewat berbagai jalur yang bisa dimanfaatkan saat ini. Satu hal yang pasti, apabila kita ingin merubah keadaan, kita tidak akan misa mencapainya dengan menggantungkan diri pada pihak lain dan berharap seseorang di suatu tempat akan melakukan sesuatu.

Pengalaman saya telah mengajari saya untuk mempercayai keberadaan ripple effect. Bahwa setiap keputusan yang kita ambil akan mempengaruhi orang lain dengan cara yang tidak disangka-sangka. Karena itulah saya mengambil keputusan untuk tidak menganggap setiap tindakan, sekecil apapun itu, sebagai tidak signifikan. Setiap melakukan tindakan baik, saya berharap bahwa konsekwensi positif tindakan saya tidak akan berhenti pada saat itu saja, tetapi akan mempengaruhi orang lain dalam skala yang mungkin tidak bisa saya bayangkan sebelumnya.

Bagi beberapa orang pemikiran ini mungkin terlalu euforis, tapi yah, toh saya tetap percaya pada hal ini. Dan keyakinan ini berhasil membuat perilaku baik terasa lebih menyenangkan untuk dilakukan. Harapan saya, semoga saya bisa terus bisa bersikap sebagai anak kecil yang tanpa keraguan menyodorkan sedikit yang dia miliki untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Siapa tahu, mungkin keputusan saya menulis artikel ini bisa mempengaruhi anda untuk mengambil sikap yang sama. Sampai lain kali!

*Gambar dalam post ini diambil dari alamat ini

Tuesday, June 12, 2012

Soegija dan Sebuah Ekspektasi yang Tidak Terjawab




Gambar diambil dari http://www.21cineplex.com/soegija-movie,2843,02SOJA.htm
   Sejak mendengar bahwa sebuah film mengenai pahlawan nasional, Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata akan diputar di bioskop-bioskop komersil di seluruh Indonesia, saya langsung merasa tertarik. Meskipun ada  banyak film buatan sineas Indonesia yang menurut saya bermutu baik dan sesuai dengan selera saya, tapi sayangnya kebanyakan film tersebut justru masuk ke festival internasional sementara perbioskopan komersil Indonesia dipenuhi film-film yang buat saya kurang menarik. Misalnya saja film yang baru-baru ini menyedot banyak perhatian media karena dikatakan mencatut nama icon terkenal asal Britania Raya.

Selain dari alasan tersebut, ada beberapa alasan lain yang membuat saya menantikan pemutaran film ini. Pertama-tama, saya beranggapan bahwa rasa nasionalisme di kalangan anak bangsa akhir-akhir ini menyurut dan menurut saya salah satu cara mengembalikan antusiasme dan cinta terhadap bangsa adalah dengan memperkenalkan kisah-kisah inspiratif tentang bagaimana orang-orang mematikan ego dan berjuang demi bangsa ini, lama berselang. Kedua, Mgr. Soegijapranata berjuang dengan menggunakan silent diplomacy sebagai strategi. Bagi saya sisi ini menarik karena saya termasuk pada kelompok orang yang percaya bahwa apabila orang mengutamakan diplomasi sebagai metode resolusi konflik manusia akan bisa menyelesaikan lebih banyak masalah; dan penyelesaian tersebut akan lebih bertahan lama. Ketiga, karena dalam setiap promosinya, pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini menyatakan bahwa ini merupakan film tentang kemanusiaan; sebuah tema yang dekat di hati saya sebagai self-proclaimed agent of peace. Hahaha.. Oh iya, satu lagi, karena sekuritisasi (yang disebarkan entah oleh siapa) bahwa Soegija akan diboikot oleh kelompok radikal tertentu yang terus terang saja cukup berhasil menggelitik rasa penasaran banyak orang.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya hari Minggu tanggal 10 lalu saya dan keluarga berangkat ke Buaran Teater untuk menonton film ini. Saya akui, ekspektasi saya terhadap film ini cukup tinggi, karena meskipun film ini bukan merupakan suatu biografi, tapi menurut saya ada banyak hal menarik yang bisa dituturkan dan disebarkan lewat film ini, seperti sudah saya katakan di atas. Setelah dimanjakan selama 115 menit dengan grafik yang menawan dan musik yang memanjakan telinga terus, mungkin karena ekspektasi saya yang memang 'agak' tinggi, terang saya merasa tidak mendapat apa yang saya harapkan. Bukan berarti saya beranggapan film ini jelek, film ini digarap dengan apik, dimainkan dengan apik pula meskipun ada beberapa ketidaksesuaian era, saya bisa mengabaikannya karena saya cukup menikmati film ini. Apalagi dengan dialog-dialog lokal yang meskipun banyak dikritik bersifat Jawasentris, tapi mendukung penyajian film. Permasalahannya untuk saya adalah film ini tidak menjawab keingintahuan saya dan tidak menyajikan hal-hal yang saya nantikan.

Perihal menumbuhkan rasa nasionalisme, ide memperkenalkan seorang tokoh nasional yang berjasa melindungi masyarakat sebenarnya cukup menarik, dan mungkin bisa berhasil. Apalagi banyak orang merasa perlu menonton film ini karena khawatir tidak sempat menontonnya di bioskop. Yah, paling tidak sedikit banyak adalah pesan-pesan nasionalisme yang bisa diteruskan, meskipun pesan-pesan tersebut ditunggangi isu-isu sampingan seperti misalnya keistimewaan Yogyakarta. Sah-sah saja sih, toh mayoritas penonton tidak menyadarinya.

Yang saya kecewakan adalah dalam usahanya menggambarkan penderitaan rakyat pada masa penjajahan, sepertinya film ini justru lebih menunjukkan glorifikasi perang dan tragedi daripada menekankan pada unsur-unsur 'kemanusiaan'. Agresi, kesedihan, harga diri, dan keputusasaan memang juga merupakan aspek kemanusiaan yang menjadikan manusia. Apabila kita bicara tentang kemanusiaan dalam konteks ini, menurut saya film ini sudah menangkapnya dengan lumayan baik. Mungkin karena pemikiran saya yang dangkal, tapi bukan itu yang saya antisipasi ketika saya mendengar para pemeran Soegija menjual film ini. Nilai-nilai kemanusiaan yang menyerempet cinta kasih terhadap sesama yang saya nanti-nantikan justru diekspos dengan sangat minim, bahkan terkesan dipaksakan lewat celotehan koster jenaka. Bukan dari tindakan nyata para tokoh sentral dalam plot cerita. Yang penting masuk. Bicara tentang tokoh sentral, film ini mengingatkan saya pada film Alice (in Underland) Tim Burton. Terlalu banyak tokoh sentral yang saling mendominasi. Sampai tidak ada yang terlihat menonjol. Soal silent diplomacy yang saya tunggu-tunggu juga sedikit sekali ditampilkan. Paling-paling hanya lewat pernyataan-pernyataan sang Romo yang meskipun bagus, tapi jadi terkesan superfisial. Karena tidak dibarengi ilustrasi berupa tindakan.

Kesimpulannya, saya tidak kecewa, tapi juga tidak puas menonton film ini. Film ini punya banyak potensi, tapi terkesan seperti kehilangan fokus. Menghibur, tapi buat saya kurang mencerahkan. Biar bagaimanapun, saya harap film ini tetap mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat kita, terutama kaum muda. Paling tidak mereka sadar bahwa ada cara-cara alternatif dalam mengartikulasikan kepentingan selain daripada yang akhir-akhir ini diekspos oleh media massa sampai-sampai mengabaikan fakta bahwa hal-hal baik juga terjadi di Indonesia. Saya sangat mendukung pembuatan film yang mengangkat tokoh-tokoh inspiratif lokal Indonesia. Tapi sebisa mungkin sih, yang tidak menyajikan glorifikasi kekerasan mengingat sudah banyak sajian kekerasan di televisi. Supaya lebih segar, saya mengharapkan sineas Indonesia mengangkat kisah tokoh-tokoh yang tidak berasal dari Jawa, supaya tidak lagi dituding Jawasentris.

Tuesday, May 29, 2012

Menjadi Pembawa Damai

Akhir-akhir ini saya merasa dibombardir oleh beragam kabar negatif tentang Indonesia oleh media massa. Mulai dari intoleransi, kekerasan fisik, insensitivitas, sampai dengan penyebaran kebencian. Saya lelah mendapat kabar-kabar negatif ini. Terutama karena saya merasa bahwa negara ini mulai mengarah pada kekacauan, dan saya merasa tidak berdaya menghadapinya. Mungkin banyak dari pembaca artikel ini yang berpendapat bahwa perasaan ketidakberdayaan yang saya rasakan timbul dari keengganan saya mengambil tindakan. Bisa jadi hal tersebut benar adanya, namun terus terang dalam keadaan Indonesia saat ini saya tidak yakin apakah mengambil tindakan dan mempercayakan aspirasi saya pada saluran yang sifatnya legal formal tidak akan membuat saya lebih frustrasi dari saat ini. Lagipula, bagaimana mungkin saya bisa menggantungkan harapan pada lembaga yang tidak lagi saya percaya?

Saya memperhatikan dari interaksi saya di media sosial bahwa ternyata bukan hanya saya yang menyadari dan merasakan negativitas tersebut. Banyak orang merasakannya, dan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mendukung satu jalan pemikiran, ada pula yang langsung mencaci pihak-pihak tertentu. Munculnya reaksi-reaksi yang berbeda ini sebenarnya sah-sah saja, toh setiap orang pasti punya posisi dan pendapat yang berbeda-beda. Tapi berbagai reaksi yang saya saksikan ini membuat saya berpikir, bagaimanakah saya harus bereaksi menghadapi kabar-kabar dan perasaan negatif ini?

Memutuskan Membawa Damai
Setelah puas dengan kemarahan dan rasa frustrasi saya, akhirnya saya menyadari satu hal: semarah apapun saya, saya tidak ingin menjadi orang yang menyebarkan kebencian dan nilai-nilai yang menurut saya tidak sesuai dengan diri saya; misalnya saja intoleransi dan ketidakterbukaan. Sudah cukup banyak energi negatif beredar di negara ini dan saya tidak berniat menambahnya.

Saya sadar bahwa saya tidak bisa berharap semua orang bisa melihat dengan kacamata yang sama dengan saya ataupun menilai berdasarkan standar-standar yang saya terapkan dalam menjalani kehidupan saya. Tapi saya percaya bahwa apabila kita menginginkan perubahan, maka kita harus mulai dengan merubah diri sendiri. Saya berharap dengan menyebarkan positivitas lewat setiap interaksi yang saya lakukan, sesedikit apapun saya bisa mengurangi keadaan negatif yang ada sekarang. Sebaliknya, saya juga yakin apabila saya ikut serta menyebarkan kebencian baik lewat tindakan maupun perkataan saya justru akan memperparah keadaan.

Bukan berarti dengan memutuskan untuk bersikap positif saya juga memutuskan menutup mata terhadap permasalahan dan hal-hal negatif yang ada dalam masyarakat sekarang. Seperti yang pernah dikatakan Gandhi, "An eye for an eye only ends up making the whole world blind." Kita tidak bisa mengharapkan hal baik muncul ketika kita menggunakan cara-cara yang buruk. Maka ya, mulai sekarang saya memutuskan untuk tidak ikut serta dalam kegiatan saling menunjuk dan mencaci maki. Saya hanya akan berusaha berpikir, berkata, dan berbuat sebaik yang saya bisa dalam keseharian saya dengan keyakinan bahwa saya melakukan bagian saya dalam menciptakan perdamaian.

Sunday, May 27, 2012

Disfungsi Empati


Sudah sekitar dua bulan saya hijrah ke kota Jakarta setelah menghabiskan lebih dari tujuh tahun terakhir di kota Yogyakarta. Bagi banyak orang tinggal di kota Jakarta mungkin bukan merupakan hal yang menyenangkan, tapi saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di kota ini. Terus terang saja, perubahan tempat tinggal ini terasa menyegarkan. Bagaimanapun menyenangkannya kota Yogya, saya merasa saya sudah cukup tinggal di sana. Paling tidak untuk saat ini.

Sebagai orang yang baru saja lepas dari bangku kuliah, kegiatan saya di kota Jakarta diwarnai dengan mencari kerja. Saya mengirimkan banyak lamaran dan menghabiskan mayoritas waktu saya di Jakarta menunggu respon atas lamaran yang saya kirimkan. Apa boleh, buat, saya memang belum berminat menciptakan lapangan kerja. Ketika lamaran saya akhirnya direspon oleh pihak penyedia lapangan kerja, maka tindakan yang selanjutnya saya lakukan adalah mendatangi penyedia lapangan kerja untuk melaksanakan tes ataupun wawancara. Dikarenakan ketiadaan kemampuan mengendarai kendaraan bermotor, maka saya menggantungkan diri pada sistem transportasi umum yang beroperasi di daerah Jakarta dalam rangka mendatangi para penyedia lapangan kerja.

Untuk kalian yang mulai bertanya-tanya apa hubungan empati dengan curhat saya di atas, jangan khawatir. Sebentar lagi semuanya akan menjadi jelas. Sebelum saya pindah ke Yogyakarta, saya sudah cukup akrab dengan bis kota, mengingat bahwa hampir setiap hari saya menggunakan moda transportasi tersebut. Namun, akhir-akhir ini saya lebih tertarik menggunakan sarana Transjakarta dan Commuter Line karena saya bisa menghemat cukup banyak waktu dibandingkan ketika saya menggunakan bis kota. Kedua sarana transportasi ini dapat dikatakan selalu penuh pada jam-jam berangkat dan pulang kerja pegawai. Berdiri saja sulit, apalagi mendapat tempat duduk. Kecuali anda berangkat dari perentian pertama, sepertinya duduk adalah hal yang cukup mustahil. Tidak masalah untuk saya, karena meskipun berperawakan kecil, saya merasa cukup sehat sehingga berdiri selama 1-2 jam di kendaraan umum tidak terlalu mengganggu saya.

Hal yang menurut saya mengganggu justru adalah orang-orang yang kesulitan berdiri dan memberikan tempat duduk bagi orang yang lebih membutuhkan. Meskipun di dalam kereta dan bus Transjakarta jelas-jelas ada tulisan yang menyatakan untuk memberi prioritas bagi orang lanjut usia, orang diffable, wanita hamil, dan orang yang membawa balita, saya menyaksikan banyak orang nampaknya pura-pura tidak memahami himbauan tersebut. Banyak anak muda dengan perawakan sehat tidak mau berdiri dan memberikan tempat duduknya, bahkan ketika petugas sudah terang-terangan meminta mereka untuk berdiri dan memberikan tempat duduk.

Berdasarkan pemahaman saya respon alami manusia ketika melihat orang lain kesusahan (seperti misalnya melihat  orang usia lanjut yang kesusahan berdiri dalam bis yang penuh) adalah turut merasakan kesulitan tersebut. Karena semua manusia (dengan pengecualian mereka yang sosiopat tentunya) mempunyai kemampuan berempati. Kemampuan inilah yang menyebabkan kita tersenyum ketika melihat teman kita mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya atau berjengit ketika melihat jari ibu kita teriris pisau ketika memasak. Aneh ketika seseorang melihat kesusahan orang lain tapi memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.

Seperti halnya kebiasaan merokok, saya percaya bahwa keputusan untuk tidak melakukan hal yang benar dan baik ini merupakan kebiasaan yang dilatih. Bahasa kerennya acquired habit. Untuk sampai pada tahap dimana ia bisa dengan tenang mengabaikan penderitaan orang (sekecil apapun itu) saya percaya bahwa orang harus membiasakan diri untuk tidak merespon dorongan empatis dari dalam dirinya. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa orang-orang ini bukannya tidak punya empati, tapi karena kebiasaan, maka dorongan empatis dalam diri mereka sudah tidak berefek lagi. Keadaan ini yang kemudian saya sebut sebagai disfungsi empati.

Pertanyaannya: apakah kita rela masyarakat kita terjangkit disfungsi empati? Terus terang saya tidak rela. Bukannya saya merasa saya sudah selalu melakukan hal yang benar, tapi sepertinya tidak ada salahnya kita mengingatkan orang-orang agar peduli kepada keadaan di sekitarnya. Paling tidak itulah yang saya coba lakukan dengan menulis artikel ini. At the very least, marilah kita mencoba introspeksi diri dan terus menerus mengingatkan diri kita untuk tidak mengabaikan dorongan empati yang kita rasakan dan mulai mengurangi keegoisan kita masing-masing untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Friday, May 25, 2012

Persatuan dalam Perbedaan

Unity in Diversity. Frasa ini merupakan tema dari pentas seni yang digelar oleh SMA saya, lama berselang. Terjemahan lepas frasa ini dalam bahasa Sansekerta, Bhineka Tunggal Ika juga merupakan semboyan dari bangsa Indonesia. Frasa yang sederhana; hanya terdiri dari tiga huruf. Tapi untuk saya pribadi, frasa ini merupakan frasa dengan makna yang kuat dan juga indah, karena dalam frasa ini selain dari semangat persatuan yang jelas-jelas tersurat, juga terkandung semangat cinta kasih dan kerendahan hati. Cinta kasih yang menyebabkan kita mau melihat melintasi batas-batas perbedaan individu dan kelompok, serta kerendahan hati yang membuat kita mau meredam ego untuk kepentingan dan tujuan bersama yang jauh lebih besar.

Bangsa Indonesia yang terbentuk dari berbagai elemen menyediakan arena yang sempurna ketika ingin mewujudkan persatuan di dalam perbedaan. Beragam suku bangsa dengan kebiasaan, kebudayaan, dan pola pikir yang berbeda-beda di Indonesia di satu sisi memang membuat integrasi sebagai suatu bangsa menjadi suatu tantangan tersendiri. Tantangan yang terus menerus menuntut penanganan selama 67 tahun perjalanan bangsa ini. Saya pikir tantangan ini tidak akan pernah bisa sepenuhnya selesai. Apabila satu hal selesai, akan ada hal lain yang muncul. Karena itulah penanganan yang tepat dan cepat untuk setiap permasalahan yang ada menjadi satu-satunya cara untuk mencegah tantangan-tantangan ini bertumpuk menjadi tantangan yang lebih sulit diselesaikan.

Meski mungkin persatuan yang tercipta di negara ini masih punya banyak kekurangan di sana-sini, kenyataannya kita bertahan dalam banyaknya perbedaan dan dalam sekian banyak konflik yang muncul dari perbedaan tersebut. Tapi akhir-akhir ini saya mulai khawatir kalau-kalau bangsa ini akan gagal mempertahankan persatuannya, tidak hanya sebagai suatu negara, tapi yang lebih penting lagi sebagai suatu bangsa. Saya merasa masyarakat kita yang pada awalnya kental dengan suasana saling menghormati dan menerima antar individu dan antar golongan dan selalu mengedepankan sikap ramah kepada siapapun tak peduli latar belakangnya sekarang mulai diwarnai atmosfer curiga yang mengarah kepada xenophobia. Segala hal yang dilakukan oleh pihak lain mulai dilihat sebagai ancaman. Akibatnya, masing-masing kelompok melakukan segala cara untuk membentengi diri mereka dari ancaman pihak lain dan menciptakan batasan yang semakin jelas antara 'kita' dan 'mereka'. Padahal belum tentu ancaman tersebut nyata. Hal ini tentu akan melukai persatuan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini.

Yah, mungkin fenomena ini hanya merupakan salah satu dari tantangan yang saya sebutkan sebelumnya dan perlu diselesaikan oleh bangsa Indonesia. Saya jelas berharap bahwa tantangan ini akan dapat segera diselesaikan. Saya percaya bahwa persatuan yang kuat dan suasana nyaman yang sebelumnya saya rasakan di Indonesia dapat sekali lagi tercipta apabila setiap anggota masyarakat menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah merupakan suatu ancaman, tapi justru merupakan aset yang dapat memperkuat bangsa ini.

Sunday, May 20, 2012

Komunikasi Modern: The Good, The Bad, And The Ugly

Dalam rangka memperingati hari komunikasi sedunia yang jatuh pada hari ini, 20 Mei 2012, mari kita bicara soal komunikasi modern. Tapi pertama-tama, saya ingin membicarakan (atau menuliskan) mengenai elemen-elemen pembentuk frasa tersebut. Komunikasi dan modern. Komunikasi, derivasi dari kata communis yang artinya berbagi. Komunikasi sendiri merujuk pada proses berbagi informasi, atau lebih jelasnya proses pembagian informasi di antara dua pihak atau lebih. Kata yang kedua, modern berarti berhubungan dengan fenomena yang terjadi di masa kini. Bisa juga dikaitkan dengan penggunaan teknologi-teknologi dan metode-metode terbaru. Merujuk kepada kedua penjelasan tersebut, maka saya memahami komunikasi modern sebagai proses pembagian informasi antara dua pihak atau lebih yang terjadi di masa sekarang dan melibatkan penggunaan teknologi dan metode terbaru.

The Good
Komunikasi merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa proses komunikasi yang kita lakukan ikut mendefinisikan eksistensi kita sebagai manusia. Kerennya: communicatio ergo sum, atau gaulnya: nggak komunikasi nggak eksis. Kenapa? Karena tanpa berkomunikasi kita tidak didengar, dan tidak dikenal. Ketika kita berkomunikasi, kita membagi pikiran-pikiran kita dengan orang lain sehingga orang dapat mengerti dan memahami pemikiran dan sudut pandang kita. Begitu juga sebaliknya. Dalam rangka menjalin hubungan yang efektif dengan pihak lain, mau tidak mau kita harus bisa membangun proses komunikasi yang berjalan dengan baik (working communication process) dengan parapihak tersebut. Saya ambil contoh pasangan kekasih. Agar hubungan mereka bisa lestari, kedua belah pihak harus bisa berkomunikasi dengan baik satu sama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah hal yang baik, berguna, dan sangat penting untuk dipraktekkan dalam kehidupan manusia.

Begitu juga dalam konteks komunikasi modern. Proses komunikasi yang awalnya hanya bisa dilakukan secara langsung antara satu pihak dengan pihak lain yang bertatap muka--saya menafikkan kemungkinan adanya bentuk-bentuk komunikasi telepatis--telah berkembang seiring munculnya berbagai macam media penyampai informasi. Sebut saja telepon, media massa, sampai media-media lainnya yang ada di dunia maya. Keberadaan teknologi-teknologi ini membantu manusia berkomunikasi dengan menjadikan proses komunikasi semakin mudah, murah, dan cepat.

The Bad
Ada dua hal yang meresahkan saya terkait komunikasi modern. Pertama, Semakin banyak orang memahami komunikasi sebagai proses menyampaikan informasi, tapi melupakan bahwa komunikasi juga melibatkan proses menerima informasi dari luar. Maksud saya begini, semakin banyak orang merasa bahwa pendapatnya penting didengarkan orang lain, maka itu mereka sangat vokal dalam menyampaikan pendapat baik secara langsung maupun lewat 'wadah-wadah' seperti organisasi massa, partai politik, dan media sosial. Sayangnya, dalam usaha menyampaikan maksud mereka, mereka menutup mata, telinga, dan hati terhadap suara pihak lain. Akibatnya, tidak ada usaha memahami pihak lain, yang kemudian berimbas pada semakin banyaknya benturan-benturan antar pendapat dalam masyarakat. Sebut saja antara pihak yang menghujat dan mendukung kedatangan Lady Gaga ke Indonesia. Kedua belah pihak kekeuh dengan pendapatnya masing-masing tanpa sedikitpun membuka ruang untuk mencari jalan tengah, yang pastinya ada di suatu tempat. Dalam kasus ini saya cukup berdiri di samping arena menonton perdebatan seru kedua belah pihak sambil makan pop corn. Kalau ikut-ikutan takut kehabisan energi.

Kedua, semakin banyak orang terlena dengan indahnya fitur-fitur yang disediakan oleh teknologi komunikasi yang ada dewasa ini sampai mereka terputus dari kenyataan di sekelilingnya. Saya ngeri melihat anak-anak sekolahan yang tidak bisa meletakkan gadgets mereka, kecuali ketika tidur. Lebih ngeri lagi ketika yang melakukannya orang dewasa yang harusnya memberikan contoh kepada yang lebih muda. Saya sangat terganggu apabila orang memakai gadgets mereka ketika sedang berbicara secara tatap muka dengan orang lain, mengendarai kendaraan baik yang bermotor maupun tidak, di dalam pesawat terbang, dan juga di dalam rumah ibadah. Mengganggu, menyebalkan, bahkan berbahaya. Salah satu dari sekian keresahan saya dalam hal ini ditangkap secara apik oleh Mice dalam ilustrasinya yang ditayangkan di Kompas tanggal 13 Mei 2012 lalu. Coba anda lihat. Meresahkan bukan?

Gambar diambil dari alamat ini. Terimakasih kepada Mice
yang memberikan ijin memasang ilustrasinya di blog ini.

The Ugly
Nah, kalau kedua hal tadi belum cukup keterlaluan, mari kita tinjau kekacauan yang makin marak di dunia maya. Mungkin dikarenakan komunikasi via dunia maya tidak melibatkan pertemuan face-to-face orang mulai melupakan etika-etika komunikasi, yang sesungguhnya penting. Di dunia maya, orang tidak lagi merasa bersalah ketika memaki dan menjelek-jelekkan pihak lain, bahkan dengan menggunakan kata-kata yang menurut saya tidak beretika. Hal ini diminimalisir dalam komunikasi langsung, karena dengan cara ini pembicara harus siap menghadapi reaksi dari orang yang diajak bicara sehingga mereka harus pikir-pikir sebelum berbicara kepada seseorang. Takut konsekwensinya.

So...?
Komunikasi itu adalah proses yang sangat penting. Saking pentingnya maka harus dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab. Yang perlu diingat, komunikasi berarti berbagi, bukan cuma berbicara. Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip pesan dari Paus Benediktus XVI, "By remaining silent we allow the other person to speak, to express him or herself; and we avoid being tied simply to our own words and ideas without them being adequately tested." [Benedict XVI, 2012] Menyuarakan pendapat boleh saja, tapi kita harus tetap mencoba terbuka terhadap pendapat yang lain. Selamat hari komunikasi sedunia!

Friday, May 18, 2012

Religiusitas, Loyalitas, dan Nasionalisme

Beberapa tahun terakhir, tensi di antara umat beragama di Indonesia semakin meningkat. Saya pernah mendengar di salah satu mata kuliah yang saya ambil beberapa tahun yang lalu bahwa semakin meningkatnya interaksi lintas batas negara turut berkontribusi terhadap semakin menguatnya ikatan in-group, seperti misalnya kelompok kepentingan dan kelompok agama. Terkadang, menguatnya ikatan ini berakibat pada bergesernya loyalitas orang dari negara kepada agama. Paling tidak, loyalitas anggota masyarakat yang sebelumnya sebagian besar diarahkan kepada negara sebagian teralihkan kepada kelompoknya masing-masing. Meskipun bisa diperdebatkan, tapi mungkin bergesernya loyalitas ini juga berimbas pada semakin meluasnya radikalisme di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Meskipun fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kelompok-kelompok agama, namun kali ini saya akan memfokuskan tulisan saya kepada kelompok tersebut.

Tidak ada hal yang salah ketika seseorang memutuskan untuk lebih mendalami dan menghayati agamanya. Tidak ada yang salah juga ketika orang yang beragama memutuskan berkumpul dengan orang-orang yang beragama sama. Sebaliknya, hal itu sangat normal. Manusia memang punya kecenderungan nge-geng dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan dengan dirinya. Tidak percaya? Coba anda lihat anak-anak SMA. Saya juga sangat mengerti bagaimana orang yang berdedikasi tinggi dan percaya penuh kepada agamanya bisa mempunyai keinginan untuk membela dan menjaga nama baik agamanya. Wajar. Tidak salah. Bahkan perlu.

Lalu apa masalahnya? Masalahnya bermula ketika dalam mendalami agamanya, orang menjadi semakin terfokus pada perbedaan antara ajaran-ajaran dan dogma-dogma yang berlaku dalam agamanya dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama lain. Apalagi apabila perbedaan-perbedaan tersebut menjadi lebih penting baginya daripada nilai-nilai lain yang diajarkan agamanya yang (menurut saya) pastinya lebih indah. Beberapa tahun terahir, kita melihat banyak kasus dimana fokus pada perbedaan tersebut didukung oleh kesamaan pendapat dalam kelompok sampai berkembang menjadi obsesi, bahkan kemarahan yang dianggap perlu dimanifestasikan dalam kekerasan fisik. Nah, kalau sudah sampai di tingkat ini jelas menjadi masalah.

Sehubungan dengan loyalitas yang tadi disebutkan itu, masalah muncul ketika loyalitas terhadap kelompok membuat orang melupakan loyalitas pada bangsa dan negara. Negara punya peraturan yang penting ditegakkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan cuma sebagian. Mengingat negara, terutama Indonesia, tidak hanya dihuni oleh satu kelompok tapi oleh beragam kelompok yang mempunyai pemikiran dan kepentingannya masing-masing, misalnya keinginan dan kepentingan untuk beribadah sesuai dengan apa yang diyakininya. Tanpa mengganggu kelompok lain. Jaminan kebebasan dan hak yang disediakan oleh negara penting untuk diingat, dihormati, dan ditegakkan oleh semua pihak yang tinggal di lingkup negaa ini agar tidak ada pihak yang dirugikan, dan agar Indonesia tidak jatuh pada situasi chaos, bahkan ketika loyalitas orang terhadap agama mendorong sekelompok warga negara untuk bersikap lain.

Ini pendapat saya pribadi, tapi menurut saya tidak dihormatinya peraturan hukum yang berlaku ada hubungannya dengan semakin tipisnya nasionalisme warga negara akhir-akhir ini. Bukan berarti saya mendukung upacara seminggu sekali dan penyebaran doktrin P4 di kalangan anak SD, tapi saya yang apatis dan apolitis ini termasuk dalam kelompok orang yang berpendapat bahwa nasionalisme dan rasa cinta pada negara adalah hal yang penting untuk ditumbuhkembangkan. Karena orang yang mencintai negaranya tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara tersebut. Menurut saya sih.