Thursday, January 28, 2016

Millenials: Equal and Opposite Reaction

Apakah anda lahir di antara akhir tahun 70an sampai awal 90an? Kalau iya maka sama seperti saya, anda masuk ke dalam satu kategori generasi yang bahkan namanya belum disepakati. Ada yang menyebut kita millenials, generasi Y, atau bahkan GYPSY.

Beberapa tahun terakhir saya perhatikan, mulai banyak artikel yang berusaha mendefinisikan kehidupan dan tingkah laku orang-orang generasi ini. Banyak diantaranya menurut saya sangat judgemental. Beberapa terang-terangan menyatakan keprihatinan akan masa depan: mau jadi apa dunia ini kalau dipimpin sama bocah-bocah millenial ini? Kok sepertinya mengatur diri mereka sendiri tidak becus?

Orang-orang yang menulis artikel-artikel ini (setidaknya yang berhasil saya telusuri dengan bantuan Mbah Gugel) kebanyakan lahir sebelum datangnya generasi millenial. Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa generasi ini mempunyai ekspektasi yang terlalu tinggi, bahkan sampai tahap delusional; yang tentunya tidak realistis ketika dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Makanya banyak yang depresi. Generasi ini juga apatis, dan tidak terkoneksi dengan fenomena sosial di sekeliling mereka. Makanya mereka tidak punya empati. Saya punya tiga kata untuk kalian para penulis artikel: too fucking late!

Kalian menginginkan kami mendapat kehidupan yang lebih baik dari kalian, sehingga membanjiri kami dengan barang-barang konsumsi yang dipaksakan kepada kalian oleh korporasi. Ketika kami menghabiskan uang kami (yang tentunya tidak sebanyak kalian, mengingat kami baru masuk ke dalam angkatan kerja) untuk membeli barang-barang yang tidak bisa dianggap aset, kalian bilang kami boros.

Setiap kami pulang membawa rapor kami, kalian selalu bertanya apakah nilai kami bagus dan memasang wajah kecewa kalau ternyata tidak. Kalian membuat kami percaya bahwa pencapaian-pencapaian akademik (yang di kemudian hari bertransformasi menjadi pencapaian finansial) adalah satu-satunya hal yang harus kami kejar. Ketika kami mencontek atau paling tidak menggunakan "rumus singkat" yang diajarkan di bimbingan belajar, kalian bilang kami malas.

Kalian sibuk bekerja (yah, bukan salah kalian juga sih. Kalau mau sedikit kelihatan kiri lebih tepat menyalahkan struktur kapitalisme global), tidak punya waktu mengajak kami bersosialisasi dengan tetangga-tetangga. Ketika kami tidak tahu ketika mereka punya masalah, kalian bilang kami tidak peduli.

Kalian membuat kami percaya bahwa kami ini istimewa, kalau kami bisa meraih segalanya. Reach for the moon, if you miss at least you will land among the stars, kata kalian. Kalian lupa bahwa bintang lebih jauh dari bumi, dan kalau kami mendarat di ruang angkasa yang hampa udara, kami akan mati beku kehabisan oksigen dalam 30 detik. Begitu kami depresi mengetahui kenyataan itu, kalian bilang kami manja.

Tanpa bermaksud menyalahkan para orang tua, apakah kalian tidak merasa bahwa kami adalah produk dari struktur poleksosbud yang kalian ciptakan? Sudahlah, tidak perlu lagi menganalisa karakteristik generasi kami. Bikin tambah depresi aja. Lebih baik kalian katakan pada kami apa yang harus kami lakukan supaya kekacauan ini tidak kami lanjutkan ke generasi berikutnya.

Monday, January 18, 2016

Takut Nggak Yaaaa....

Saya merasa beruntung, karena pasca peledakan bom yang menghebohkan Jakarta minggu lalu, tidak satupun teman-teman saya di whatsapp yang menyebarkan foto-foto berdarah-darah korban maupun pelaku. Berarti saya punya teman-teman yang tepat. Kata siapa coba kita ngga boleh pilih-pilih teman?!

Saya sengaja tidak buka FB di hari kejadian. Karena meskipun saya sudah lama ingin bebersih laman FB saya dari "teman-teman" yang postingannya justru bikin stres, sampai sekarang saya belum sempat melakukannya. Daripada kesal lihat gambar darah atau panik gegara berita yang nggak jelas darimana asalnya. Mending saya hiatus dulu sehari deh. Sehari aja. Nggak usah lama-lama.

Tidak berapa lama setelah kabar peledakan tersebut, ada seorang kolega yang mengirim pesan di grup yang tidak secara sukarela saya ikuti. Kira-kira inti pesannya adalah: "jangan takut!"

Ngomong-ngomong, saat kejadian saya dan tim sedang rapat di luar kantor. Di daerah yang lumayan banyak persentasi imigran dari negara-negara lainnya (karena konon katanya bilang expatriat itu bahwasanya rasis juga). Reaksi awalnya? Pasti lah khawatir. Tapi setelah dipikir dan dicerna, reaksinya berubah menjadi: "Ya udahlah ya, toh kalo emang udah waktunya mati, mau lagi di fort knox juga tetep mati aja."

Maafkan, saya nggak tau ini meme datang
dari mana.. Kalau anda tau pembuatnya,
tolong saya dikasih tau yah..
Meski demikian, bukan berarti saya tidak takut. Ketakutan adalah reaksi pertahanan diri yang paling alami. Hal yang menjaga kita dari melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan rasa sakit, baik fisik maupun mental. Beberapa orang takut pada ketinggian karena sesungguhnya, jatuh dari gallery monas itu bisa bikin mati. Kira-kira demikian analoginya buat saya. Tidak ada yang salah dengan rasa takut. It keeps us alive. Yang kemudian jadi salah adalah bereaksi berlebihan terhadap rasa takut tersebut.

Terlepas dari takut atau tidaknya saya (ciee.. gak mau ngaku kalo takut cieee...), saya pikir mayoritas orang bukannya tidak takut. Apatis aja. Orang Indonesia, dan Jakarta terutama, sudah sangat terbiasa dengan sikap "ya udahlah ya.." Sampai-sampai mereka tidak lagi merasa perlu bereaksi serius menghadapi situasi serius. Bagus sih buat kewarasan, tapi hampir bisa dipastikan tidak akan menyelesaikan permasalahan. Contoh: "Aduh, bulan ini minus lagi nih. Ya udahlah ya." Nambah terus deh utang kartu kreditnya. Loh, curhat. Hahaha...

Ada tulisan yang menyebutkan bahwa menutupi teror dengan humor itu merupakan perwujudan dari cacat wacana. Lemah di konten, tidak paham menganalisa suasana, jadi tidak yakin harus bereaksi seperti apa. Tapi apakah kemudian itu sepenuhnya salah? Saya pikir tidak juga. Toh, satu hal yang tidak disangka-sangka, Jakarta nggak jadi mencekam. Hahahaa...

Bahwa kita perlu lebih mengasah kemampuan berpikir kritis dan membuka hati kita, saya setuju. Buat saya tidak bijak (untuk tidak mengatakan bodoh) menonton tembak-tembakan pakai peluru betulan, mengirim driver tanpa pelatihan militer dan tanpa dilengkapi alat-alat pertahanan yang cukup untuk mengevakuasi orang-orang di battlezone, dan menerobos barikade polisi cuma untuk selfie (seriously, guys, masih ada proses penyelidikan loh).

Ya, kita memang perlu berpikir, apa sih akar permasalahan yang harus dipecahkan? Apa sih intervensi yang paling tepat untuk dilakukan? Siapa sih yang harusnya jadi target intervensi? Konten apa sih yang harus kita pegang? Sumber daya apa sih yang bisa dimobilisasi? Tsaaah.. udah pantes belom saya jadi mbak-mbak enjioh? Hahahaha..

But seriously, mungkin kita perlu sedikit merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas sebelum keadaan menjadi tambah kacau. Tapi nggak ada salahnya juga toh, kalau kalau sambil melakukannya kita sedikit tertawa? Mengutip ending-ending film Warkop DKI, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Ya nggak sih? :-)

Monday, January 4, 2016

Hepi Hepi 2016

Semakin kita beranjak dewasa (untuk tidak mengatakan tua), semakin kecil arti selebrasi hari besar. Entah kenapa, merayakan beberapa hari besar jadi terasa banal. Terutama ketika makna dari perayaan tersebut jadi hilang, atau mungkin memang sejak awal tidak pernah merasuk dalam perasaan. Jadinya cuma celebration for celebration's sake. Semacam: pada beriang ria nih, yah saya ikutan aja lah. And this kind of way to celebrate is fun for a while, sampai pada saat menikmati keriaan bersama temanpun sudah menjadi sebuah kebutuhan sosial, dan bukan sarana pemuasan spiritual. *halah, kok susah menemukan bahasa yang cocok ya..*

Bukannya saya nggak suka keriaan sih, but as I become older, saya jadi jauh lebih selektif dalam memilih teman-teman saya beriang ria. I have a very small circle of friends with whom I am comfortable with. Sisanya ya cuma jadi social prerequisite. Bukan berarti saya nggak bisa bersenang-senang dengan mereka. Tapi mungkin bersenang-senang sudah tidak jadi prioritas lagi buat saya kali ya. Geez, I sound like a geezer!

Tapi jangan salah paham ya, saya bukannya sama sekali nggak suka selebrasi. Masih ada juga kok hari-hari libur dan/atau hari besar yang membuat saya bersemangat. Paskah dan Valentine misalnya. Eh, Valentine itu masuk hari besar nggak sih?

Anyway, saya menulis artikel ini karena beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel Antonio Gramsci berikut yang mengritisi soal perayaan tahun baru. Udah, nggak usah kaget gitu saya baca Gramsci. Kebeneran aja linknya ada di timeline, makanya saya klik.

Somehow, the article clicked. Konsepsi satuan waktu yang berlaku umum membuat kita mempercayai ilusi bahwa di setiap transisi antar satuan waktu ada permulaan baru. Dan ini terjadi setiap pagi, setiap hari Senin, setiap tanggal 1, apalagi setiap tanggal 1 Januari. Kita ingin percaya bahwa di setiap transisi ada awal baru untuk kita, meskipun pada kenyataannya hidup kita terus berjalan tanpa jeda. Hal yang terjadi tahun lalu tidak bisa dihapus begitu saja hanya dengan membuang kalender dan menggantung kalender baru. Kerjaan yang masih pending masih harus dikerjakan. Orang yang kita sakiti juga masih kesakitan.


Okay, at this point, pendapat saya jadi berbeda sama Gramsci. Kalau dia lebih optimis, pemikiran saya agak sedikit lebih gelap. Sedikit aja kok tapi. Beda dengan dia yang ingin setiap hari menjadi awal yang baru, saya berpendapat bahwa kita harus lebih realistis. Nggak usahlah memaksakan diri membuat resolusi berjamaah karena externally imposed milestone begitu. We all will change at our own pace. Nggak usah dipaksakan.

That being said, terlepas dari seberapapun kelamnya isi kepala saya, saya sukaaaaaa kembang api! Jadi ya, malam tahun baru kemarin tetap menikmati juga sih. Tuh kan. Labil.