Monday, January 18, 2016

Takut Nggak Yaaaa....

Saya merasa beruntung, karena pasca peledakan bom yang menghebohkan Jakarta minggu lalu, tidak satupun teman-teman saya di whatsapp yang menyebarkan foto-foto berdarah-darah korban maupun pelaku. Berarti saya punya teman-teman yang tepat. Kata siapa coba kita ngga boleh pilih-pilih teman?!

Saya sengaja tidak buka FB di hari kejadian. Karena meskipun saya sudah lama ingin bebersih laman FB saya dari "teman-teman" yang postingannya justru bikin stres, sampai sekarang saya belum sempat melakukannya. Daripada kesal lihat gambar darah atau panik gegara berita yang nggak jelas darimana asalnya. Mending saya hiatus dulu sehari deh. Sehari aja. Nggak usah lama-lama.

Tidak berapa lama setelah kabar peledakan tersebut, ada seorang kolega yang mengirim pesan di grup yang tidak secara sukarela saya ikuti. Kira-kira inti pesannya adalah: "jangan takut!"

Ngomong-ngomong, saat kejadian saya dan tim sedang rapat di luar kantor. Di daerah yang lumayan banyak persentasi imigran dari negara-negara lainnya (karena konon katanya bilang expatriat itu bahwasanya rasis juga). Reaksi awalnya? Pasti lah khawatir. Tapi setelah dipikir dan dicerna, reaksinya berubah menjadi: "Ya udahlah ya, toh kalo emang udah waktunya mati, mau lagi di fort knox juga tetep mati aja."

Maafkan, saya nggak tau ini meme datang
dari mana.. Kalau anda tau pembuatnya,
tolong saya dikasih tau yah..
Meski demikian, bukan berarti saya tidak takut. Ketakutan adalah reaksi pertahanan diri yang paling alami. Hal yang menjaga kita dari melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan rasa sakit, baik fisik maupun mental. Beberapa orang takut pada ketinggian karena sesungguhnya, jatuh dari gallery monas itu bisa bikin mati. Kira-kira demikian analoginya buat saya. Tidak ada yang salah dengan rasa takut. It keeps us alive. Yang kemudian jadi salah adalah bereaksi berlebihan terhadap rasa takut tersebut.

Terlepas dari takut atau tidaknya saya (ciee.. gak mau ngaku kalo takut cieee...), saya pikir mayoritas orang bukannya tidak takut. Apatis aja. Orang Indonesia, dan Jakarta terutama, sudah sangat terbiasa dengan sikap "ya udahlah ya.." Sampai-sampai mereka tidak lagi merasa perlu bereaksi serius menghadapi situasi serius. Bagus sih buat kewarasan, tapi hampir bisa dipastikan tidak akan menyelesaikan permasalahan. Contoh: "Aduh, bulan ini minus lagi nih. Ya udahlah ya." Nambah terus deh utang kartu kreditnya. Loh, curhat. Hahaha...

Ada tulisan yang menyebutkan bahwa menutupi teror dengan humor itu merupakan perwujudan dari cacat wacana. Lemah di konten, tidak paham menganalisa suasana, jadi tidak yakin harus bereaksi seperti apa. Tapi apakah kemudian itu sepenuhnya salah? Saya pikir tidak juga. Toh, satu hal yang tidak disangka-sangka, Jakarta nggak jadi mencekam. Hahahaa...

Bahwa kita perlu lebih mengasah kemampuan berpikir kritis dan membuka hati kita, saya setuju. Buat saya tidak bijak (untuk tidak mengatakan bodoh) menonton tembak-tembakan pakai peluru betulan, mengirim driver tanpa pelatihan militer dan tanpa dilengkapi alat-alat pertahanan yang cukup untuk mengevakuasi orang-orang di battlezone, dan menerobos barikade polisi cuma untuk selfie (seriously, guys, masih ada proses penyelidikan loh).

Ya, kita memang perlu berpikir, apa sih akar permasalahan yang harus dipecahkan? Apa sih intervensi yang paling tepat untuk dilakukan? Siapa sih yang harusnya jadi target intervensi? Konten apa sih yang harus kita pegang? Sumber daya apa sih yang bisa dimobilisasi? Tsaaah.. udah pantes belom saya jadi mbak-mbak enjioh? Hahahaha..

But seriously, mungkin kita perlu sedikit merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas sebelum keadaan menjadi tambah kacau. Tapi nggak ada salahnya juga toh, kalau kalau sambil melakukannya kita sedikit tertawa? Mengutip ending-ending film Warkop DKI, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Ya nggak sih? :-)

No comments:

Post a Comment