Saturday, July 28, 2012

Lima Roti dan Dua Ikan

Saya punya hubungan yang baik dengan Tuhan, tapi saya bukan penganut Katolik yang baik. Karena itu lewat tulisan kali ini saya tidak berusaha menunjukkan pengetahuan saya tentang iman Katolik, melainkan hanya ingin membagi perenungan saya atas salah satu bacaan kitab suci yang cukup sering diangkat, dan mungkin banyak diketahui baik oleh orang yang memeluk Kristianitas maupun tidak, bertema lima roti dan dua ikan.


Alkisah pada suatu ketika, saat menyepi di tepian Danau Tiberias, Yesus dikejutkan dengan 5000 orang yang berharap mendengar Yesus mengajar. Dalam setiap acara yang melibatkan banyak massa, pasti ada permasalahan dalam hal logistik. Hal inilah yang dihadapi Yesus pada saat itu. Bagaimana caranya menyediakan konsumsi bagi 5000 orang? 

Dihadapkan dengan masalah ini, para murid Yesus kebingungan. Setelah mencari-cari jalan keluar, seorang anak kemudian menawarkan bekalnya yang terdiri dari lima roti dan dua ikan. Para murid pun pesimis. Apalah artinya bekal itu dibandingkan jumlah massa yang berkumpul? Singkat cerita, Yesus mengadakan mukjizat sehingga bekal tersebut bisa memberi makan semua orang yang ada di sana, dengan sisa 12 bakul banyaknya.

Kitab suci dari agama manapun dipenuhi dengan metafora yang bisa diartikan secara harfiah, ataupun diambil sisi aplikatifnya, sesuai preferensi pembacanya. Dalam rangka membuat diri saya mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran yang ada di kitab suci, saya pribadi seringkali memilih untuk fokus pada memahami sisi praksis dalam merenungkan cerita-cerita yang ada dalam Alkitab, terutama penggalan yang satu ini.

Setiap kali saya mendengar kisah ini saya selalu berpikir bahwa inti cerita ini tidak terletak pada Yesus yang mampu menarik massa sedemikian banyak untuk mendengar ajaran-Nya ataupun pada ke-Illahian Yesus yang membuatnya mampu menyediakan makanan pada orang-orang tersebut dari sedikit makanan yang berhasil dikumpulkan; tapi pada anak kecil yang rela menyerahkan bekal makanannya, yang mungkin sengaja disisihkan oleh orang tuanya untuk memastikan anaknya tidak akan kelaparan selama menyaksikan Yesus mengajar.

Anak kecil itu sendiri sebenarnya tidak membawa makanan berlimpah. Meskipun bisa diperdebatkan, lima roti dan dua ikan paling-paling hanya cukup untuk dua kali makan. Bukan jumlah yang signifikan ketika dihadapkan dengan jumlah orang yang masif tersebut. Walaupun begitu, dengan menyerahkan bekalnya, anak kecil tersebut menyadari bahwa setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab sosial untuk menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya demi kepentingan yang lebih besar.

Tanpa bermaksud mengecilkan pengertian mukjizat, saya berpikir bisa jadi mukjizat yang dimaksudkan adalah ripple effect dari kesediaan anak kecil tersebut mengorbankan miliknya, sehingga orang-orang lain yang sebenarnya juga membawa makanan bagi kepentingannya sendiri-sendiri menjadi tergerak (mungkin atas dasar rasa malu) untuk juga memberikan sesuatu bagi kepentingan kelompok, yang pada akhirnya menunjukkan bahwa apabila setiap orang mau berkontribusi, maka kepentingan umum sebenarnya bisa dipenuhi tanpa harus mengandalkan pada sumber daya dari luar.

Nah, sekarang saya ingin mencoba mengaitkannya dengan konteks saat ini. Kita hidup dalam dunia yang mempunyai banyak masalah. Apabila anda tidak menyadarinya maka anda mungkin ada dalam penyangkalan atau hanya tidak peduli. Ketika melihat suatu masalah, secara naluriah saya akan merasa bahwa ada sesuatu hal yang harus dilakukan. Namun ketika merancang suatu solusi, saya terjebak dalam keinginan saya untuk langsung menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga seringkali berujung pada solusi yang muluk-muluk, yang tidak dapat saya lakukan sendiri. Dan pada akhirnya, perasaan tidak mampu itumembuat saya tidak melakukan apa-apa.

Penggalan kitab suci ini membuat saya berpikir bahwa mungkin dalam menyelesaikan masalah sebesar apapun, mungkin kita harus memulai dengan melakukan hal-hal kecil yang ada dalam kemampuan kita. Bisa jadi penyelesaian ini berupa kita menyumbangkan sumber daya yang kita miliki (tidak harus yang bersifat materiil) dalam usaha penyelesaian masalah, melakukan advokasi, atau mungkin dengan hanya membantu diseminasi informasi lewat berbagai jalur yang bisa dimanfaatkan saat ini. Satu hal yang pasti, apabila kita ingin merubah keadaan, kita tidak akan misa mencapainya dengan menggantungkan diri pada pihak lain dan berharap seseorang di suatu tempat akan melakukan sesuatu.

Pengalaman saya telah mengajari saya untuk mempercayai keberadaan ripple effect. Bahwa setiap keputusan yang kita ambil akan mempengaruhi orang lain dengan cara yang tidak disangka-sangka. Karena itulah saya mengambil keputusan untuk tidak menganggap setiap tindakan, sekecil apapun itu, sebagai tidak signifikan. Setiap melakukan tindakan baik, saya berharap bahwa konsekwensi positif tindakan saya tidak akan berhenti pada saat itu saja, tetapi akan mempengaruhi orang lain dalam skala yang mungkin tidak bisa saya bayangkan sebelumnya.

Bagi beberapa orang pemikiran ini mungkin terlalu euforis, tapi yah, toh saya tetap percaya pada hal ini. Dan keyakinan ini berhasil membuat perilaku baik terasa lebih menyenangkan untuk dilakukan. Harapan saya, semoga saya bisa terus bisa bersikap sebagai anak kecil yang tanpa keraguan menyodorkan sedikit yang dia miliki untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Siapa tahu, mungkin keputusan saya menulis artikel ini bisa mempengaruhi anda untuk mengambil sikap yang sama. Sampai lain kali!

*Gambar dalam post ini diambil dari alamat ini