Monday, April 20, 2015

Guru Bangsa Tjokroaminoto: Perjalanan Menuju Hijrah

Saya menyalakan laptop malam ini dengan niatan mulia untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Tapi setelah saya pikir-pikir, sepertinya tidak apa saya tunda barang setengah jam lagi sementara saya membuat tulisan yang sejak semalam ingin saya keluarkan dari kepala ini. Hehehe..

Kemarin saya dan dua teman saya melakukan rangkaian perjalanan impulsif. Lapar, lalu pergi makan di tempat makan baru dilanjutkan karaoke di tempat beraroma tradisional-nasionalis yang belum pernah kami coba sebelumnya. Perjalanan impulsif kami mencapai klimaks ketika kami memutuskan untuk menonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto (sejak saat ini akan dikenal sebagai Tjokro) malam harinya. Dengan cotton sleeveless top dan celana pendek, tanpa membawa jaket. Baru menyadari kemungkinan hipothermia ketika sudah sampai di teater.

Credit: DK
Oke, mungkin perjalanan kami kemarin tidak bisa dibandingkan dengan perjalanan melintasi Sahara atau mendaki Pegunungan Aspen. But for me, it's those kinds of simple deviation from routines that keep my life interesting.

***

Sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan Soegija. Terutama, karena Soegija tidak bisa memenuhi ekspektasi saya (for the sake of traffic, silahkan baca artikel ini).  Jadi, saya masuk ke ruangan teater sambil berpikir: "Sama Soegija bagusan mana ya?" Dan setelah menonton film Tjokro, saya merasa bahwa film ini jauh lebih menarik untuk saya. Bukan, bukan karena sekelibat adegan Reza Rahardian menunggang kuda menggunakan beskap dan blangkon. Paling tidak bukan itu alasan satu-satunya.

Satu hal yang saya sadari ketika menonton film Tjokro adalah betapa gagalnya kurikulum sejarah nasional bangsa Indonesia. Saya ingat belajar soal H.O.S. Tjokroaminoto di sekolah. Tentang SDI yang berubah menjadi SI, terpecah menjadi dua, dan menjadi cikal bakal PKI. Tapi ketika itu saya sama sekali tidak tergugah dengan kisah beliau. Mungkin karena saya juga masih sangat muda kala itu dan belum bisa memahami kompleksitas dinamika sosial-politik-ekonomi yang dihadapi tokoh-tokoh di buku sejarah. Meski demikian, saya pikir sebagian kesalahan ada pada kurikulum sejarah yang terlalu memberi penekanan pada segi kronologis dan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Sayang, padahal apabila disampaikan dengan metode yang tepat, kisah sejarah dapat menginspirasi generasi muda dan menumbuhkan nasionalisme. Jauh lebih efektif daripada upacara bendera seminggu sekali.

***

Laki-laki cerdas nan tampan, berkharisma
kuat, berwajah lokal, berpakaian tradisional,
dengan aura cenderung kekirian. *kipas2*
Ada satu masalah yang dihadapi setiap sineas yang ingin menceritakan kisah sejarah: mencari keseimbangan antara akurasi kisah dan daya tarik komersil. Dalam hal ini, saya pikir film Tjokro cukup berhasil menemukan keseimbangan tersebut. Sebagaimana film besutan Garin lainnya, Tjokro memanjakan saya dengan sinematografi yang luar biasa dan musik-musik yang membuai telinga. Di sisi lain, plot cerita film ini dengan sukses menggelitik saya untuk meng-gugel hal-hal yang berkaitan dengan kisah sejarah yang terjadi pada masa itu.

Jejeran artis Indonesia ternama yang ditawarkan film ini jelas tidak mengecewakan. Ada Reza Rahardian yang, meskipun overexposed, mampu berakting dengan apik; Sujiwo Tejo yang dramatis (saya masih suka mendengarkan lagu-lagu beliau dari masa sebelum beliau kenal twitter); Alex Komang yang saya masih tidak percaya telah tiada; Ibnu Jamil dan Christine Hakim yang dialeknya sangat believable *standing applause*; dan serentetan artis lain yang sukses menghidupkan narasi cerita ini. Berbeda dengan Soegija, interaksi antar tokoh dalam film Tjokro terasa cair dan tidak dipaksakan. Dengan perkecualian satu tokoh yang, menurut teman saya, dimasukkan dalam cerita dalam rangka menjaring massa MBDC.

Hal lain yang membuat saya senang menonton film ini: berbeda dengan Soegija yang terkesan menglorifikasi perang, perjuangan yang diangkat di film Tjokro jauh lebih terasa dekat. Rasa frustrasi yang dirasakan para tokoh, pilihan-pilihan strategis yang dibuat, kesempatan untuk menyerap semangat dan ilmu serta mengembangkan pemikiran kritis, dan di sisi lain juga melepaskan diri dari mentor yang selama ini membimbing buat saya jauh lebih relatable daripada adegan-adegan perang yang mendapat sorotan di film Soegija. Lebih respectable juga.

***

Doe-eyed, clingy girl that plays victim to get
men's attention. Sorry girl, I don't buy it!
(Credit: Mara Carr)
Kelemahan paling buruk dari film ini menurut saya adalah tokoh Stella yang entah kenapa sama sekali tidak masuk dengan sisa plot cerita. Sayang sebenarnya, karena dibandingkan plot Soegija, plot Tjokro jauh lebih mengalir. Dengan catatan tidak ada satu pun adegan Stella di dalam film ini. Terus terang saja saya bingung apa relevansi tokoh Stella. Oke, dia membawa narasi penting mengenai identitas, tapi terus terang saja kehadiran tokoh ini terasa dipaksakan. Setiap kali tokoh Stella berinteraksi dengan tokoh Tjokro, yang ada di pikiran saya adalah: "Dek, nggak lihat po, omnya lagi sibuk?"

Apabila beliau didasari atas tokoh nyata, I think she has been unfairly portrayed, karena Stella dalam film Tjokro  tampak seperti fangirl dengan daddy issue yang mengikuti kemana saja Tjokro pergi dan mencari kesempatan untuk bicara barang sebentar dengan ksatria berkuda putih yang dianggapnya bisa menyelamatkan dirinya dari dunia yang kejam. Dan kalau beliau hanya tokoh rekaan, saya pikir tokoh Mbok Tun bisa dengan lebih efektif menyentil isu identitas tanpa harus buang-buang air time.

Kelemahan lain ada di inkonsistensi. Apabila mau menekankan penggunaan bahasa daerah, akan lebih baik apabila bahasa daerah tersebut digunakan dengan konsisten. Apabila tidak bisa membedakan penggunaan bahasa kromo dan ngoko, serta dialek Jawa Timur dan Yogyakarta, ada baiknya gunakan saja bahasa Indonesia.But then again, saya sukaaa gojek kere yang ditampilkan di sepanjang film.

All in all, quite a good movie (setelah semua adegan menyangkut Stella dihilangkan ya). Watching the movie, I can't help to feel amazed by the characters and the life they are living, the determination they are feeling, and the struggle they are facing.<3

Friday, April 10, 2015

Judge Not Lest Ye Be Judged

Sebagaimana layaknya perempuan produktif di akhir usia 20an masa kini, saya menghabiskan Sabtu pagi dengan menjelajahi linimasa. Dan ketika sedang mengamati twitter, saya menemukan salah satu teman kuliah saya menuliskan twit berikut ini: "Some people don't want to be judged. Yet they, in fact, judge other people :)..."

Hypocritically Open Minded
Menarik. Berkat Yesus (atau lebih tepatnya, interpretasi Lukas atas perkataan Yesus) banyak orang jadi terobsesi untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya berpikiran terbuka dan "nggak nge-judge" orang lain. Pemikiran ini; menurut saya; naif dan sedikit hipokritikal.

Yes. I read the bible to, once upon a time.
Photo by Melissa Johnson

Konon katanya manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang memiliki akal, pikiran, dan kehendak bebas. Ketiga hal ini memberikan kita kemampuan untuk menimbang dan membuat pilihan. Dan seberapapun kita ingin menyangkal hal ini, dalam proses menimbang dan membuat pilihan tersebut, kita pasti membuat penilaian atas hal di luar diri kita, termasuk juga atas perilaku dan reaksi manusia lain.

Coba saya ilustrasikan. Misalnya saja kita tahu kalau seseorang punya riwayat mengelapkan uang, pasti kita tidak akan menawarkan beliau posisi sebagai bendahara di organisasi kita kan? Contoh lainnya, ketika kita tahu seseorang punya kecenderungan melakukan kekerasan, apakah kita akan mau menjadi pasangan hidupnya? Kalau saya sih no, nggak tau kalau Mas Dhani. #eh

Judging is Inevitable
Fact is, we judge. Setiap saat dalam hidup kita, kita menilai segala sesuatu di sekeliling kita. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Setiap penilaian yg kita buat atas situasi, lokasi, dan orang lain menentukan kemana kita akan membawa hidup kita. Karena ketika tidak melakukan penilaian, kita akan menjadi orang yang plin-plan. Dan itu bukan kualitas yang menurut saya baik untuk dimiliki oleh siapapun.

Hmmm.. A gun does kill faster..
Picture taken from this page.
Bagian-bagian lain dari alkitab bahkan mengatakan kita untuk menilai orang lain. Dalam injil Yohanes dikatakan "Janganlah menghakimi menurut apa yang tampak tetapi hakimilah dengan adil." (Nah, kalau ini saya nggugel). Jadi sesungguhnya bukan tindak penghakimannya yang tidak boleh dilakukan, tapi tindak penghakiman yang cetek, bodoh, dan tidak adil.

Saya pribadi berpikir bahwa menilai orang lain adalah hal yang secara natural akan kita lakukan. Meski demikian, kita harus selalu ingat bahwa yang kita hakimi itu juga manusia. Dengan hak untuk menentukan kehidupannya sendiri. Dan oleh karena itu, meskipun kita berpikir bahwa dia melakukan tindakan yang salah, kita harus tetap menyadari kenyataan bahwa bukan hak kita untuk memulihkan jalan hidup untuk orang lain. Intinya? Respek! Selalu ingat bahwa ada batas yang tidak boleh dilanggar, komentar yang tidak boleh dikatakan, dan pilihan yang tidak boleh dipaksakan.

And Finally, Screw You!
Picture by aunty acid.
Ya, saya menilai orang lain. Dan saya tahu bahwa orang lain juga menilai, dan bahkan meremehkan saya. But you know what? I don't care. Saya tahu kalau ini hidup saya, dan saya punya hak prerogatif untuk menentukan hidup ini mau saya bawa kemana.

Saturday, April 4, 2015

Memuji Atau...

Hari ini saya menemukan artikel ini dan mempelajari istilah baru: backhanded compliment. Backhanded compliment adalah ketika seseorang memberikan pujian pada seseorang, tapi tanpa sadar sebenarnya di saat yang sama juga sedang mengritik orang yang sedang dipujinya. Kalau mau diterjemahkan, mungkin bisa dikatakan pujian nyinyir ya? Sebenarnya kejadiaan ini bukan hal baru sih buat saya. Selama hidup entah sudah berapa orang, baik yang dekat maupun yang tidak, yang mengatakan pada saya "Wah, kamu masih kurus aja ya." Ingin rasanya sekali-sekali menjawab: "Iya nih, kamu juga masih nggak tahu sopan santun aja ya." Apa daya etika tidak mengijinkan.

Buat saya, kenyataan bahwa saya kurus itu bukannya enak maupun tidak enak. That is just the way I am. Dan terus terang saya tidak mengerti kenapa hal itu selalu menjadi hal pertama yang digunakan orang untuk menilai saya. Mungkin karena karakteristik fisik pada dasarnya lebih mudah dilihat daripada karakteristik intelektual, apalagi emosional ya?

Pusing Pala Barbie
Nggak, saya nggak mau ngajak karaoke. Saya pikir pujian nyinyir berangkat dari dua hal: adanya standar yang berlaku soal kecantikan dan perasaan ketidakamanan. Nah, anehnya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak standar. Tidak ada skala pengukuran yang jelas akan kecantikan. Akibatnya, "standar" ini jadi sama sekali tidak standar karena sangat tergantung pada interpretasi penilai (yang mana merujuk pada setiap orang dalam masyarakat).

Standar yang sama sekali tidak standar. (credit: Mattel)

Menurut pengamatan saya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak realistis. It's impossible, unattainable, ridiculous, and downright sickening. Seberapapun kerennya anda, pasti orang (baik orang lain maupun diri anda sendiri) masih bisa menemukan kekurangan di dalam diri anda. Sayangnya, mayoritas orang percaya bahwa standar ini perlu diikuti. Alasannya simpel, karena setiap orang punya perasaan tidakamanan tadi dalam dirinya; dan ada pihak-pihak yang dengan sengaja bermain-main dengan ketidakamanan ini.

Akhir-akhir ini, standar kecantikan sepertinya ditentukan oleh korporasi. Lewat iklan-iklan yang terpampang dimana-mana, korporasi-korporasi menggiring opini kita tentang kecantikan yang "lumrah", meskipun sebenarnya tidak umum ditemukan di dunia nyata. Ya, kecantikan tipe Barbie begitu deh.

Terpengaruh imaji yang disodorkan korporasi ini, banyak orang yang sesungguhnya berukuran normal secara statistik jadi terobsesi mengikuti imaji ini. Mau dibilang jangan termakan ajakan ini juga tidak mungkin, karena invasi imaji sempurna ini sangat masif sampai sulit dipisahkan dari hidup sehari-hari, tapi ya paling tidak usahakanlah jangan sampai menyakiti diri sendiri, baik secara fisik maupun mental.

Subtle Sexism
"And you look like you can use some
manner!" (Picture by Vanessa from
Van's Scribbles)
Seperti juga disinggung di artikel yang saya temukan tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa pujian nyinyir juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran seksis. Ada anggapan konvensional bahwa setiap orang harus masuk ke dalam boks tertentu untuk bisa dianggap berhasil sebagai manusia. Dan seringkali, boks-boks ini dibedakan dengan karakteristik-karakteristik yang sangat bias gender.

Susah juga ya. Dunia tempat kita hidup ini sudah terlalu tersegregasi untuk kita mengharapkan bisa hidup di dalamnya tanpa sedikitpun "doing gender." Paling tidak kalau mau ke toilet di tempat umum kita pasti ngecek dulu itu toilet perempuan atau laki-laki, kalau nggak mau disorakin gara-gara salah masuk WC. Mengharapkan dunia untuk sama sekali tidak bias gender tidak hanya naif, tapi juga utopis.

Saking terbiasanya kita dengan segregasi gender, kadang secara tidak sadar kita bersikap seksis pada orang. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada orang yang berbuat jahat by default. Menjadi jahat butuh proses, entah itu proses peniatan atau pembebalan. Dalam kasus pujian nyinyir, kebanyakan dimulai dari proses pembebalan.

Selama bergenerasi-generasi kita dilatih untuk mematikan sensitivitas kita terhadap perasaan orang lain. Anggapan bahwa suatu hal dapat dikatakan lumrah, sementara hal-hal lain masuk ke dalam kategori aneh menjadi pembenaran kita bertindak tidak sensitif pada orang lain. "Dia sih, nggak ngikutin pakem, boleh dong kita ingatkan akan kesalahannya. Toh demi kebaikan dia sendiri," begitu kira-kira proses rasionalisasi tindak kejahatan emosional yang terjadi di dalam bathin kita sebelum kita (tanpa niatan jahat tentunya, sudah refleks sih) melakukan body shaming ke orang yang bentuknya tidak sesuai pakem.

Masalahnya, body shaming ini selalu dibungkus dengan kata-kata, intonasi, dan gestur yang terkesan sebagai perwujudan kepedulian dan cinta kasih, jadi orang yang menerimanya juga seringkali tidak menyadari kalau sedang direndahkan. Tapi meskipun tidak sadar, pasti ada sebagian dirinya yang merasa sakit ketika menerima komentar ini.

If You Can't Say Something Nice...

...say something clever but devastating. Eh, enggak dink. Bercanda. Hahaha... Nah, itu tadi contoh perbuatan jahat yang melalui proses peniatan. Ada tujuan untuk menyakiti. Tapi kebanyakan dari kita dalam kondisi normal kan nggak mau ya menyakiti orang? Ya kan? Ya kan?

Tuh! Denger kata Kakak Ryan! (credit: queenkatie)
Nah kalau anda setuju dengan saya, maka marilah kita sama-sama berusaha menumbuhkan kembali sensitivitas kita. Kita bisa mengambil langkah pertama dengan mulai menghormati orang lain. Ini termasuk menghormati kenyataan bahwa bentuk fisik setiap orang berbeda-beda, dan setiap orang punya hak untuk menentukan bagaimana dirinya berpenampilan dan bagaimana dia ingin menjalani hidupnya. After all, it's their life, not yours. Berhenti memiliki ekspektasi apapun mengenai penampilah orang lain, and just accept them the way they are. Kalau anda tidak suka dengan cara seseorang berpenampilan, ya nggak usah diikuti. It's that simple.

Thursday, April 2, 2015

Ayam Tiren, Pentungan, dan Kotodama


"For I am a bear of very little brain and long words bother me." 
 ~Winnie the Pooh (A.A. Milne)



Pagi hari kemarin, saya menyimak dua teman saya berdiskusi mengenai carut marut keadaan saat ini. Meskipun, kalau mau jujur, saya pikir setiap masa punya kecarutmarutannya sendiri. Ketika sedang bicara mengenai bagaimana orang-orang saat ini mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap korupsi, dalam segala perwujudannya, teman saya mengemukakan suatu ide yang sangat menarik: orang menganggap korupsi remeh karena sesungguhnya dalam bahasa Indonesia, nilai rasa kata tersebut tidak dipandang rendah.

Mushuuuu..!!! =D
Kata korupsi sendiri merupakan kata yang kita serap dari bahasa latin: corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dengan kata lain, melakukan tindak korupsi berarti melakukan tindakan yang busuk dan merusak. Dalam bentuk aslinya, kata ini mempunyaai nilai rasa yang sangat jelek. 

Para pengguna bahasa latin dan derivatnya dapat merasakan betapa buruknya ketika seseorang diasosiasikan dengan kata corruptio tadi. Dengan menyatakan seseorang melakukan corrumpere, masyarakat berbahasa latin secara tidak langsung mendegradasi martabat orang tersebut. Imbasnya tidak hanya dirasakan oleh si pelaku, tapi juga orang-orang terdekatnya.

Lost in Translation
Sayangnya, dalam proses penyerapan kata dari bahasa asing, jarang sekali elemen emosional (simply put, nilai rasa itu tadi) bisa ikut diserap. Ya mau gimana lagi? Berbeda dengan pengguna bahasa aslinya, bangsa penyerap tidak melalui proses internalisasi nilai rasa yang berlangsung selama bergenerasi-generasi. 

Akibatnya, sulit bagi kita bangsa Indonesia, yang tidak menggunakan kata korupsi untuk menjelaskan daging ayam tiren yang sudah membiru dan berbau busuk, untuk bisa menangkap tingkat kemuakan para pengguna bahasa latin di masa lalu terhadap kata ini. Makanya ketika orang tertuduh (bahkan tervonis) korupsi, mereka masih tenang-tenang saja mencalonkan diri untuk jabatan publik dan senyum-senyum di media. Kalau mau mendapat efek yang diharapkan, ya kita harus menggunakan kata yang lebih relatable untuk bangsa Indonesia: maling, rampok, begal.

Don't Take Offense at My Innuendos
On a slightly different note, saya menemukan kutipan yang menarik ketika sedang menjelajahi quotegarden.com dan mencari kutipan soal bahasa: "One man's frankness is another man's vulgarity." (Kevin Smith). Kenyataannya, nilai rasa suatu bahasa akan sangat tergantung pada pengalaman dan pemahaman yang dimiliki seseorang. Kata tiran akan mempunyai pengertian yang sangat berbeda bagi orang yang menjadi korban dan orang yang diuntungkan.

Any publicity is good publicity.
Ayo mampir ke warungnya Manto!
(lah, ternyata kanca..)
Beberapa waktu silam, media sosial heboh protes salah satu kelompok masyarakat terhadap salah satu warung di Jogja yang menawarkan makanan dengan nama yang vulgar di dalam menunya. Padahal warung ini juga sudah bertahun-tahun buka, dan kata-kata vulgar yang diusung di menunya itu sebenarnya (saya duga) hanya merupakan harmless joke bagi pemiliknya dalam rangka menarik pengunjung. Lha, wong warungnya juga warung burjo biasa, bukan warung remang-remang. Tapi rupa-rupanya di masyarakat yang semakin sensi ini, ide kreatif yang agak nyeleneh sulit untuk ditoleransi. 

Yap, menurut saya masyarakat sekarang sudah semakin mudah tersinggung deh. Segala macam yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya langsung dihadapi dengan pentungan (baik yang virtual maupun literal). Rasanya ingin deh mengatakan kepada dunia untuk chill out! Toh meskipun ada orang yang tidak sepaham dengan anda, mentari masih bersinar. It's not exactly the end of the world, so why are you responding to it like it is? Mengutip kata Kakak Jewel, "Not to worry 'cos worry is wasteful and useless in times like these."

Soul of Words
Apapun itu, ketika digunakan dengan tepat, kata-kata adalah hal yang punya kekuatan (baik untuk membangun maupun merusak). Masyarakat Jepang mempuyai konsep "kotodama" yang apabila diterjemahkan dengan bebas berarti jiwa dari kata-kata. Mereka percaya bahwa ada kekuatan magis yang bersemayam dalam kata-kata. Berdasarkan pemahaman ini, apabila kita menggunakan kata-kata kita dengan tepat, maka kita bisa mengontrol hal-hal di sekeliling kita. Konsep yang sama juga diangkat oleh Ursula Le Guin dalam seri Wizard of Earthsea-nya. If we learn the true name of things then we can control it. A very good series. All geeks must read it!

Kalau tidak salah, di masa lalu juga pernah ada penelitian yang menemukan bahwa pohon yang tumbuh sambil diperdengarkan kata-kata positif bisa tumbuh dengan baik, sementara yang diperdengarkan kata-kata negatif akan layu. Mungkin hal ini bisa terjaadi karena dalam kata-kata negatif secara inheren terkandung juga emosi dan energi negatif ya? Bagaimana menurut anda?

----------------------------------------
* Gambar Pooh diambil dari laman ini.
** Gambar Mushu diambil dari laman ini.
*** Logo resmi Kedai 24 Jam by Arismanto (mungkin)