Wednesday, October 22, 2014

Konsumerisme dan Insecurity

Hari ini ada dua topik yang menarik perhatian saya. Topik pertama muncul ketika saya sedang mengobrol ngalor-ngidul dengan beberapa teman kantor saya, yaitu tentang konsumerisme. Ceritanya temannya teman saya menulis disertasi yang didalamnya menyinggung tentang bagaimana di masa sekarang, kebutuhan manusia sebagai homo economicus sudah bergeser dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar ke arah pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat rohaniah, yang menyangkut prestise.

What Drives Us to Buy
Lucuk sih. Banget sih. Tapi kok...*
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sulit bagi orang di masa sekarang untuk menyaksikan perwujudan fenomena ini. Orang rela antri berjam-jam, bahkan berhaari-hari untuk mendapatkan iPhone 6 atau untuk memborong perabot impor dari Skandinavia di toko yang baru buka di bilangan Alam Sutra sana.

Saya bukannya tidak paham keinginan memiliki barang yang hip dan trendi, tapi saya adalah orang yang sangat praktis. Most of the time, sebelum saya melakukan sesuatu, saya bertanya pada diri saya sendiri: apakah usaha yang saya keluarkan sebanding dengan potential gain yang akan saya dapat? Dan untuk saya, mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk sepasang sandal atau antri berjam-jam untuk mendapatkan sebuah barang (yang untuk saya berarti menghadapi risiko pingsan karena dehidrasi atau darah rendah) bukan usaha yang sebanding.

Salah satu hal yang tadi sempat kami diskusikan mengenai konsumerisme adalah bagaimana brand besar, dengan segala upaya advertising dan marketingnya, telah dengan sukses mengkondisikan pemikiran kita untuk mengasosiasikan simbol-simbol tertentu dengan sensasi tertentu. Contoh yang tadi kami bicarakan sih bagaimana ketika kita melihat double arch warna kuning kita akan langsung berpikir soal makanan, di tingkat lumayan parah bahkan sampai langsung merasa lapar ketika melihat logo tersebut.

Apa artinya? Berarti meskipun kita percaya bahwa kita punya free will, secara tidak sadar kita sudah dikondisikan dan diarahkan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu. Dengan kata lain, sebenarnya keputusan-keputusan yang kita ambil ya dipengaruhi konstruk yang setiap hari membombardir kita dari segala arah, dan free will jadi sebatas ilusi semata.

Tapi mungkin terlalu jauh ya, kalau mengasumsikan seperti itu. Jadi mari sementara kita tinggalkan dulu perdebatan mengenai seberapa nyata free will yang kita miliki dan beralih ke topik menarik nomor dua: Renée Zellweger.

You Had Me At Hello
Generasi 90an pasti kenal nama ini. Berbeda dengan artis kebanyakan, Renée bagaikan angin segar karena dia merepresentasikan perempuan biasa--common woman. Renée tidak mempunyai wajah aristokrat seperti Nicole Kidman atau badan bombshell seperti Monica Belluci. She was a typical girl next door dengan wajah yang tidak ditutupi make up berlebihan dan badan yang tidak sempurna menurut standar masyarakat yang agak kacau. Meskipun perlu diakui bahwa tetangga saya mukanya juga nggak ada yang seperti beliau sih.

Senyum itu. Baju putih itu.**
Anyway, most of us have come to love sweet little Renée. Karena itulah hari ini banyak orang terkejut melihat foto-fotonya ketika menghadiri acara Elle. Wajah Renée Zellweger berubah drastis. Banyak spekulasi kemudian muncul mengenai apa yang telah dilakukan Renée pada wajahnya. Salah satu artikel yang saya temukan bahkan membayar dokter bedah plasstik unuk menganalisa prosedur apa saja yang telah dilakukan oleh Renée pada wajahnya. Botox dan eyelift, kata dokter bedah itu.

Insecurity, Thanks to Society
Saya tidak tahu apakah asumsi tadi benar. Terus terang saya tidak terlalu peduli. Renée Zellweger adalah perempuan dewasa yang bisa memutuskan sendiri apa yang ingin dia lakukan pada tubuhnya. Apapun yang telah dia lakukan, itu haknya. Just to be fair, beliau menyatakan bahwa perubahan di wajahnya adalah hasil dari "happy, healthy lifestyle."

Tapi mari tidak terpaku pada nona yang diasosiasikan dengan Bridget Jones ini. Mari bicara tentang hal lain: insecurity. Terus terang saya agak sulit mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, karena tampaknya 'perasaan tidak aman' kurang berhasil menangkap urgensi yang ingin saya sampaikan. Jadi kita gunakan kata insecurity saja lah ya.

Insecurity adalah hal yang mengerikan. Dia bisa memaksa orang merubah gaya berpakaian, bentuk wajah, sampai cara bersikap; demi menyenangkan pihak lain. L'enfer, c'est les autres, kata Sartre pada suatu masa. Neraka adalah orang-orang lain. Menurut saya sih kutipan ini luar biasa mengena di hati ya. Insecurity muncul karena ada ekspektasi. Ekspektasi ini dipaksakan oleh masyarakat pada setiap orang, sampai ia berhasil merubah persepsi kita akan diri kita sendiri. Menimbulkan perasaan bahwa ada yang salah dengan diri kita, dan dengan demikian maka kita perlu merubah aspek-aspek tertentu dari keberadaan kita.

Absurd memang, tapi sangat nyata. Saya merasakan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. For some reasons, masyarakat (secara kolektif) meyakini bahwa mereka punya hak untuk mengatur orang lain sesuai keinginan mereka. Bodoh, tapi sayangnya juga keras kepala. Apabila seorang individu tidak cukup kuat menangkal tekanan masyarakat ini, dan tekanan ini bukan hal yang mudah untuk ditangkal, maka individu ini akan hancur tergerus ekspektasi massa.

"I'm Gonna Live My Life, But Not The Way You Want Me To"
Nah kalau saya yang bukan siapa-siapa ini saja bisa merasakan tekanan luar biasa dari masyarakat sampai dengan sukses membuat saya jengkel luar biasa, coba bayangkan yang dirasakan oleh artis Hollywood yang seratus juta kali lebih terkenal dari saya.

Budaya konsumerisme yang sama telah membuat mayarakat yang terekspos dengan film-film Hollywood mengasosiasikan artis tertentu dengan imaji tertentu. Karena itulah meskipun masyarakat jelas tidak punya hak sama sekali mengatur bagaimana idolanya harus tampil dan membawa diri, but they can't help it. Mereka punya ekspektasi, dan di masa yang kaya jalur informasi tapi minim etika ini, mereka tidak keberatan menyerang objek ekspektasi mereka dengan terang-terangan. Orang-orang bertindak kejam bahkan tanpa menyadarinya. Padahal gara-gara tekanan yang muncul dari mereka jugalah banyak artis merasakan insecurity yang memaksa mereka untuk berubah.

Jadi, bagaimana ya... Meskipun saya tidak setuju merubah penampilan dengan drastis karena tuntutan orang lain, tapi saya paham sekali kenapa orang-orang bisa melakukan hal tersebut di bawah tekanan. Jadi saya merasa tidak punya hak mengritik hal-hal yang dilakukan orang lain sebagai akibat dari tekanan masyarakat tersebut. In a way, jadi merasa sedikit bisa memaklumi teriakan minta tolong Britney Spears, Lindsay Lohan, dan Miley Cyrus dalam lagu-lagu mereka dan terutama tindakan mereka.

Be Kind, Rewind
That being said, saya mau mengajak semua yang membaca tulisan ini to please just be kind. After all, everyone is fighting their own battle, yang mana tidak bisa dibandingkan dengan masalah orang lain. Meskipun sulit, mari sama-sama belajar menyadari bahwa kita tidak punya hak untuk menuding dan menghakimi tindakan orang lain; karena seberapapun sulitnya kita pahami, setiap masalah yang dihadapi setiap orang itu nyata, dan setiap orang punya toleransi yang berbeda-beda terhadap masalah.

---------------------------------------------------------
* ARKELSTORP by IKEA, diambil dari www.ikea.com
** Diambil dari poster Jerry Maguire