Friday, November 1, 2013

Emo Ergo Sum

Demo buruh menuntut kenaikan upah sudah bukan hal baru lagi di Indonesia. Pro dan kontra kenaikan upah buruh di media sosial juga sudah bukan hal baru lagi. Tapi demo buruh kali ini semakin rusuh karena ada artikel-artikel yang menyoroti bagaimana para buruh berdemo sambil membawa gadget canggih dan kendaraan mentereng. Semakin seru lah pro dan kontra seputar tuntutan buruh ini.

Beberapa waktu lalu saya sempat membagi salah satu berita kontroversial tersebut di dinding facebook saya. Sederhana saja alasannya, karena saya menyadari bahwa fenomena ini (orang-orang merasa butuh gadget paling up to date dan barang-barang paling mentereng untuk tetap eksis) adalah kenyataan di negara kita, bukan hanya di kalangan buruh, tapi juga (atau mungkin malah terutama) di kalangan pekerja kantoran. As a consequence, saya terjebak daalam perdebatan soal upah buruh. Langsung dicap sebagai kelas menengah yang menolak memahami penderitaan kelas buruh. Baiklah, daripada pendapat saya disalahartikan, saya jabarkan sajalah sekalian pendapat saya soal seluruh fenomena ini.

We all need to practice our right to speak every once in a while.*

Sebagai pekerja 'kantoran', saya lebih banyak melihat fenomena ini terjadi di kalangan yang oleh teman-teman yang lebih paham Marxisme dirujuk sebagai 'kelas menengah' ini. Saya menyaksikan bagaimana orang langsung memburu piranti terbaru segera setelah barang itu dirilis, melihat antrian mengular di dealer BB atau Apple Store ketika ada produk baru. Saya menyadari bahwa sebagai manusia kita punya kebutuhan upgrade dan update, saya juga merasa orang punya hak melakukan apa saja yang mereka mau dengan uang mereka. Supaya tidak dibilang munafik, saya juga beli smartphone kok, tapi saya menyadari bahwa saya melakukan iu karena saya ingin dan ketika saya membeli barang itu, ongkos nongkrong saya jadi berkurang. Itu konsekwensi yang harus saya terima. Apakah saya merasa gaji saya cukup? Tidak. Tapi saya merasa bahwa saya digaji sesuai dengan kontribusi saya pada lembaga. 

Kembali ke masalah buruh. Saya bukan orang tidak berperasaan. Saya bisa membayangkan sulitnya hidup di Jakarta dengan upah 2,4 juta per bulan. Saya bukannya tidak setuju buruh menuntut perbaikan, tapi saya merasa perbaikan yang disasar salah sasaran. Kenapa? Karena setiap kali demo buruh selalu fokus pada nominal yang mereka terima. Menurut saya ini pendekatan yang sagat reaktif. Harga naik, karena itu gaji harus naik; tanpa menyadari kenaikan gaji tersebut akan berkontribusi pada naiknya harga-harga di kemudian hari. Selain itu, pendekatan ini juga simptomatik. Bagaikan kalau pusing langsung minum panadol. Gejalanya sih reda sementara, tapi kanker otaknya tetap ada.

Banyak pendapat di dunia maya menyatakan buruh harusnya lebih bersyukur. Menurut saya pendapat itu menggelikan. Buruh dirugikan, dan mereka harus bersuara. Begitu juga semua guru honorer, satpam, dan orang-orang lain yang merasa dirugikan oleh sistem. But they have to be smart. They must be able to be choose which fights are worth fighting and be strategic with those fights. Di sisi lain, ada lagi pendapat yang berkata apa salahnya buruh punya gadget terbaru atau motor keren? Nggak, nggak ada salahnya. But then again, setiap keputusan punya konsekwensi. Saya bukannya menolak buruh punya barang-barang keren, saya menolak kalau pembiayaan barang-barang keren tersebut menjadi dasar permohonan kenaikan upah mereka. Nggak ada salahnya saya punya Aston Martin, tapi bodoh kalau saya berharap bisa mencicil Aston Martin DB9 sambil mempertahankan gaya hidup saya sekarang.

Nothing's wrong with this baby, nothing at all.**

Apakah kenaikan upah perlu? Mau tidak mau. Tanpa kenaikan upah, buruh tidak akan bisa bertahan. Tapi menurut saya menuntut kenaikan upah semata hanya akan melestarikan akar masalah yang menyebabkan ketimpangan sosial antara orang-orang dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Kenaikan upah bukan satu-satunya faktor yang harus diperjuangkan. Ada hal-hal yang juga esensial: Apakah mereka diijinkan berserikat dan apakah serikat tersebut berfungsi efektif untuk mendukung kepentingan para buruh? Apakah mereka diberi kesempatan mengembangkan diri dan naik ke jenjang berikutnya? Apakah keamanan kerja mereka dijamin oleh perusahaan (bukan hanya dalam hal perusahaan meminimalisir kecelakaan kerja, tapi juga menjamin buruh bukan aset yang disposable)? Apakah mereka sudah mendapat jaminan-jaminan mendasar (misalnya saja kesehatan dan pendidikan)? Itu baru pertanyaan-pertaanyaan seputar perusahaan saja. Masih banyak lagi hal-hal diluar gaji yang berujung pada memastikan kesetaraan dan perbaikan nasib buruh, tapi seringkali terabaikan. Padahal tanpa perubahan sistemik, mau berapapun gajinya, buruh akan tetap menjadi pihak yang dirugikan. Kalau mau benar-benar memperbaiki nasib buruh, secara tidak langsung subsidi untuk petani, pendidikan gratis dan berkualitas, sarana dan prasarana publik, dan seabreg isu lainnya juga harus diperbaiki. 

Nah, disinilah serikat buruh dan segala CSO-CSO yang menjamur itu seharusnya berperan. Menurut saya, fungsi mereka bukan hanya untuk memobilisasi buruh untuk bergerak, tapi juga untuk mengedukasi buruh mengapa mereka perlu bergerak. Kenyataannya, kebanyakan buruh tidak mempunyai pemahaman untuk melihat contributing factors yang tidak langsung berhubungan dengan dirinya, karena itulah pihak eksternal yang punya pandangan lebih luas bisa membuat mereka menyadari hal-hal tersebut, bukannya membabi buta mendorong dan mendukung buruh untuk berkutat di masalah itu-itu saja. Toh pendekatan ini tidak membawa perubahan esensial dalam perbaikan nasib buruh yang katanya mereka bela itu. Kalau mereka kekeuh mempertahankan pendekatan ini, motivasi mereka juga layak dipertanyakan.

Anyway, terlepas dari masalah buruh, saya merasa masyarakat kita punya masalah bersama. Masalah yang membuat kita berpikir kita perlu mendefinisikan diri kita dengan hal-hal materiil. Thus, the title of this post. Emo Ergo Sum, I Buy therefore I Am. Untuk urusan ini, saya pikir saya tidak perlu menulis lagi, toh sudah dinyanyikan dengan apik oleh Eddie Vedder. Jadi mari kita dengarkan saja. 



---------------------------------------------------------
*Gambar boneka berbaris diambil dari halaman ini.
**Gambar Aston Martin DB9 diambil dari halaman ini

Wednesday, September 25, 2013

Comfort Zone

Kata orang, life begins at the end of your comfort zone. Apakah benar demikian? Mungkin iya, beberapa teman yang (sepertinya) berani mendorong batas zona nyaman mereka sampai ke tahap yang cukup ekstrim tampak mempunyai alur hidup yang lebih berwarna dibandingkan teman-teman yang menerima saja hal yang disodorkan kehidupan pada mereka, bahkan ketika mereka layak dan dapat menerima hal yang lebih dari yang mereka dapat sekarang. Tapi, saya tidak bisa memvonis kalau kelompok yang pertama lebih 'hidup' daripada kelompok yang kedua, ataupun kalau kelompok pertama bisa dikatakan lebih bahagia dari kelompok kedua.

Saya pribadi merasa nyaman berada di zona nyaman saya (ya pasti nyaman lah, namanya juga zona nyaman). Saya bukan orang yang mempunyai hasrat meluap-luap untuk mendobrak batas kenyamanan saya. Paling-paling saya suka menari-nari di batas kenyamanan saya sambil sesekali menyimpang dari batas tersebut. Yang terjadi setelahnya adalah satu dari dua hal: saya ikut menarik batas kenyamanan saya sesuai gerak tari saya, atau saya kembali ke dalam batas kenyamanan yang sebelumnya sudah ada. Untuk saya tidak ada salahnya berusaha menyamankan diri di tempat yang tidak sepenuhnya nyaman, tapi bertahan di tempat yang sama sekali tidak nyaman (tanpa kemungkinan kita bisa mengusahakan kenyamanan) adalah bodoh dan sia-sia. Meskipun merasa bahwa saya harus secara konstan menantang diri saya, tapi di mata saya tidak ada yang salah dengan merasa nyaman. Comfort is good, that's why we sleep on mattresses instead of stone slabs.

This looks comfortable. I don't see what's wrong with this.*
Lalu kenapa banyak orang membenci zona nyaman? Karena zona nyaman bisa berbahaya ketika dia membutakan kita. Zona nyaman menjadi membutakan ketika pikiran kita tertutup, dan menolak berkompromi. Kita terkekang zona nyaman ketika semua hal di luar zona nyaman kita terlihat berbahaya. Hal ini muncul ketika menolak mempercayai bahwa ada hal baik di luar zona nyaman yang kita ciptakan. Akibatnya, orang yang dibutakan zona nyaman akan menjadi ketakutan. Jangankan mencoba, mendengar ada hal diluar zona nyaman saja sudah membuat merinding. Pada tingkat yang ekstrim, orang-orang yang dibutakan zona nyaman bisa menjadi ofensif terhadap orang-orang dan hal-hal di luar zona nyaman mereka. Misalnya saja orang-orang 'beragama' yang menyerang orang-orang atheis hanya karena mereka membuat orang-orang 'beragama' merasa tidak nyaman.

Bahaya lain adalah ketika zona nyaman mengekang kita. Indikasi kuat bahwa ketika kita terkekang zona nyaman adalah ketika zona tersebut tidak lagi nyaman. Biasanya kita terkekang zona nyaman ketika kita settle for less. Setiap orang punya potensi, dan ketika potensi tersebut tidak lagi terakomodasi oleh zona nyaman, orang bisa saja memperluas zona nyamannya. After all, comfort zone is not a rigid cage. Zona nyaman sesungguhnya adalah sesuatu yang organik. Dia bisa berkembang dan berubah seperti manusia juga berkembang dan berubah. Memaksakan manusia menetap dalam pseudo comfort zone yang menolak berubah sama saja tidak memampukan manusia mencapai kapasitas terbaiknya. Kenyataan bahwa manusia yang terkekang dalam zona nyaman menyadari bahwa dia bisa mencapai hal yang lebih dari pseudo comfort zone yang didiaminya itulah yang membuat zona nyaman tersebut tidak lagi nyaman.

Sayangnya, banyak orang memilih bertahan dalam zona nyaman yang tidak nyaman karena the familiar, no matter how uncomfortable, is much better than the unknown. Mungkin karena asumsi umum semacam inilah orang-orang jadi mengatakan bahwa life begins at the end of your comfort zone ya? Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui bahwa the unknown itu tidak lebih baik dari the familiar sementara kita tidak pernah mencobanya? Saya jadi berpikir, jangan-jangan sebenarnya ini bukan masalah kenyamanan, tapi lebih kepada keterbukaan, kesediaan mencoba hal-hal baru, dan menghindari stereotipe yag kita ciptakan sendiri.

Nah, kalau pola pikirnya seperti itu saya sangat setuju. Yang harus dikriminalisasi sebenarnya bukan zona nyamannya sendiri, tapi pemikiran sempit yang membuat kita berpikir bahwa zona nyaman kita juga sempit. Kenyataannya, dunia itu luas. Ada banyak ruang bagi kita untuk menemukan dan menciptakan kenyamanan. Jadi, mari kita sama-sama mengeksplorasi dan menentukan sendiri apa yang nyaman untuk kita.

---------------------------------------------------------
*Picture by Mac, taken from this site.

Monday, May 27, 2013

Purnama, Sutra, dan Lampu Kilat

The Background 
Sehari sebelum Waisak, saya menemukan artikel ini di facebook.  Setelah saya membacanya, saya merasa bisa memahami persepsi penulisnya, maka saya memutuskan memajang artikel ini di dinding facebook saya. Niatan saya ketika memasang laman ini di dinding saya cuma satu: mengingatkan orang-orang bahwa tindakan yang seringkali kita lakukan tanpa niat jahat (dalam hal ini mengambil foto 'atraksi pariwisata') ternyata mengganggu hak asasi orang lain, dan membuat orang tersebut merasa terganggu. Apalagi karena ini bukan isu baru, melainkan sudah saya dengar beberapa tahun berturut-turut; maka terdoronglah saya untuk melakukan (bahasa kerennya) awareness raising ke masyarakat luas.

Beberapa teman saya rupa-rupanya juga memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Berarti saya bukan satu-satunya yang merasa bahwa hal ini merupakan masalah. Sepemahaman saya, orang beribadah butuh ketenangan. Apalagi ketika sekuens peribadatannya melibatkan sesi meditatif. Naah, mendekati orang yang lagi asik bermeditasi kemudian dengan semena-mena mengambil foto dengan menggunakan flash pasti akan mengganggu orang yang sedang beribadah dong. That's just common sense. Saya tidak percaya bahwa orang tidak punya pemahaman ini. Kecuali, kalau mungkin mereka nggak pernah kusyuk beribadah ya. Sayangnya, for the sake of a good photo, orang mengabaikan pemahaman mendasar ini. Apakah salah berusaha mengabadikan momen indah? Menurut saya tidak. Tapi kan ada metode yang lebih ramah. Gunakanlah lensa tele dari jarak yang tidak akan mengganggu dan jangan ribut ketika ada orang yang sedang berdoa.

Tapi yang membuat saya sedih bukan karena fenomena ini masih saja terjadi setelah beberapa tahun, tapi karena respon yang diberikan orang-orang atas artikel ini. Buat saya, ketidakpekaan yang ditunjukan orang-orang terhadap orang yang sedang berdoa ini merupakan salah satu indikasi bahwa toleransi belum terinternalisasi dalam pemikiran para pelakunya. Ya, saya setuju dengan penulis artikel ini. Untuk saya ini masalah intoleransi. Tapi ternyata banyak orang tidak berpendapat demikian.

The Opinions
Bukan intoleransi? I beg to differ!
"Ini bukan soal toleransi atau bukan. Jangan dicampuradukan soal ketidakbecusan mengatur dengan toleransi. Yang disebut tidak toleransi adalah ketika umat budha di Borobudur sedang ibadah terus di usir atau di bom. Itu baru disebut tidak toleransi," tulis seseorang yang tidak saya kenal di dinding facebook teman saya. Menyedihkan. Orang baru mau mengakui intoleransi ketika sudah ada bom yang meledak. Saya pernah berada dalam gedung yang porak poranda karena ledakan bom, dan untuk saya itu sudah level intoleransi yang paling tinggi. Sayangnya, rupa-rupanya masih banyak anggota masyarakat menolak mengakui bentuk-bentuk intoleransi yang lebih rendah dan memilih mengabaikan indikasi-indikasi intoleransi. Akibatnya, ketika bom meledak baru deh semua ribut, padahal mungkin kalau potensi konflik ditangani lebih awal, tidak akan sampai ke tindakan yang seekstrim pengeboman.

Banyak juga yang merasa bahwa artikel ini seperti memprovokasi hubungan mayoritas dan minoritas, terutama karena si penulis menulis bahwa orang Islam pastilah marah apabila ibadah Shalat Iednya diganggu orang-orang yang tiba-tiba menyelinap di antara saf. Menurut saya sih, kata-kata ini bukan bertujuan untuk memprovokasi, tapi memberi ilustrasi. Manusia lebih mudah memahami ketika ada ilustrasi dibandingkan ketika membicarakan konsep yang abstrak. Terbukti kan, baru membayangkan ibadahnya diganggu saja sudah banyak orang yang bertindak defensif.  

"...padahal kalo aturannya disampaikan apa yang boleh dan apa yang enggak, dan ada enforcement penegakan aturan tersebut oleh otoritas kan beres." Aduuh, kesannya kayak ketika ada orang melanggar lampu merah terus orang lain berkata "polisi sih, nggak nilang orang-orang kayak begitu!" Sampai kapan sih kita mau menjustifikasi kesalahan orang dengan menyalahkan lemahnya penerapan hukum? Saya setuju kok panitia acara sebaiknya menerapkan aturan yang lebih ketat. Mereka seharusnya memberikan batasan yang jelas antara tempat peribadatan dan penonton. Tapi untuk saya yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran dalam pikiran masing-masing orang bahwa toleransi dan saling menghormati sesama manusia itu penting. Buat saya tidak cukup memaklumi keberadaan pihak lain, lebih penting untuk mengakui bahwa orang lain itu manusia seperti kita, dengan hak dan kepentingan yang sama. Pengakuan itu juga harus benar-benar kita percayai sehingga terwujud dalam kelakuan kita sehari-hari. Tanpa pemahaman itu, kata 'toleransi' hanya menjadi sesuatu yang superfisial. Iya sih, aturan bisa membuat kita hidup lebih teratur, tapi apa gunanya tanpa keinginan kita mengatur diri sendiri? Rasa-rasanya jadi terkesan seperti omong kosong.

"Tapi what do u expect ? mereka turis," tulis orang asing lain. Yang saya harapkan? Nggak banyak. Cuma semua orang sungguh-sungguh meyakini pentingnya toleransi dalam arti luas; ditambah kesadaran untuk menghormati orang lain dengan kepentingan yang berbeda. On second thought, mungkin ini hal besar untukk diminta. Tapi untuk awalnya saya ingin orang-orang menyadari bahwa pendapat orang itu penting. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar, meskipun itu hanya opini satu orang, hal ini perlu disikapi tidak hanya dengan otak, tapi juga dengan hati. Dengan kesadaran penuh bahwa semua manusia itu setara. Tidak mungkin kita bisa menangani keluhan tersebut ketika kita belum menganggap pihak lain tersebut sama dengan kita. 

Pendapat lain yang bikin saya geregetan setengah mati: "Dari pelajaran anak SD, kt belajar : Islam beribadah di MASJID, nasrani di GEREJA, hindu di PURA, buddha di VIHARA, tapi ga disebutin di candi," oke, argumen ini mungkin bisa dikatakan oleh anak SMP. Tapi apakah masih layak digunakan oleh orang yang merasa dewasa? Kata orang, tak kenal maka tak sayang; dan untuk saya, pernyataan ini mengindikasikan bahwa orang-orang tidak merasa penting untuk mencari tahu tentang orang lain, kebudayaan lain, dan kepentingan lain. Orang-orang merasa nyaman dengan mengetahui tentang kelompok mereka sendiri sampai-sampai mematikan sensitivitas mereka terhadap keberadaan kelompok lain yang, kenyataannya, dalam banyak hal berbeda dengan diri mereka.

The Conclusion?
Saya tidak bagus dalam membuat kesimpulan. Banyak tulisan saya di blog ini sifatnya menggantung karena saya tidak mau membuat konklusi. After all, tulisan-tulisan ini murni pendapat pribadi saya dan bukannya analisa akademis yang bisa diambil kesimpulan rigid-nya. Saya cuma berdoa semoga kita bisa lebih sensitif terhadap orang lain dan tidak terlalu egosentris. Tidak ada manusia yang sempurna, maka berhentilah menempatkan diri kita di paling atas. Kata nenek-kakek, di atas langit masih ada langit. Perbaikan hanya bisa terlaksana ketika setiap orang punya keinginan bukan hanya untuk mengubah keadaan, tapi juga mengubah diri sendiri. Satu hal yang jelas-jelas perlu kita ubah? Mungkin baliho di bawah ini ya..


*tepok jidat*

----------------------------------------------
*kedua gambar ini diambil dari dinding facebook. Apabila anda merasa anda yang mengambil gambar-gambar tersebut, tolong hubungi saya.

Friday, May 3, 2013

Kekerasan dan Ketidakberdayaan

Malam ini saya kesal. Di sekolah, saya belajar soal studi perdamaian; dan pengalaman saya membuat saya kesal setiap kali melihat kekerasan. Tapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak di bawah umur merupakan salah satu hal yang membuat saya paling kesal.

Blue ribbon for
preventing child abuse
Manusia ibarat kertas kosong yang terisi seiring waktu, dan anak-anak ibarat kertas yang masih banyak ruang kosongnya. Pengetahuan dan pengalaman hidup mereka masih sangat terbatas, banyak hal yang belum mereka ketahui. Sebelum mereka mampu membuat pengalaman dan menyusun pemahaman mereka sendiri, orang dewasa harus mengajarkan sebagian dari hal-hal yang mereka perlu ketahui. Diantara hal-hal yang perlu mereka ketahui, salah satu yang paling penting mungkin adalah mengenai hak asasi.

Tanpa menerima pengajaran tentang hak asasi, seorang anak tidak akan mengerti bahwa mereka punya hak atas perlindungan. Pengajaran disini bukan hanya berarti memberitahu anak bahwa mereka punya hak, tapi juga menunjukkan pada mereka bahwa orang lain harus memperlakukan mereka dengan cinta kasih dan penghargaan yang layak mereka terima. Orang dewasa mempunyai kewajiban untuk membentuk anak-anak menjadi pribadi yang mempunyai kepercayaan diri untuk memastikan orang lain menghargai hak mereka di kemudian hari.

Jadi kenapa saya kesal? Malam ini saya pulang dari Salemba naik bis trans Jakarta. Beberapa menit setelah saya naik, ada anak kecil berusia sekitar empat tahun memanggil-manggil ibunya. Saya bingung, karena sepertinya tidak ada orang yang menunjukkan reaksi yang biasa ditunjukkan seorang ibu yang dipanggil oleh anaknya. Kalaupun ada reaksi dari orang-orang, paling reaksi kebingungan seperti saya. Tak beberapa lama, anak itu mulai menangis sambil menggapai-gapai ke seorang ibu yang berdiri bergeming membelakangi si anak. Saya merasa ini aneh. Karena wajah si ibu tidak seperti tidak mendengar, tapi lebih seperti mengabaikan panggilan si anak.

Beberapa waktu kemudian si anak mulai menangis. Selama beberapa menit, si ibu tetap membelakangi si anak tanpa bereaksi. Ketika akhirnya dia berbalik menghadapi si anak, tiba-tiba dia mencubiti dada dan tangan si anak berkali-kali dengan keras. Seorang perempuan muda yang berdiri di dekat mereka berusaha menghentikan kejadian ini dengan memegang tangan si ibu dan berkata: "Sabar ibu, sabar."

Ibu itu berhenti selama beberapa detik. Karena habis dicubit dengan keras berkali-kali wajarlah kalau tangis si anak semakin menjadi-jadi. Kemudian, si ibu kembali mencubiti si anak dengan keras bahkan dia juga memukuli kepala anak ini beberapa kali dengan sekuat tenaga. Orang-orang di sekitar mereka mulai bereaksi dan menjauhkan tangan si ibu dari si anak. Beberapa mengingatkan si ibu bahwa melakukan kekerasan tidak bisa diterima, bahkan kepada anak sendiri. "Itu KDRT juga loh, bu!" kata salah satu ibu yang ada di dalam bis.

Mungkin karena merasa malu dengan reaksi sesama penumpang, ibu ini berhenti memukuli anaknya dan kembali membelakangi si anak. Si anak menangis, dan justru orang-orang di sekitarnya yang berusaha menghibur si anak. Tapi, si anak ini justru tampak defensif menerima perlakuan ramah dari orang-orang di sekitarnya. Mungkin karena keramahan bukanlah sesuatu yang biasa dia terima. Entahlah, saya tidak berani berspekulasi. Si anak diabaikan oleh ibunya sepanjang jalan. Bahkan ketika turun dari bispun, si ibu tidak mengajak anak ini untuk turun, anak ini mengikuti si ibu ke pintu.


Hell yeah!

 Sekarang anda mengerti kan mengapa saya kesal? Saya sangat paham bahwa mengendalikan emosi adalah hal yang sulit, tapi menderita karena sesuatu yang tidak kita pahami jauh lebih sulit lagi. Anak-anak belum bisa melindungi diri mereka sendiri, mereka bahkan belum tahu kalau mereka boleh melindungi diri mereka sendiri. Karena itulah orang dewasa di sekitar mereka bertanggung jawab untuk memberi mereka perlindungan dan membekali mereka dengan pengetahuan untuk melindungi diri mereka sendiri di masa depan. Ketika orang tua gagal melakukannya, kemana anak harus mencari perlindungan?

Hal lain yang membuat saya kesal adalah karena saya tahu itu bukan kali terakhir si anak akan menerima perlakuan seperti itu. Saya kesal, karena menurut pengamatan saya, di dunia ini kedaulatan keluarga masih dipandang lebih tinggi dari segalanya. Hal ini mengakibatkan masyarakat, dan bahkan aparat, ragu untuk melakukan intervensi atas perilaku-perilaku buruk yang dilakukan dalam keluarga. Saya kesal, karena saya merasa saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk anak itu.

Kembali ke judul artikel ini, menurut saya kekerasan dan ketidakberdayaan adalah dua entitas yang idealnya tidak pernah dipertemukan sepanjang segala masa. Sayangnya, kekerasan selalu tertarik pada ketidakberdayaan, dan ketidakberdayaan tidak bisa menolak hadirnya kekerasan. Untuk memperbaiki keadaan ini diperlukan kesadaran dan komitmen dari semua orang, baik yang terlibat langsung dengan keadaan tersebut maupun tidak. Tidak mudah pastinya, dan luar biasa melelahkan. Tapi saya percaya hal ini bisa dilakukan.

----------------------------------
Gambar pita biru diambil dari laman ini
Gambar kartun anak-anak diambil dari halaman ini.

Friday, March 29, 2013

All Marriage Are Equal

 "Profile pic-mu itu logo apa sih?"
"Supporting gay marriage, Mbak."
"Jadi kamu mendukung?"
"Iya."

Meskipun saya selalu merasa bahwa tidak ada yang salah dengan pernikahan gay, terus terang saya belum pernah memikirkan tentang hal ini terlalu mendalam. Lalu saya mendapat pertanyaan di atas. Saya paham bahwa menyuarakan dukungan terhadap LGBT pasti akan menimbulkan reaksi, bisa jadi berupa kemarahan, ketidaksetujuan, keheranan, atau bahkan dukungan. Minimal pasti ada pertanyaan 'kenapa'. Seperti saya bilang tadi, saya belum pernah memikirkan jawaban pertanyaan tersebut secara mendalam, jadi mungkin sekarang saat yang tepat untuk berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Barangkali di masa depan ada yang bertanya lagi.

Let's face it, mayoritas orang di dunia masih menganggap LGBT sebagai sesuatu yang asing, menakutkan, dan kotor. Bukan hal yang mengherankan sebenarnya, ketika sejak kecil kita diajarkan untuk mengalienasi kelompok ini. Saya beruntung punya orang tua yang mengajarkan saya untuk melihat bahwa kehidupan LGBT justru lebih sulit daripada orang kebanyakan. Bukan untuk mengasihani, tapi untuk menghargai perjuangan mereka sebagai manusia.

Bicara LGBT hampir pasti mengarah pada debat seputar religiusitas. Ajaran agama berperan besar dalam alienasi kelompok LGBT. Itu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Bagi saya, bicara agama berarti bicara interpretasi. Kita bisa saja menganut agama yang sama, membaca ayat yang sama, mendengarkan kothbah yang sama; tapi dalam pendapat saya, arti agama, religiusitas, dan spiritualitas tidak akan pernah sama bagi setiap orang, tidak peduli seberapa mirip mereka. Dalam interpretasi saya, agama membimbing saya untuk senantiasa berbuat baik, bukan karena ada balasannya, tapi karena berbuat baik adalah hal yang benar untuk dilakukan. Buat saya, agama mengajarkan saya bahwa Tuhan itu sempurna, dan segala ciptaannya ada untuk dicintai dengan segenap hati. Sulit memang melaksanakannya. Saya akan berbohong kalau mengatakan bahwa saya sudah berhasil melakukan ini. Tapi, ya, itu salah satu aspek agama buat saya.

Mencintai segala ciptaan dengan segenap hati. Buat saya hal ini masih mustahil dilakukan oleh manusia. Paling tidak, saya berusaha untuk memperlakukan manusia sebagai manusia. Berusaha mengenal seseorang sebelum menentukan bagaimana saya bersikap terhadapnya. Berusaha tidak memperdulikan identitasnya ketika berinteraksi. Sekali lagi saya tekankan, saya masih berusaha loh ya. Bukan berarti saya sukses melakukannya setiap saat. Saya pikir mustahil bisa menghargai orang sebagaimana adanya orang tersebut ketika kita secara sadar sudah menempatkan mereka dalam kategori bersalah. Berdasarkan pengalaman saya, kadang kesan pertama bisa sangat menyesatkan.

Mari bicara pengalaman saya soal dengan LGBT. Saya bertemu banyak LGBT dalam hidup saya, mulai dari yang tidak saya sadari, belum bisa terbuka, mau mengakui, sampai yang terlalu vokal perihal seksualitasnya. Satu hal yang saya sadari, mereka tidak jauh berbeda dengan teman-teman saya yang lain. Ada yang baik, ada yang tidak. Ada yang pengertian, ada yang menyebalkan. Sama seperti manusia lainnya. Kembali pada pengalaman saya dengan teman-teman LGBT, beberapa dari teman-teman terbaik saya LGBT. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang mengagumkan. Beberapa bahkan jauh lebih religius dari saya. Saya tidak melihat alasan mengapa mereka tidak bisa mendapat hal yang sama dengan manusia lainnya. Bukankah yang ada adalah hak asasi manusia dan bukan hak asasi heteroseksual? Lalu dimana masalahnya?

Saya sangat percaya bahwa keputusan memilih pasangan adalah salah satu hak yang paling hakiki. Meskipun prakteknya seringkali berbeda, saya sangat sangat percaya bahwa setiap orang harus diberi kebebasan menggunakan pertimbangannya masing-masing dalam memilih pasangan dan diberi kebebasan untuk belajar dari akibat pilihannya tersebut. Orang di luar boleh memberi pertimbangan. Mereka juga harus siap memberi dukungan apabila ada hal yang salah. Tapi mereka tidak berhak mengambil keputusan bagi orang tersebut. Kalau argumennya kaum LGBT adalah pendosa, so what lah ya? Saya juga pendosa, dan saya mendapat hak tersebut. Kenapa mereka tidak? 

Thursday, March 7, 2013

A Promise Is A Promise

Hari ini adalah Hari Perempuan Internasional. Tema yang telah ditentukan untuk HPI tahun ini adalah “A promise is a promise: Time for action to end violence against women.” Menurut saya tema ini sangat sesuai dengan konteks saat ini. Di tahun 2012 ada banyak insiden kekerasan terhadap perempuan yang menangkap perhatian dunia internasional, mulai dari penembakan Malala sampai gang-rape di India.

Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya merupakan masalah klasik; sayangnya hal ini juga merupakan masalah yang keras kepala. Segala daya dan upaya telah dikerahkan oleh orang-orang yang peduli pada isu ini, tapi sampai saat ini kekerasan terhadap perempuan masih merajalela di seluruh dunia. Isu ini bahkan tampak berkembang secara kuantitas dan kualitas. Hal ini belum tentu berarti hal buruk. Kenyataan bahwa semakin banyak insiden kekerasan terhadap perempuan yang terdokumentasi menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyadari buruknya kekerasan terhadap perempuan; dan juga mulai berani mengambil tindakan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian, perjalanan untuk membebaskan perempuan dari kekerasan masih panjang.

Hal yang menurut saya membuat kekerasan terhadap perempuan sulit sekali diberantas adalah karena akar permasalahan ini terletak di tempat yang sangat privat, yaitu di dalam pikiran manusia. Argumen yang dibangun perlahan selama bertahun-tahun oleh the so-called society membuat orang-orang secara tidak sadar menempatkan perempuan sebagai second-class citizen di dalam pikiran mereka. Akibatnya, hal ini terpancar dari tindakan mereka sehari-hari. Selama perempuan tidak dianggap mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki sebagai manusia, maka tindak dehumanisasi terhadap mereka akan tetap terjadi. After all, bagaimana kita bisa menghargai pihak yang kita pandang lebih rendah?

Persepsi inilah yang menurut saya perlu diubah sebelum kita bisa mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Bukannya saya menyederhanakan masalah, tapi saya merasa setiap penyelesaian yang tidak menyentuh akar permasalahan hanyalah pengobatan simptomatik yang tidak akan bertahan. Untuk bisa melakukan ini dibutuhkan usaha ekstensif dan tenaga yang tidak sedikit. Kenyataannya ada banyak pihak yang merasa bahwa mempertahankan persepsi ini lebih menguntungkan daripada mengubahnya; dan bukan hanya laki-laki, banyak perempuan juga merasa seperti ini.

We don't have to be a Greek goddess
to fight violence against women


Sembari kita melakukan usaha-usaha mengubah mindset dan menunggu hasilnya, pengobatan simptomatik menjadi solusi yang superfisial, namun sangat diperlukan. Salah satu hal yang menurut saya penting dilakukan adalah menetapkan dan menegakkan rule of law dengan tegas agar bisa memberikan perempuan perlindungan terhadap kekerasan. Indonesia sudah lama meratifikasi CEDAW, tapi sampai saat ini aturan-aturan perlindungan perempuan yang berlaku di Indonesia juga tampaknya masih menyediakan banyak loophole untuk pelaku kejahatan. Belum lagi aparat yang terkesan enggan untuk menindaklanjuti pelaporan-pelaporan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kedua hal ini diperparah lagi oleh masyarakat yang, entah kenapa, seringkali membela pelaku kejahatan menyudutkan korban kekerasan terhadap perempuan. Ketika bahkan untuk mengobati gejala penyakit saja kita enggan, apakah merupakan hal yang aneh kalau penyakit kita tidak kunjung sembuh?

Akhirnya, dalam semangat HPI, saya ingin menyerukan bahwa meskipun berat, perang melawan kekerasan terhadap perempuan adalah perang yang harus kita menangkan. Karena itu kita harus terus mengingatkan diri kita untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di dunia internasional, negara, komunitas, rumah tangga, dan, yang paling penting, dalam pribadi kita masing-masing. After all, a promise is a promise, and commitment to fulfill it is more important than making it.

-----------------------------------------------
~ Picture of Pallas Athena were taken from this site.

Tuesday, February 19, 2013

Batas Toleransi

Semalam saya menyaksikan dua orang teman saya berdebat di linimasa. Salah satunya mengambil sudut pandang pro-choice sementara yang lain mengambil sudut pandang pro-faith terkait homoseksualitas. Saya memilih tidak terlibat dalam perdebatan ini, tapi saya merasa bahwa perdebatan ini cukup menarik. Bukan hanya dilihat dari kontennya, tetapi karena menurut saya keduanya menunjukkan sikap yang cukup kuat terkait hal yang menurut mereka cukup penting untuk dibela. Hal ini membuat saya teringat kata-kata salah satu dosen saya: "Seberapa tolerankah kita yang mengaku toleran terhadap orang-orang yang intoleran?"

Dalam dunia dimana orang mulai bisa secara terbuka menunjukkan perbedaan-perbedaan mereka seperti sekarang, orang bisa memilih untuk berpegang teguh pada kesepakatan sosial yang entah sejak kapan dirumuskan, membuka pikiran dan menerima kenyataan bahwa setiap orang berbeda tidak peduli seberapapun anehnya, atau mencari keseimbangan antara kesepakatan sosial dan keterbukaan pikiran. Meskipun kebanyakan orang mengklaim bahwa mereka berpikiran terbuka, tapi saya pikir sampai batas tertentu mereka tetap mempercayai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Mayoritas manusia, meskipun berpikiran terbuka, tetap menetapkan batasan-batasan yang tidak ingin dia langgar terkait perilaku dirinya dan juga perilaku orang lain.

Saya berpendapat kalau tidak ada orang yang pada dasarnya jahat ataupun baik. Setiap sikap, pilihan, dan perilaku yang diambil oleh manusia pasti didasari pada suatu alasan yang dibentuk oleh pengalaman pribadi masing-masing orang. Jika demikian, tidak heran setiap individu bisa mengambil sikap dan keputusan yang sangat berbeda satu sama lain. Menyadari hal ini agak menyebalkan, karena hal ini berarti saya mengakui bahwa  mereka punya hak untuk bertindak menyebalkan dan tidak masuk akal (menurut saya).

Saya pribadi merasa diri saya cukup toleran. Dalam banyak hal, saya merasa bahwa setiap orang mempunyai hak menentukan pilihannya sendiri. Hal yang saya pikir baik belum tentu juga baik bagi orang lain. Tapi saya juga tidak munafik, ada beberapa pilihan orang yang tidak bisa saya terima, baik secara logika maupun emosi. Salah satu hal yang paling mengganggu saya? Orang yang merasa bahwa jalannya dan hanya jalannyalah yang paling benar. Ya, meskipun saya merasa toleran, saya merasa lebih mudah menolerir orang-orang yang termarjinalkan dan tertindas daripada orang-orang yang menjustifikasi penindasan. Saya rasa ini tidak salah, saya tetap percaya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ditoleransi. Ada hal-hal yang harus diperjuangkan, kalau perlu secara radikal.

Sunday, January 6, 2013

Memilih Kemacetan

"We always have a choice. Whether we can live with our choices is the real question." (Revenge, Season 2, kalau saya tidak salah ingat.)

Bicara Jakarta, seringkali inheren dengan bicara kemacetan. Semua yang pernah tinggal di Jakarta dalam kurun waktu dua dekade terakhir pasti sudah memahami bahwa kemacetan sudah menjadi bagian yang tampaknya tidak terelakkan dari hidup di kota ini. Seringkali di linimasa saya menemukan orang (termasuk saya juga, sih) mengeluhkan tentang kemacetan yang dialami di Jakarta. Kemacetan ekstrim yang terjadi hampir sepanjang tahun di Jakarta memang melelahkan, merugikan, dan menyebalkan.

Saya menemukan bahwa seringkali orang yang mengeluhkan kemacetan di kota ini menyalahkan pihak lain (pemerintah yang tidak menyediakan solusi yang tepat, supir angkot yang seenak udelnya, pengendara motor yang tidak punya etika, dan lain sebagainya). Jarang sekali saya melihat orang mengeluhkan kemacetan sambil menawarkan solusi yang feasible. Ada sih, tapi sedikit berbanding orang yang tidak solutif. Seringkali saya juga seperti itu, kenapa? Karena saya terus terang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Secara teori sih, ada banyak hal yang saya bayangkan dapat mengatasi kemacetan di kota ini; tapi dalam segi implementatif, saya sadar bahwa penerapan solusi versi saya juga akan melahirkan permasalahan baru, yang juga perlu dipikirkan matang-matang solusinya.

Jakarta di jam tidak terlalu sibuk
 Pagi ini saya terjebak kemacetan luar biasa. Maklum lah, hari pertama adik-adik mulai masuk sekolah. (Tuh, kan! Saya menyalahkan orang lain lagi). Sementara saya terjebak kemacetan, saya jadi berpikir betapa kecilnya seorang saya di dalam entitas yang bernama lalu lintas. Lautan mobil ini tidak peduli apabila saya terlambat, atau hampir mati sekalipun. Dia punya ritmenya sendiri, melaju dalam kecepatannya sendiri, dan tidak membiarkan saya keluar dari arus tersebut. Segala usaha untuk melepaskan diri secara prematur akan berakibat pada semakin parahnya ritme tersebut.

Selain pemikiran yang kontemplatif tersebut, saya juga menyadari hal lain. Bahwa masalah ini sudah ada sejak jaman orang tua saya. Situasi saat ini memang lebih parah, tapi masalah utamanya sama. Terlalu banyak kendaraan di jalan. Meskipun pernyataan ini masih bisa diperdebatkan, tapi saya cukup yakin bahwa salah satu hal yang menyebabkan over-kapasitas jalan adalah pertumbuhan penduduk Jakarta yang cukup tinggi.

Saya sangat mengerti bahwa manusia secara alami akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan hidup. Di dunia yang digerakkan oleh aktivitas ekonomi seperti yang kita tinggali sekarang, akses terhadap modal (untuk tidak mengatakan uang) adalah hal yang sangat penting dalam memastikan kita mampu bertahan, tidak hanya mempertahankan hidup tapi juga untuk mempertahankan kualitas hidup. Karena itu, tidak heran banyak orang kemudian berkerumun di Jakarta, di mana roda perekonomian berputar sangat kencang dan (relatif) stabil. Sayangnya, hal ini mengakibatkan over-populasi dan segala masalah turunannya di Jakarta dan sekitarnya.

Tidak, saya tidak menyalahkan para migran yang datang ke kota ini. Kenyataannya saya juga ada di sini sekarang. Tapi sekali lagi, kemacetan adalah hal yang inheren dengan Jakarta, bahkan ketika saya duduk di bangku SD, dan mungkin lama sebelumnya. Dalam pengaturan negara kita yang kacau dan terlalu sentralistik ini, saya yakin bahwa paling tidak orang-orang di luar Jakarta yang memiliki televisi mengetahui tentang permasalahan in. Neverthreless, the inflow of human remains high.

Yang ingin saya katakan adalah: para migran yang masuk ke Jakarta memilih untuk masuk ke Jakarta, berikut dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi disini tidak hanya berarti mereka akan terjebak dalam kemacetan Jakarta, tapi juga bahwa kemacetan akan semakin parah dengan kedatangan mereka. Apalagi ketika masing-masing memilih membawa kendaraan sendiri. Ini baru masalah kemacetan, belum lagi masalah lainnya. Lalu, kenapa mengeluh? Bukankah idealnya kita sudah bisa mengantisipasi hal ini sebelum mengambil keputusan pindah ke Jakarta?

Memang sih, seperti yang saya tuliskan barusan idealnya kita sudah bisa mengantisipasi stress berangkat ke kantor sambil menghadapi kemacetan setiap harinya. Tapi kenyataannya, di dunia ini tidak ada yang ideal. Kembali ke kutipan yang saya tuliskan di awal, saya jadi merasa bahwa kita perlu sedikit merenungkan bahwa keputusan untuk tinggal di kota yang kacau balau ini adalah keputusan kita sebelum mulai mengeluh. Apalagi ketika kita adalah bagian dari permasalahan tersebut.

Sulit memang, membayangkan konsekwensi dari keputusan kita saat kita membuat keputusan. Apalagi ketika penilaian kita dibutakan oleh faktor lain (gaji, misalnya?). Sayangnya konsekwensi baik dan buruk melekat dengan setiap keputusan yang kita buat. Naif, menurut saya, mengharapkan konsekwensi yang positif saja. Daripada mengutuk konsekwensi negatif dari keputusan kita tampaknya lebih baik bila kita melakukan yang terbaik untuk tidak menambah buruk permasalahan yang memang sudah ada sebelumnya.

*Foto lalu lintas diambil dari alamat ini.