Saturday, August 30, 2014

Our Love of Negativity

Do you know that our brains are hardwired to response instantly and more profoundly to negativity? Fenomena ini bahkan punya nama: Negativity Bias. Serius! Saya tidak mengada-ada. Kalau tidak percaya, silahkan buka tautan berikut ini. Konon katanya bias terhadap negativitas ini terbentuk dalam rangka melindungi kita dari hal-hal buruk.

Kemungkinan besar otak kita jadi seperti ini untuk
mengakomodasi kebutuhan Link dan kawan-kawannya
untuk bertahan hidup.
Bayangkan kita hidup dalam konteks prehistorik, dimana ada banyak ancaman fisik mengintai di segala tempat; dan di sisi lain, hanya sedikit mekanisme pertahanan eksternal. Untuk mempertahankan diri, manusia kemudian mengembangkan reflek untuk merespon negativitas di sekitarnya secara instan. Masuk akal, sebenarnya. Tapi mengingat alam semesta selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan segala hal yang ada, this superpower of ours comes with a catch.

Karena otak kita secara alami lebih mudah merespon negativitas, akibatnya hal-hal negatif yang kita dengar dan kita rasakan akan cenderung punya akibat yang lebih besar pada diri kita.Mungkin hal ini yang menyebabkan depresi menjadi masalah yang besar dan sulit ditangani dalam masyarakat kita.

My Own Personal Demon
Saya ingin berbagi mengenai bagian hidup saya belum lama berselang yang jarang sekali saya bagi dengan orang lain. Yaitu ketika saya pikir saya merasa depresi. Saya tidak pernah secara klinis didiagnosa mengidap depresi. Simply, karena ketika itu saya tidak pernah mencari bantuan klinis. Back then, I did not know any better. Tapi, for the sake of good storytelling, mari sejenak kita setujui bahwa yang saya alami ketika itu bisa masuk ke dalam kategori depresi.

Saya tidak ingat kapan pastinya, tapi depresi saya ketika itu berangkat dari perasaan inkompeten. Saya adalah mahasiswi semester akhir yang seharusnya membuat tugas akhir kuliah saya. And I was not performing as well as my peers did. Saya memang bukan orang yang luar biasa cemerlang secara akademik. Tapi di sisi lain, sampai saat itu saya juga tidak pernah mengalami kegagalan akademik. Segala hal yang saya lakukan selalu mendapat apresiasi yang saya anggap sesuai dengan usaha yang saya keluarkan. Dan saat itu, ada masanya saya merasa bahwa hasil yang saya capai tidak sebanding dengan apa yang saya usahakan. Dan entah kenapa, itu justru membuat saya berhenti berusaha.

Mungkin kesannya manja, dan mungkin memang benar ketika itu saya manja. Tapi perasaan inkompeten yang ketika itu saya rasakan nyata. Begitu nyata sampai saya menarik diri dari lingkungan saya. Saya berhenti menghabiskan waktu dengan teman-teman; menghindari interaksi dengan orang-orang yang saya kenal; baik secara fisik maupun virtual; dan menghabiskan sebagian besar waktu saya di kamar kos berukuran 3x3, hanya keluar ketika waktunya makan atau ketika saya kehabisan stok komik. Itupun tidak selalu. Saya berhenti merasakan. Saya kehilangan kemampuan untuk merasa senang maupun sedih. Yang ada hanya perasaan bosan luar biasa. Selama kurang lebih tiga tahun, I live my days just for the sake of surviving until the next day. Berlebihan? Ya, saya tahu. Sayangnya itulah yang saya rasakan ketika itu, dan selama kurun waktu tersebut, saya benar-benar tidak mampu untuk mengangkat diri saya keluar dari perasaan negatif yang saya rasakan.

At the end of the day, you must face your depression
alone, as people can only do so much.
In retrospect, ketika itu saya sebenarnya relatif tidak punya masalah. Dan saya ketika itu sadar benar akan hal tersebut. Saya pikir justru kesadaran tersebut yang membuat masa-masa itu semakin berat. I realise that I am still the same blessed person I was when I am happy, but somehow I can't afford to bring myself to that state of happiness again.

Orang-orang berusaha membantu saya dengan kalimat-kalimat penyemangat mereka. But they have their own life, and they can only sympathise so much. Lagipula, setiap kata positif yang mereka katakan pada saya justru membuat saya merasa semakin gagal sebagai manusia. Ibarat terang lilin, kata-kata mereka semakin menunjukkan kegelapan yang ada di dalam hati saya (OMG, bahasanya... Pliss deh...).

Saya tidak yakin kapan dan bagaimana pastinya, tapi somehow saya berhasil keluar dari kegelapan tersebut. Saya yakin bahwa a big part of that is because of the people that refused to leave me alone, even when I tried so hard to push them away. Salah satu hal yang saya rasa juga sangat membantu saya adalah kepindahan kakak saya ke kota tempat saya tinggal. Somehow, in a weird kind of way, she made me feel that I have someone watching over me. As uncomfortable as it was, it helps

Saat ini, saya baik-baik saja. Tapi saya masih berusaha setiap hari untuk tidak jatuh lagi seperti saat itu. Saya orang yang menjalani keseharian dengan relatif gembira, tapi itu karena saya harus mengingatkan diri saya setiap hari untuk fokus kepada hal-hal yang membahagiakan. I need to constantly try to be the best version of me. Karena sekali saya lengah, my old demon would come back and haunt me. Untuk saya, hal yang paling sulit dihadapi adalah apabila teman-teman saya sedang menceritakan kegiatan yang mereka lakukan selama saya menarik diri. Knowing that I wasn't there to share their laughter really hurts, untungnya sejauh ini sisi logis saya masih bisa mengalahkan sisi emosional saya.

Oh, Society...
Anyway, enough about me. Alasan saya membagikan pengalaman tersebut adalah karena akhir-akhir ini saya merasa masyarakat menjadi sangat judgemental. Baru-baru ini salah satu aktor paling luar biasa di dunia ini ditemukan meninggal. Beliau dicurigai bunuh diri atas karena depresi. Banyak komentar mengalir, kebanyakan mempertanyakan: "Kok bisa-bisanya orang yang dilimpahi keberkahan seperti beliau depresi?" dan tidak sedikit yang menyalahkan beliau karena bunuh diri. Untuk saya, pertanyaan tersebut tidak relevan. You can have everything there is to have in this world and still be depressed. Saya ketika itu tidak kekurangan apapun. Setidaknya saya pikir demikian. Tapi saya masih bisa tuh kehilangan kemampuan saya merasakan.

It does not matter if it does not make sense to you. What depressed people feel in times of their depression is real, and that is the only thing that matters. Depresi adalah suatu hal yang sangat personal, dan orang lain tidak punya hak menilai, karena mereka tidak mungkin bisa memahami apa yang dirasakan seseorang ketika depresi. Jangankan orang lain, lha wong yang depresi aja bingung apa yang mereka rasakan kok.

Saya pikir masyarakat kita harus belajar untuk lebih sensitif. Lebih dari dua dekade saya hidup di Indonesia, saya merasa masyarakat negara ini in a way sama sekali tidak sensitif. Saya pernah bertemu dengan seorang yang pada suatu masa sekolah di tempat saya bersekolah. Saya tidak dekat dengan beliau, dan itu pertama kalinya saya bertemu dengannya setelah bertahun-tahun. Berikut pembicaraan yang saya alami dengannya:

"Hai! Kamu kurus banget sekarang!"
"Hahaha.. Dari dulu bukan aku kurus?"
"Iya, tapi beneran deh, kamu kurus banget. Kamu nggak papa kan?"
"Nggak papa, justru sekarang lagi sehat banget tuh!"
"Serius kamu nggak papa? Kurus banget loh, kamu kayak sakit deh."
"Nggak papa, bener kok. Orang dari dulu juga begini."

And the repetitive conversation lasted for about two agonising minutes. Dia minta kami bertukar nomor. Saya pura-pura mencatat nomornya dan berjanji akan me-miss call. Tidak saya lakukan. Sebagai orang yang kurus menurut standar manusia yang merasa normal, saya sering mengalami kejadian seperti ini. Saat ini saya sudah bisa cuek, tapi ada masanya hal ini sulit saya terima. I was not always as confident as I am now. There were times when I have serious confidence issue, and these comments did not help me at all.

Mungkin agak judgemental kalau saya menyatakan bahwa komentar-komentar sedemikian merupakan proyeksi dari personal failure seseorang. Tapi saya yakin komentar-komentar sedemikian tidak berangkat dari kebaikan hati. Meskipun anda berhasil meyakinkan diri anda bahwa komentar-komentar anda adalah buah kepedulian; IMO, that's a big pile of shit. Kenyataannya, mendiskreditkan orang lain memang bisa membuat anda merasa lebih baik mengenai diri anda sendiri. Dan itulah yang anda lakukan setiap kali berkomentar soal seseorang.


Yang perlu anda ingat adalah, di saat yang sama komentar anda (tidak peduli seberapa harmless komentar tersebut menurut anda) akan mempunyai efek negatif pada penerima. Bahkan mungkin sampai pada taraf ekstrim. So please, people, be kind. And keep your opinion to yourselves. You never know what a person is struggling with and how your negative remarks can influence them, even when you think it's not negative. Akhir kata, mengutip kata-kata Dalai Lama, "Be kind whenever possible. It is always possible."

---------------------------------------------------------
* Gambar pertama: Brendan Fraser dalam film Encino Man, 1992. 
** Gambar kedua diambil dari laman berikut ini.
*** Gambar ketiga diambil dari laman  berikut ini.