Tuesday, May 29, 2012

Menjadi Pembawa Damai

Akhir-akhir ini saya merasa dibombardir oleh beragam kabar negatif tentang Indonesia oleh media massa. Mulai dari intoleransi, kekerasan fisik, insensitivitas, sampai dengan penyebaran kebencian. Saya lelah mendapat kabar-kabar negatif ini. Terutama karena saya merasa bahwa negara ini mulai mengarah pada kekacauan, dan saya merasa tidak berdaya menghadapinya. Mungkin banyak dari pembaca artikel ini yang berpendapat bahwa perasaan ketidakberdayaan yang saya rasakan timbul dari keengganan saya mengambil tindakan. Bisa jadi hal tersebut benar adanya, namun terus terang dalam keadaan Indonesia saat ini saya tidak yakin apakah mengambil tindakan dan mempercayakan aspirasi saya pada saluran yang sifatnya legal formal tidak akan membuat saya lebih frustrasi dari saat ini. Lagipula, bagaimana mungkin saya bisa menggantungkan harapan pada lembaga yang tidak lagi saya percaya?

Saya memperhatikan dari interaksi saya di media sosial bahwa ternyata bukan hanya saya yang menyadari dan merasakan negativitas tersebut. Banyak orang merasakannya, dan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mendukung satu jalan pemikiran, ada pula yang langsung mencaci pihak-pihak tertentu. Munculnya reaksi-reaksi yang berbeda ini sebenarnya sah-sah saja, toh setiap orang pasti punya posisi dan pendapat yang berbeda-beda. Tapi berbagai reaksi yang saya saksikan ini membuat saya berpikir, bagaimanakah saya harus bereaksi menghadapi kabar-kabar dan perasaan negatif ini?

Memutuskan Membawa Damai
Setelah puas dengan kemarahan dan rasa frustrasi saya, akhirnya saya menyadari satu hal: semarah apapun saya, saya tidak ingin menjadi orang yang menyebarkan kebencian dan nilai-nilai yang menurut saya tidak sesuai dengan diri saya; misalnya saja intoleransi dan ketidakterbukaan. Sudah cukup banyak energi negatif beredar di negara ini dan saya tidak berniat menambahnya.

Saya sadar bahwa saya tidak bisa berharap semua orang bisa melihat dengan kacamata yang sama dengan saya ataupun menilai berdasarkan standar-standar yang saya terapkan dalam menjalani kehidupan saya. Tapi saya percaya bahwa apabila kita menginginkan perubahan, maka kita harus mulai dengan merubah diri sendiri. Saya berharap dengan menyebarkan positivitas lewat setiap interaksi yang saya lakukan, sesedikit apapun saya bisa mengurangi keadaan negatif yang ada sekarang. Sebaliknya, saya juga yakin apabila saya ikut serta menyebarkan kebencian baik lewat tindakan maupun perkataan saya justru akan memperparah keadaan.

Bukan berarti dengan memutuskan untuk bersikap positif saya juga memutuskan menutup mata terhadap permasalahan dan hal-hal negatif yang ada dalam masyarakat sekarang. Seperti yang pernah dikatakan Gandhi, "An eye for an eye only ends up making the whole world blind." Kita tidak bisa mengharapkan hal baik muncul ketika kita menggunakan cara-cara yang buruk. Maka ya, mulai sekarang saya memutuskan untuk tidak ikut serta dalam kegiatan saling menunjuk dan mencaci maki. Saya hanya akan berusaha berpikir, berkata, dan berbuat sebaik yang saya bisa dalam keseharian saya dengan keyakinan bahwa saya melakukan bagian saya dalam menciptakan perdamaian.

Sunday, May 27, 2012

Disfungsi Empati


Sudah sekitar dua bulan saya hijrah ke kota Jakarta setelah menghabiskan lebih dari tujuh tahun terakhir di kota Yogyakarta. Bagi banyak orang tinggal di kota Jakarta mungkin bukan merupakan hal yang menyenangkan, tapi saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di kota ini. Terus terang saja, perubahan tempat tinggal ini terasa menyegarkan. Bagaimanapun menyenangkannya kota Yogya, saya merasa saya sudah cukup tinggal di sana. Paling tidak untuk saat ini.

Sebagai orang yang baru saja lepas dari bangku kuliah, kegiatan saya di kota Jakarta diwarnai dengan mencari kerja. Saya mengirimkan banyak lamaran dan menghabiskan mayoritas waktu saya di Jakarta menunggu respon atas lamaran yang saya kirimkan. Apa boleh, buat, saya memang belum berminat menciptakan lapangan kerja. Ketika lamaran saya akhirnya direspon oleh pihak penyedia lapangan kerja, maka tindakan yang selanjutnya saya lakukan adalah mendatangi penyedia lapangan kerja untuk melaksanakan tes ataupun wawancara. Dikarenakan ketiadaan kemampuan mengendarai kendaraan bermotor, maka saya menggantungkan diri pada sistem transportasi umum yang beroperasi di daerah Jakarta dalam rangka mendatangi para penyedia lapangan kerja.

Untuk kalian yang mulai bertanya-tanya apa hubungan empati dengan curhat saya di atas, jangan khawatir. Sebentar lagi semuanya akan menjadi jelas. Sebelum saya pindah ke Yogyakarta, saya sudah cukup akrab dengan bis kota, mengingat bahwa hampir setiap hari saya menggunakan moda transportasi tersebut. Namun, akhir-akhir ini saya lebih tertarik menggunakan sarana Transjakarta dan Commuter Line karena saya bisa menghemat cukup banyak waktu dibandingkan ketika saya menggunakan bis kota. Kedua sarana transportasi ini dapat dikatakan selalu penuh pada jam-jam berangkat dan pulang kerja pegawai. Berdiri saja sulit, apalagi mendapat tempat duduk. Kecuali anda berangkat dari perentian pertama, sepertinya duduk adalah hal yang cukup mustahil. Tidak masalah untuk saya, karena meskipun berperawakan kecil, saya merasa cukup sehat sehingga berdiri selama 1-2 jam di kendaraan umum tidak terlalu mengganggu saya.

Hal yang menurut saya mengganggu justru adalah orang-orang yang kesulitan berdiri dan memberikan tempat duduk bagi orang yang lebih membutuhkan. Meskipun di dalam kereta dan bus Transjakarta jelas-jelas ada tulisan yang menyatakan untuk memberi prioritas bagi orang lanjut usia, orang diffable, wanita hamil, dan orang yang membawa balita, saya menyaksikan banyak orang nampaknya pura-pura tidak memahami himbauan tersebut. Banyak anak muda dengan perawakan sehat tidak mau berdiri dan memberikan tempat duduknya, bahkan ketika petugas sudah terang-terangan meminta mereka untuk berdiri dan memberikan tempat duduk.

Berdasarkan pemahaman saya respon alami manusia ketika melihat orang lain kesusahan (seperti misalnya melihat  orang usia lanjut yang kesusahan berdiri dalam bis yang penuh) adalah turut merasakan kesulitan tersebut. Karena semua manusia (dengan pengecualian mereka yang sosiopat tentunya) mempunyai kemampuan berempati. Kemampuan inilah yang menyebabkan kita tersenyum ketika melihat teman kita mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya atau berjengit ketika melihat jari ibu kita teriris pisau ketika memasak. Aneh ketika seseorang melihat kesusahan orang lain tapi memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.

Seperti halnya kebiasaan merokok, saya percaya bahwa keputusan untuk tidak melakukan hal yang benar dan baik ini merupakan kebiasaan yang dilatih. Bahasa kerennya acquired habit. Untuk sampai pada tahap dimana ia bisa dengan tenang mengabaikan penderitaan orang (sekecil apapun itu) saya percaya bahwa orang harus membiasakan diri untuk tidak merespon dorongan empatis dari dalam dirinya. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa orang-orang ini bukannya tidak punya empati, tapi karena kebiasaan, maka dorongan empatis dalam diri mereka sudah tidak berefek lagi. Keadaan ini yang kemudian saya sebut sebagai disfungsi empati.

Pertanyaannya: apakah kita rela masyarakat kita terjangkit disfungsi empati? Terus terang saya tidak rela. Bukannya saya merasa saya sudah selalu melakukan hal yang benar, tapi sepertinya tidak ada salahnya kita mengingatkan orang-orang agar peduli kepada keadaan di sekitarnya. Paling tidak itulah yang saya coba lakukan dengan menulis artikel ini. At the very least, marilah kita mencoba introspeksi diri dan terus menerus mengingatkan diri kita untuk tidak mengabaikan dorongan empati yang kita rasakan dan mulai mengurangi keegoisan kita masing-masing untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Friday, May 25, 2012

Persatuan dalam Perbedaan

Unity in Diversity. Frasa ini merupakan tema dari pentas seni yang digelar oleh SMA saya, lama berselang. Terjemahan lepas frasa ini dalam bahasa Sansekerta, Bhineka Tunggal Ika juga merupakan semboyan dari bangsa Indonesia. Frasa yang sederhana; hanya terdiri dari tiga huruf. Tapi untuk saya pribadi, frasa ini merupakan frasa dengan makna yang kuat dan juga indah, karena dalam frasa ini selain dari semangat persatuan yang jelas-jelas tersurat, juga terkandung semangat cinta kasih dan kerendahan hati. Cinta kasih yang menyebabkan kita mau melihat melintasi batas-batas perbedaan individu dan kelompok, serta kerendahan hati yang membuat kita mau meredam ego untuk kepentingan dan tujuan bersama yang jauh lebih besar.

Bangsa Indonesia yang terbentuk dari berbagai elemen menyediakan arena yang sempurna ketika ingin mewujudkan persatuan di dalam perbedaan. Beragam suku bangsa dengan kebiasaan, kebudayaan, dan pola pikir yang berbeda-beda di Indonesia di satu sisi memang membuat integrasi sebagai suatu bangsa menjadi suatu tantangan tersendiri. Tantangan yang terus menerus menuntut penanganan selama 67 tahun perjalanan bangsa ini. Saya pikir tantangan ini tidak akan pernah bisa sepenuhnya selesai. Apabila satu hal selesai, akan ada hal lain yang muncul. Karena itulah penanganan yang tepat dan cepat untuk setiap permasalahan yang ada menjadi satu-satunya cara untuk mencegah tantangan-tantangan ini bertumpuk menjadi tantangan yang lebih sulit diselesaikan.

Meski mungkin persatuan yang tercipta di negara ini masih punya banyak kekurangan di sana-sini, kenyataannya kita bertahan dalam banyaknya perbedaan dan dalam sekian banyak konflik yang muncul dari perbedaan tersebut. Tapi akhir-akhir ini saya mulai khawatir kalau-kalau bangsa ini akan gagal mempertahankan persatuannya, tidak hanya sebagai suatu negara, tapi yang lebih penting lagi sebagai suatu bangsa. Saya merasa masyarakat kita yang pada awalnya kental dengan suasana saling menghormati dan menerima antar individu dan antar golongan dan selalu mengedepankan sikap ramah kepada siapapun tak peduli latar belakangnya sekarang mulai diwarnai atmosfer curiga yang mengarah kepada xenophobia. Segala hal yang dilakukan oleh pihak lain mulai dilihat sebagai ancaman. Akibatnya, masing-masing kelompok melakukan segala cara untuk membentengi diri mereka dari ancaman pihak lain dan menciptakan batasan yang semakin jelas antara 'kita' dan 'mereka'. Padahal belum tentu ancaman tersebut nyata. Hal ini tentu akan melukai persatuan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini.

Yah, mungkin fenomena ini hanya merupakan salah satu dari tantangan yang saya sebutkan sebelumnya dan perlu diselesaikan oleh bangsa Indonesia. Saya jelas berharap bahwa tantangan ini akan dapat segera diselesaikan. Saya percaya bahwa persatuan yang kuat dan suasana nyaman yang sebelumnya saya rasakan di Indonesia dapat sekali lagi tercipta apabila setiap anggota masyarakat menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah merupakan suatu ancaman, tapi justru merupakan aset yang dapat memperkuat bangsa ini.

Sunday, May 20, 2012

Komunikasi Modern: The Good, The Bad, And The Ugly

Dalam rangka memperingati hari komunikasi sedunia yang jatuh pada hari ini, 20 Mei 2012, mari kita bicara soal komunikasi modern. Tapi pertama-tama, saya ingin membicarakan (atau menuliskan) mengenai elemen-elemen pembentuk frasa tersebut. Komunikasi dan modern. Komunikasi, derivasi dari kata communis yang artinya berbagi. Komunikasi sendiri merujuk pada proses berbagi informasi, atau lebih jelasnya proses pembagian informasi di antara dua pihak atau lebih. Kata yang kedua, modern berarti berhubungan dengan fenomena yang terjadi di masa kini. Bisa juga dikaitkan dengan penggunaan teknologi-teknologi dan metode-metode terbaru. Merujuk kepada kedua penjelasan tersebut, maka saya memahami komunikasi modern sebagai proses pembagian informasi antara dua pihak atau lebih yang terjadi di masa sekarang dan melibatkan penggunaan teknologi dan metode terbaru.

The Good
Komunikasi merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia. Secara pribadi, saya berpendapat bahwa proses komunikasi yang kita lakukan ikut mendefinisikan eksistensi kita sebagai manusia. Kerennya: communicatio ergo sum, atau gaulnya: nggak komunikasi nggak eksis. Kenapa? Karena tanpa berkomunikasi kita tidak didengar, dan tidak dikenal. Ketika kita berkomunikasi, kita membagi pikiran-pikiran kita dengan orang lain sehingga orang dapat mengerti dan memahami pemikiran dan sudut pandang kita. Begitu juga sebaliknya. Dalam rangka menjalin hubungan yang efektif dengan pihak lain, mau tidak mau kita harus bisa membangun proses komunikasi yang berjalan dengan baik (working communication process) dengan parapihak tersebut. Saya ambil contoh pasangan kekasih. Agar hubungan mereka bisa lestari, kedua belah pihak harus bisa berkomunikasi dengan baik satu sama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah hal yang baik, berguna, dan sangat penting untuk dipraktekkan dalam kehidupan manusia.

Begitu juga dalam konteks komunikasi modern. Proses komunikasi yang awalnya hanya bisa dilakukan secara langsung antara satu pihak dengan pihak lain yang bertatap muka--saya menafikkan kemungkinan adanya bentuk-bentuk komunikasi telepatis--telah berkembang seiring munculnya berbagai macam media penyampai informasi. Sebut saja telepon, media massa, sampai media-media lainnya yang ada di dunia maya. Keberadaan teknologi-teknologi ini membantu manusia berkomunikasi dengan menjadikan proses komunikasi semakin mudah, murah, dan cepat.

The Bad
Ada dua hal yang meresahkan saya terkait komunikasi modern. Pertama, Semakin banyak orang memahami komunikasi sebagai proses menyampaikan informasi, tapi melupakan bahwa komunikasi juga melibatkan proses menerima informasi dari luar. Maksud saya begini, semakin banyak orang merasa bahwa pendapatnya penting didengarkan orang lain, maka itu mereka sangat vokal dalam menyampaikan pendapat baik secara langsung maupun lewat 'wadah-wadah' seperti organisasi massa, partai politik, dan media sosial. Sayangnya, dalam usaha menyampaikan maksud mereka, mereka menutup mata, telinga, dan hati terhadap suara pihak lain. Akibatnya, tidak ada usaha memahami pihak lain, yang kemudian berimbas pada semakin banyaknya benturan-benturan antar pendapat dalam masyarakat. Sebut saja antara pihak yang menghujat dan mendukung kedatangan Lady Gaga ke Indonesia. Kedua belah pihak kekeuh dengan pendapatnya masing-masing tanpa sedikitpun membuka ruang untuk mencari jalan tengah, yang pastinya ada di suatu tempat. Dalam kasus ini saya cukup berdiri di samping arena menonton perdebatan seru kedua belah pihak sambil makan pop corn. Kalau ikut-ikutan takut kehabisan energi.

Kedua, semakin banyak orang terlena dengan indahnya fitur-fitur yang disediakan oleh teknologi komunikasi yang ada dewasa ini sampai mereka terputus dari kenyataan di sekelilingnya. Saya ngeri melihat anak-anak sekolahan yang tidak bisa meletakkan gadgets mereka, kecuali ketika tidur. Lebih ngeri lagi ketika yang melakukannya orang dewasa yang harusnya memberikan contoh kepada yang lebih muda. Saya sangat terganggu apabila orang memakai gadgets mereka ketika sedang berbicara secara tatap muka dengan orang lain, mengendarai kendaraan baik yang bermotor maupun tidak, di dalam pesawat terbang, dan juga di dalam rumah ibadah. Mengganggu, menyebalkan, bahkan berbahaya. Salah satu dari sekian keresahan saya dalam hal ini ditangkap secara apik oleh Mice dalam ilustrasinya yang ditayangkan di Kompas tanggal 13 Mei 2012 lalu. Coba anda lihat. Meresahkan bukan?

Gambar diambil dari alamat ini. Terimakasih kepada Mice
yang memberikan ijin memasang ilustrasinya di blog ini.

The Ugly
Nah, kalau kedua hal tadi belum cukup keterlaluan, mari kita tinjau kekacauan yang makin marak di dunia maya. Mungkin dikarenakan komunikasi via dunia maya tidak melibatkan pertemuan face-to-face orang mulai melupakan etika-etika komunikasi, yang sesungguhnya penting. Di dunia maya, orang tidak lagi merasa bersalah ketika memaki dan menjelek-jelekkan pihak lain, bahkan dengan menggunakan kata-kata yang menurut saya tidak beretika. Hal ini diminimalisir dalam komunikasi langsung, karena dengan cara ini pembicara harus siap menghadapi reaksi dari orang yang diajak bicara sehingga mereka harus pikir-pikir sebelum berbicara kepada seseorang. Takut konsekwensinya.

So...?
Komunikasi itu adalah proses yang sangat penting. Saking pentingnya maka harus dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab. Yang perlu diingat, komunikasi berarti berbagi, bukan cuma berbicara. Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip pesan dari Paus Benediktus XVI, "By remaining silent we allow the other person to speak, to express him or herself; and we avoid being tied simply to our own words and ideas without them being adequately tested." [Benedict XVI, 2012] Menyuarakan pendapat boleh saja, tapi kita harus tetap mencoba terbuka terhadap pendapat yang lain. Selamat hari komunikasi sedunia!

Friday, May 18, 2012

Religiusitas, Loyalitas, dan Nasionalisme

Beberapa tahun terakhir, tensi di antara umat beragama di Indonesia semakin meningkat. Saya pernah mendengar di salah satu mata kuliah yang saya ambil beberapa tahun yang lalu bahwa semakin meningkatnya interaksi lintas batas negara turut berkontribusi terhadap semakin menguatnya ikatan in-group, seperti misalnya kelompok kepentingan dan kelompok agama. Terkadang, menguatnya ikatan ini berakibat pada bergesernya loyalitas orang dari negara kepada agama. Paling tidak, loyalitas anggota masyarakat yang sebelumnya sebagian besar diarahkan kepada negara sebagian teralihkan kepada kelompoknya masing-masing. Meskipun bisa diperdebatkan, tapi mungkin bergesernya loyalitas ini juga berimbas pada semakin meluasnya radikalisme di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Meskipun fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kelompok-kelompok agama, namun kali ini saya akan memfokuskan tulisan saya kepada kelompok tersebut.

Tidak ada hal yang salah ketika seseorang memutuskan untuk lebih mendalami dan menghayati agamanya. Tidak ada yang salah juga ketika orang yang beragama memutuskan berkumpul dengan orang-orang yang beragama sama. Sebaliknya, hal itu sangat normal. Manusia memang punya kecenderungan nge-geng dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan dengan dirinya. Tidak percaya? Coba anda lihat anak-anak SMA. Saya juga sangat mengerti bagaimana orang yang berdedikasi tinggi dan percaya penuh kepada agamanya bisa mempunyai keinginan untuk membela dan menjaga nama baik agamanya. Wajar. Tidak salah. Bahkan perlu.

Lalu apa masalahnya? Masalahnya bermula ketika dalam mendalami agamanya, orang menjadi semakin terfokus pada perbedaan antara ajaran-ajaran dan dogma-dogma yang berlaku dalam agamanya dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama lain. Apalagi apabila perbedaan-perbedaan tersebut menjadi lebih penting baginya daripada nilai-nilai lain yang diajarkan agamanya yang (menurut saya) pastinya lebih indah. Beberapa tahun terahir, kita melihat banyak kasus dimana fokus pada perbedaan tersebut didukung oleh kesamaan pendapat dalam kelompok sampai berkembang menjadi obsesi, bahkan kemarahan yang dianggap perlu dimanifestasikan dalam kekerasan fisik. Nah, kalau sudah sampai di tingkat ini jelas menjadi masalah.

Sehubungan dengan loyalitas yang tadi disebutkan itu, masalah muncul ketika loyalitas terhadap kelompok membuat orang melupakan loyalitas pada bangsa dan negara. Negara punya peraturan yang penting ditegakkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan cuma sebagian. Mengingat negara, terutama Indonesia, tidak hanya dihuni oleh satu kelompok tapi oleh beragam kelompok yang mempunyai pemikiran dan kepentingannya masing-masing, misalnya keinginan dan kepentingan untuk beribadah sesuai dengan apa yang diyakininya. Tanpa mengganggu kelompok lain. Jaminan kebebasan dan hak yang disediakan oleh negara penting untuk diingat, dihormati, dan ditegakkan oleh semua pihak yang tinggal di lingkup negaa ini agar tidak ada pihak yang dirugikan, dan agar Indonesia tidak jatuh pada situasi chaos, bahkan ketika loyalitas orang terhadap agama mendorong sekelompok warga negara untuk bersikap lain.

Ini pendapat saya pribadi, tapi menurut saya tidak dihormatinya peraturan hukum yang berlaku ada hubungannya dengan semakin tipisnya nasionalisme warga negara akhir-akhir ini. Bukan berarti saya mendukung upacara seminggu sekali dan penyebaran doktrin P4 di kalangan anak SD, tapi saya yang apatis dan apolitis ini termasuk dalam kelompok orang yang berpendapat bahwa nasionalisme dan rasa cinta pada negara adalah hal yang penting untuk ditumbuhkembangkan. Karena orang yang mencintai negaranya tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara tersebut. Menurut saya sih.