Thursday, April 2, 2015

Ayam Tiren, Pentungan, dan Kotodama


"For I am a bear of very little brain and long words bother me." 
 ~Winnie the Pooh (A.A. Milne)



Pagi hari kemarin, saya menyimak dua teman saya berdiskusi mengenai carut marut keadaan saat ini. Meskipun, kalau mau jujur, saya pikir setiap masa punya kecarutmarutannya sendiri. Ketika sedang bicara mengenai bagaimana orang-orang saat ini mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap korupsi, dalam segala perwujudannya, teman saya mengemukakan suatu ide yang sangat menarik: orang menganggap korupsi remeh karena sesungguhnya dalam bahasa Indonesia, nilai rasa kata tersebut tidak dipandang rendah.

Mushuuuu..!!! =D
Kata korupsi sendiri merupakan kata yang kita serap dari bahasa latin: corruptio yang berarti busuk atau rusak. Dengan kata lain, melakukan tindak korupsi berarti melakukan tindakan yang busuk dan merusak. Dalam bentuk aslinya, kata ini mempunyaai nilai rasa yang sangat jelek. 

Para pengguna bahasa latin dan derivatnya dapat merasakan betapa buruknya ketika seseorang diasosiasikan dengan kata corruptio tadi. Dengan menyatakan seseorang melakukan corrumpere, masyarakat berbahasa latin secara tidak langsung mendegradasi martabat orang tersebut. Imbasnya tidak hanya dirasakan oleh si pelaku, tapi juga orang-orang terdekatnya.

Lost in Translation
Sayangnya, dalam proses penyerapan kata dari bahasa asing, jarang sekali elemen emosional (simply put, nilai rasa itu tadi) bisa ikut diserap. Ya mau gimana lagi? Berbeda dengan pengguna bahasa aslinya, bangsa penyerap tidak melalui proses internalisasi nilai rasa yang berlangsung selama bergenerasi-generasi. 

Akibatnya, sulit bagi kita bangsa Indonesia, yang tidak menggunakan kata korupsi untuk menjelaskan daging ayam tiren yang sudah membiru dan berbau busuk, untuk bisa menangkap tingkat kemuakan para pengguna bahasa latin di masa lalu terhadap kata ini. Makanya ketika orang tertuduh (bahkan tervonis) korupsi, mereka masih tenang-tenang saja mencalonkan diri untuk jabatan publik dan senyum-senyum di media. Kalau mau mendapat efek yang diharapkan, ya kita harus menggunakan kata yang lebih relatable untuk bangsa Indonesia: maling, rampok, begal.

Don't Take Offense at My Innuendos
On a slightly different note, saya menemukan kutipan yang menarik ketika sedang menjelajahi quotegarden.com dan mencari kutipan soal bahasa: "One man's frankness is another man's vulgarity." (Kevin Smith). Kenyataannya, nilai rasa suatu bahasa akan sangat tergantung pada pengalaman dan pemahaman yang dimiliki seseorang. Kata tiran akan mempunyai pengertian yang sangat berbeda bagi orang yang menjadi korban dan orang yang diuntungkan.

Any publicity is good publicity.
Ayo mampir ke warungnya Manto!
(lah, ternyata kanca..)
Beberapa waktu silam, media sosial heboh protes salah satu kelompok masyarakat terhadap salah satu warung di Jogja yang menawarkan makanan dengan nama yang vulgar di dalam menunya. Padahal warung ini juga sudah bertahun-tahun buka, dan kata-kata vulgar yang diusung di menunya itu sebenarnya (saya duga) hanya merupakan harmless joke bagi pemiliknya dalam rangka menarik pengunjung. Lha, wong warungnya juga warung burjo biasa, bukan warung remang-remang. Tapi rupa-rupanya di masyarakat yang semakin sensi ini, ide kreatif yang agak nyeleneh sulit untuk ditoleransi. 

Yap, menurut saya masyarakat sekarang sudah semakin mudah tersinggung deh. Segala macam yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya langsung dihadapi dengan pentungan (baik yang virtual maupun literal). Rasanya ingin deh mengatakan kepada dunia untuk chill out! Toh meskipun ada orang yang tidak sepaham dengan anda, mentari masih bersinar. It's not exactly the end of the world, so why are you responding to it like it is? Mengutip kata Kakak Jewel, "Not to worry 'cos worry is wasteful and useless in times like these."

Soul of Words
Apapun itu, ketika digunakan dengan tepat, kata-kata adalah hal yang punya kekuatan (baik untuk membangun maupun merusak). Masyarakat Jepang mempuyai konsep "kotodama" yang apabila diterjemahkan dengan bebas berarti jiwa dari kata-kata. Mereka percaya bahwa ada kekuatan magis yang bersemayam dalam kata-kata. Berdasarkan pemahaman ini, apabila kita menggunakan kata-kata kita dengan tepat, maka kita bisa mengontrol hal-hal di sekeliling kita. Konsep yang sama juga diangkat oleh Ursula Le Guin dalam seri Wizard of Earthsea-nya. If we learn the true name of things then we can control it. A very good series. All geeks must read it!

Kalau tidak salah, di masa lalu juga pernah ada penelitian yang menemukan bahwa pohon yang tumbuh sambil diperdengarkan kata-kata positif bisa tumbuh dengan baik, sementara yang diperdengarkan kata-kata negatif akan layu. Mungkin hal ini bisa terjaadi karena dalam kata-kata negatif secara inheren terkandung juga emosi dan energi negatif ya? Bagaimana menurut anda?

----------------------------------------
* Gambar Pooh diambil dari laman ini.
** Gambar Mushu diambil dari laman ini.
*** Logo resmi Kedai 24 Jam by Arismanto (mungkin)

No comments:

Post a Comment