Saturday, April 4, 2015

Memuji Atau...

Hari ini saya menemukan artikel ini dan mempelajari istilah baru: backhanded compliment. Backhanded compliment adalah ketika seseorang memberikan pujian pada seseorang, tapi tanpa sadar sebenarnya di saat yang sama juga sedang mengritik orang yang sedang dipujinya. Kalau mau diterjemahkan, mungkin bisa dikatakan pujian nyinyir ya? Sebenarnya kejadiaan ini bukan hal baru sih buat saya. Selama hidup entah sudah berapa orang, baik yang dekat maupun yang tidak, yang mengatakan pada saya "Wah, kamu masih kurus aja ya." Ingin rasanya sekali-sekali menjawab: "Iya nih, kamu juga masih nggak tahu sopan santun aja ya." Apa daya etika tidak mengijinkan.

Buat saya, kenyataan bahwa saya kurus itu bukannya enak maupun tidak enak. That is just the way I am. Dan terus terang saya tidak mengerti kenapa hal itu selalu menjadi hal pertama yang digunakan orang untuk menilai saya. Mungkin karena karakteristik fisik pada dasarnya lebih mudah dilihat daripada karakteristik intelektual, apalagi emosional ya?

Pusing Pala Barbie
Nggak, saya nggak mau ngajak karaoke. Saya pikir pujian nyinyir berangkat dari dua hal: adanya standar yang berlaku soal kecantikan dan perasaan ketidakamanan. Nah, anehnya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak standar. Tidak ada skala pengukuran yang jelas akan kecantikan. Akibatnya, "standar" ini jadi sama sekali tidak standar karena sangat tergantung pada interpretasi penilai (yang mana merujuk pada setiap orang dalam masyarakat).

Standar yang sama sekali tidak standar. (credit: Mattel)

Menurut pengamatan saya, yang namanya standar kecantikan ini sama sekali tidak realistis. It's impossible, unattainable, ridiculous, and downright sickening. Seberapapun kerennya anda, pasti orang (baik orang lain maupun diri anda sendiri) masih bisa menemukan kekurangan di dalam diri anda. Sayangnya, mayoritas orang percaya bahwa standar ini perlu diikuti. Alasannya simpel, karena setiap orang punya perasaan tidakamanan tadi dalam dirinya; dan ada pihak-pihak yang dengan sengaja bermain-main dengan ketidakamanan ini.

Akhir-akhir ini, standar kecantikan sepertinya ditentukan oleh korporasi. Lewat iklan-iklan yang terpampang dimana-mana, korporasi-korporasi menggiring opini kita tentang kecantikan yang "lumrah", meskipun sebenarnya tidak umum ditemukan di dunia nyata. Ya, kecantikan tipe Barbie begitu deh.

Terpengaruh imaji yang disodorkan korporasi ini, banyak orang yang sesungguhnya berukuran normal secara statistik jadi terobsesi mengikuti imaji ini. Mau dibilang jangan termakan ajakan ini juga tidak mungkin, karena invasi imaji sempurna ini sangat masif sampai sulit dipisahkan dari hidup sehari-hari, tapi ya paling tidak usahakanlah jangan sampai menyakiti diri sendiri, baik secara fisik maupun mental.

Subtle Sexism
"And you look like you can use some
manner!" (Picture by Vanessa from
Van's Scribbles)
Seperti juga disinggung di artikel yang saya temukan tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa pujian nyinyir juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran seksis. Ada anggapan konvensional bahwa setiap orang harus masuk ke dalam boks tertentu untuk bisa dianggap berhasil sebagai manusia. Dan seringkali, boks-boks ini dibedakan dengan karakteristik-karakteristik yang sangat bias gender.

Susah juga ya. Dunia tempat kita hidup ini sudah terlalu tersegregasi untuk kita mengharapkan bisa hidup di dalamnya tanpa sedikitpun "doing gender." Paling tidak kalau mau ke toilet di tempat umum kita pasti ngecek dulu itu toilet perempuan atau laki-laki, kalau nggak mau disorakin gara-gara salah masuk WC. Mengharapkan dunia untuk sama sekali tidak bias gender tidak hanya naif, tapi juga utopis.

Saking terbiasanya kita dengan segregasi gender, kadang secara tidak sadar kita bersikap seksis pada orang. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada orang yang berbuat jahat by default. Menjadi jahat butuh proses, entah itu proses peniatan atau pembebalan. Dalam kasus pujian nyinyir, kebanyakan dimulai dari proses pembebalan.

Selama bergenerasi-generasi kita dilatih untuk mematikan sensitivitas kita terhadap perasaan orang lain. Anggapan bahwa suatu hal dapat dikatakan lumrah, sementara hal-hal lain masuk ke dalam kategori aneh menjadi pembenaran kita bertindak tidak sensitif pada orang lain. "Dia sih, nggak ngikutin pakem, boleh dong kita ingatkan akan kesalahannya. Toh demi kebaikan dia sendiri," begitu kira-kira proses rasionalisasi tindak kejahatan emosional yang terjadi di dalam bathin kita sebelum kita (tanpa niatan jahat tentunya, sudah refleks sih) melakukan body shaming ke orang yang bentuknya tidak sesuai pakem.

Masalahnya, body shaming ini selalu dibungkus dengan kata-kata, intonasi, dan gestur yang terkesan sebagai perwujudan kepedulian dan cinta kasih, jadi orang yang menerimanya juga seringkali tidak menyadari kalau sedang direndahkan. Tapi meskipun tidak sadar, pasti ada sebagian dirinya yang merasa sakit ketika menerima komentar ini.

If You Can't Say Something Nice...

...say something clever but devastating. Eh, enggak dink. Bercanda. Hahaha... Nah, itu tadi contoh perbuatan jahat yang melalui proses peniatan. Ada tujuan untuk menyakiti. Tapi kebanyakan dari kita dalam kondisi normal kan nggak mau ya menyakiti orang? Ya kan? Ya kan?

Tuh! Denger kata Kakak Ryan! (credit: queenkatie)
Nah kalau anda setuju dengan saya, maka marilah kita sama-sama berusaha menumbuhkan kembali sensitivitas kita. Kita bisa mengambil langkah pertama dengan mulai menghormati orang lain. Ini termasuk menghormati kenyataan bahwa bentuk fisik setiap orang berbeda-beda, dan setiap orang punya hak untuk menentukan bagaimana dirinya berpenampilan dan bagaimana dia ingin menjalani hidupnya. After all, it's their life, not yours. Berhenti memiliki ekspektasi apapun mengenai penampilah orang lain, and just accept them the way they are. Kalau anda tidak suka dengan cara seseorang berpenampilan, ya nggak usah diikuti. It's that simple.

No comments:

Post a Comment