Tuesday, June 12, 2012

Soegija dan Sebuah Ekspektasi yang Tidak Terjawab




Gambar diambil dari http://www.21cineplex.com/soegija-movie,2843,02SOJA.htm
   Sejak mendengar bahwa sebuah film mengenai pahlawan nasional, Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata akan diputar di bioskop-bioskop komersil di seluruh Indonesia, saya langsung merasa tertarik. Meskipun ada  banyak film buatan sineas Indonesia yang menurut saya bermutu baik dan sesuai dengan selera saya, tapi sayangnya kebanyakan film tersebut justru masuk ke festival internasional sementara perbioskopan komersil Indonesia dipenuhi film-film yang buat saya kurang menarik. Misalnya saja film yang baru-baru ini menyedot banyak perhatian media karena dikatakan mencatut nama icon terkenal asal Britania Raya.

Selain dari alasan tersebut, ada beberapa alasan lain yang membuat saya menantikan pemutaran film ini. Pertama-tama, saya beranggapan bahwa rasa nasionalisme di kalangan anak bangsa akhir-akhir ini menyurut dan menurut saya salah satu cara mengembalikan antusiasme dan cinta terhadap bangsa adalah dengan memperkenalkan kisah-kisah inspiratif tentang bagaimana orang-orang mematikan ego dan berjuang demi bangsa ini, lama berselang. Kedua, Mgr. Soegijapranata berjuang dengan menggunakan silent diplomacy sebagai strategi. Bagi saya sisi ini menarik karena saya termasuk pada kelompok orang yang percaya bahwa apabila orang mengutamakan diplomasi sebagai metode resolusi konflik manusia akan bisa menyelesaikan lebih banyak masalah; dan penyelesaian tersebut akan lebih bertahan lama. Ketiga, karena dalam setiap promosinya, pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini menyatakan bahwa ini merupakan film tentang kemanusiaan; sebuah tema yang dekat di hati saya sebagai self-proclaimed agent of peace. Hahaha.. Oh iya, satu lagi, karena sekuritisasi (yang disebarkan entah oleh siapa) bahwa Soegija akan diboikot oleh kelompok radikal tertentu yang terus terang saja cukup berhasil menggelitik rasa penasaran banyak orang.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya hari Minggu tanggal 10 lalu saya dan keluarga berangkat ke Buaran Teater untuk menonton film ini. Saya akui, ekspektasi saya terhadap film ini cukup tinggi, karena meskipun film ini bukan merupakan suatu biografi, tapi menurut saya ada banyak hal menarik yang bisa dituturkan dan disebarkan lewat film ini, seperti sudah saya katakan di atas. Setelah dimanjakan selama 115 menit dengan grafik yang menawan dan musik yang memanjakan telinga terus, mungkin karena ekspektasi saya yang memang 'agak' tinggi, terang saya merasa tidak mendapat apa yang saya harapkan. Bukan berarti saya beranggapan film ini jelek, film ini digarap dengan apik, dimainkan dengan apik pula meskipun ada beberapa ketidaksesuaian era, saya bisa mengabaikannya karena saya cukup menikmati film ini. Apalagi dengan dialog-dialog lokal yang meskipun banyak dikritik bersifat Jawasentris, tapi mendukung penyajian film. Permasalahannya untuk saya adalah film ini tidak menjawab keingintahuan saya dan tidak menyajikan hal-hal yang saya nantikan.

Perihal menumbuhkan rasa nasionalisme, ide memperkenalkan seorang tokoh nasional yang berjasa melindungi masyarakat sebenarnya cukup menarik, dan mungkin bisa berhasil. Apalagi banyak orang merasa perlu menonton film ini karena khawatir tidak sempat menontonnya di bioskop. Yah, paling tidak sedikit banyak adalah pesan-pesan nasionalisme yang bisa diteruskan, meskipun pesan-pesan tersebut ditunggangi isu-isu sampingan seperti misalnya keistimewaan Yogyakarta. Sah-sah saja sih, toh mayoritas penonton tidak menyadarinya.

Yang saya kecewakan adalah dalam usahanya menggambarkan penderitaan rakyat pada masa penjajahan, sepertinya film ini justru lebih menunjukkan glorifikasi perang dan tragedi daripada menekankan pada unsur-unsur 'kemanusiaan'. Agresi, kesedihan, harga diri, dan keputusasaan memang juga merupakan aspek kemanusiaan yang menjadikan manusia. Apabila kita bicara tentang kemanusiaan dalam konteks ini, menurut saya film ini sudah menangkapnya dengan lumayan baik. Mungkin karena pemikiran saya yang dangkal, tapi bukan itu yang saya antisipasi ketika saya mendengar para pemeran Soegija menjual film ini. Nilai-nilai kemanusiaan yang menyerempet cinta kasih terhadap sesama yang saya nanti-nantikan justru diekspos dengan sangat minim, bahkan terkesan dipaksakan lewat celotehan koster jenaka. Bukan dari tindakan nyata para tokoh sentral dalam plot cerita. Yang penting masuk. Bicara tentang tokoh sentral, film ini mengingatkan saya pada film Alice (in Underland) Tim Burton. Terlalu banyak tokoh sentral yang saling mendominasi. Sampai tidak ada yang terlihat menonjol. Soal silent diplomacy yang saya tunggu-tunggu juga sedikit sekali ditampilkan. Paling-paling hanya lewat pernyataan-pernyataan sang Romo yang meskipun bagus, tapi jadi terkesan superfisial. Karena tidak dibarengi ilustrasi berupa tindakan.

Kesimpulannya, saya tidak kecewa, tapi juga tidak puas menonton film ini. Film ini punya banyak potensi, tapi terkesan seperti kehilangan fokus. Menghibur, tapi buat saya kurang mencerahkan. Biar bagaimanapun, saya harap film ini tetap mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat kita, terutama kaum muda. Paling tidak mereka sadar bahwa ada cara-cara alternatif dalam mengartikulasikan kepentingan selain daripada yang akhir-akhir ini diekspos oleh media massa sampai-sampai mengabaikan fakta bahwa hal-hal baik juga terjadi di Indonesia. Saya sangat mendukung pembuatan film yang mengangkat tokoh-tokoh inspiratif lokal Indonesia. Tapi sebisa mungkin sih, yang tidak menyajikan glorifikasi kekerasan mengingat sudah banyak sajian kekerasan di televisi. Supaya lebih segar, saya mengharapkan sineas Indonesia mengangkat kisah tokoh-tokoh yang tidak berasal dari Jawa, supaya tidak lagi dituding Jawasentris.