Friday, November 1, 2013

Emo Ergo Sum

Demo buruh menuntut kenaikan upah sudah bukan hal baru lagi di Indonesia. Pro dan kontra kenaikan upah buruh di media sosial juga sudah bukan hal baru lagi. Tapi demo buruh kali ini semakin rusuh karena ada artikel-artikel yang menyoroti bagaimana para buruh berdemo sambil membawa gadget canggih dan kendaraan mentereng. Semakin seru lah pro dan kontra seputar tuntutan buruh ini.

Beberapa waktu lalu saya sempat membagi salah satu berita kontroversial tersebut di dinding facebook saya. Sederhana saja alasannya, karena saya menyadari bahwa fenomena ini (orang-orang merasa butuh gadget paling up to date dan barang-barang paling mentereng untuk tetap eksis) adalah kenyataan di negara kita, bukan hanya di kalangan buruh, tapi juga (atau mungkin malah terutama) di kalangan pekerja kantoran. As a consequence, saya terjebak daalam perdebatan soal upah buruh. Langsung dicap sebagai kelas menengah yang menolak memahami penderitaan kelas buruh. Baiklah, daripada pendapat saya disalahartikan, saya jabarkan sajalah sekalian pendapat saya soal seluruh fenomena ini.

We all need to practice our right to speak every once in a while.*

Sebagai pekerja 'kantoran', saya lebih banyak melihat fenomena ini terjadi di kalangan yang oleh teman-teman yang lebih paham Marxisme dirujuk sebagai 'kelas menengah' ini. Saya menyaksikan bagaimana orang langsung memburu piranti terbaru segera setelah barang itu dirilis, melihat antrian mengular di dealer BB atau Apple Store ketika ada produk baru. Saya menyadari bahwa sebagai manusia kita punya kebutuhan upgrade dan update, saya juga merasa orang punya hak melakukan apa saja yang mereka mau dengan uang mereka. Supaya tidak dibilang munafik, saya juga beli smartphone kok, tapi saya menyadari bahwa saya melakukan iu karena saya ingin dan ketika saya membeli barang itu, ongkos nongkrong saya jadi berkurang. Itu konsekwensi yang harus saya terima. Apakah saya merasa gaji saya cukup? Tidak. Tapi saya merasa bahwa saya digaji sesuai dengan kontribusi saya pada lembaga. 

Kembali ke masalah buruh. Saya bukan orang tidak berperasaan. Saya bisa membayangkan sulitnya hidup di Jakarta dengan upah 2,4 juta per bulan. Saya bukannya tidak setuju buruh menuntut perbaikan, tapi saya merasa perbaikan yang disasar salah sasaran. Kenapa? Karena setiap kali demo buruh selalu fokus pada nominal yang mereka terima. Menurut saya ini pendekatan yang sagat reaktif. Harga naik, karena itu gaji harus naik; tanpa menyadari kenaikan gaji tersebut akan berkontribusi pada naiknya harga-harga di kemudian hari. Selain itu, pendekatan ini juga simptomatik. Bagaikan kalau pusing langsung minum panadol. Gejalanya sih reda sementara, tapi kanker otaknya tetap ada.

Banyak pendapat di dunia maya menyatakan buruh harusnya lebih bersyukur. Menurut saya pendapat itu menggelikan. Buruh dirugikan, dan mereka harus bersuara. Begitu juga semua guru honorer, satpam, dan orang-orang lain yang merasa dirugikan oleh sistem. But they have to be smart. They must be able to be choose which fights are worth fighting and be strategic with those fights. Di sisi lain, ada lagi pendapat yang berkata apa salahnya buruh punya gadget terbaru atau motor keren? Nggak, nggak ada salahnya. But then again, setiap keputusan punya konsekwensi. Saya bukannya menolak buruh punya barang-barang keren, saya menolak kalau pembiayaan barang-barang keren tersebut menjadi dasar permohonan kenaikan upah mereka. Nggak ada salahnya saya punya Aston Martin, tapi bodoh kalau saya berharap bisa mencicil Aston Martin DB9 sambil mempertahankan gaya hidup saya sekarang.

Nothing's wrong with this baby, nothing at all.**

Apakah kenaikan upah perlu? Mau tidak mau. Tanpa kenaikan upah, buruh tidak akan bisa bertahan. Tapi menurut saya menuntut kenaikan upah semata hanya akan melestarikan akar masalah yang menyebabkan ketimpangan sosial antara orang-orang dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Kenaikan upah bukan satu-satunya faktor yang harus diperjuangkan. Ada hal-hal yang juga esensial: Apakah mereka diijinkan berserikat dan apakah serikat tersebut berfungsi efektif untuk mendukung kepentingan para buruh? Apakah mereka diberi kesempatan mengembangkan diri dan naik ke jenjang berikutnya? Apakah keamanan kerja mereka dijamin oleh perusahaan (bukan hanya dalam hal perusahaan meminimalisir kecelakaan kerja, tapi juga menjamin buruh bukan aset yang disposable)? Apakah mereka sudah mendapat jaminan-jaminan mendasar (misalnya saja kesehatan dan pendidikan)? Itu baru pertanyaan-pertaanyaan seputar perusahaan saja. Masih banyak lagi hal-hal diluar gaji yang berujung pada memastikan kesetaraan dan perbaikan nasib buruh, tapi seringkali terabaikan. Padahal tanpa perubahan sistemik, mau berapapun gajinya, buruh akan tetap menjadi pihak yang dirugikan. Kalau mau benar-benar memperbaiki nasib buruh, secara tidak langsung subsidi untuk petani, pendidikan gratis dan berkualitas, sarana dan prasarana publik, dan seabreg isu lainnya juga harus diperbaiki. 

Nah, disinilah serikat buruh dan segala CSO-CSO yang menjamur itu seharusnya berperan. Menurut saya, fungsi mereka bukan hanya untuk memobilisasi buruh untuk bergerak, tapi juga untuk mengedukasi buruh mengapa mereka perlu bergerak. Kenyataannya, kebanyakan buruh tidak mempunyai pemahaman untuk melihat contributing factors yang tidak langsung berhubungan dengan dirinya, karena itulah pihak eksternal yang punya pandangan lebih luas bisa membuat mereka menyadari hal-hal tersebut, bukannya membabi buta mendorong dan mendukung buruh untuk berkutat di masalah itu-itu saja. Toh pendekatan ini tidak membawa perubahan esensial dalam perbaikan nasib buruh yang katanya mereka bela itu. Kalau mereka kekeuh mempertahankan pendekatan ini, motivasi mereka juga layak dipertanyakan.

Anyway, terlepas dari masalah buruh, saya merasa masyarakat kita punya masalah bersama. Masalah yang membuat kita berpikir kita perlu mendefinisikan diri kita dengan hal-hal materiil. Thus, the title of this post. Emo Ergo Sum, I Buy therefore I Am. Untuk urusan ini, saya pikir saya tidak perlu menulis lagi, toh sudah dinyanyikan dengan apik oleh Eddie Vedder. Jadi mari kita dengarkan saja. 



---------------------------------------------------------
*Gambar boneka berbaris diambil dari halaman ini.
**Gambar Aston Martin DB9 diambil dari halaman ini