Friday, March 29, 2013

All Marriage Are Equal

 "Profile pic-mu itu logo apa sih?"
"Supporting gay marriage, Mbak."
"Jadi kamu mendukung?"
"Iya."

Meskipun saya selalu merasa bahwa tidak ada yang salah dengan pernikahan gay, terus terang saya belum pernah memikirkan tentang hal ini terlalu mendalam. Lalu saya mendapat pertanyaan di atas. Saya paham bahwa menyuarakan dukungan terhadap LGBT pasti akan menimbulkan reaksi, bisa jadi berupa kemarahan, ketidaksetujuan, keheranan, atau bahkan dukungan. Minimal pasti ada pertanyaan 'kenapa'. Seperti saya bilang tadi, saya belum pernah memikirkan jawaban pertanyaan tersebut secara mendalam, jadi mungkin sekarang saat yang tepat untuk berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Barangkali di masa depan ada yang bertanya lagi.

Let's face it, mayoritas orang di dunia masih menganggap LGBT sebagai sesuatu yang asing, menakutkan, dan kotor. Bukan hal yang mengherankan sebenarnya, ketika sejak kecil kita diajarkan untuk mengalienasi kelompok ini. Saya beruntung punya orang tua yang mengajarkan saya untuk melihat bahwa kehidupan LGBT justru lebih sulit daripada orang kebanyakan. Bukan untuk mengasihani, tapi untuk menghargai perjuangan mereka sebagai manusia.

Bicara LGBT hampir pasti mengarah pada debat seputar religiusitas. Ajaran agama berperan besar dalam alienasi kelompok LGBT. Itu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Bagi saya, bicara agama berarti bicara interpretasi. Kita bisa saja menganut agama yang sama, membaca ayat yang sama, mendengarkan kothbah yang sama; tapi dalam pendapat saya, arti agama, religiusitas, dan spiritualitas tidak akan pernah sama bagi setiap orang, tidak peduli seberapa mirip mereka. Dalam interpretasi saya, agama membimbing saya untuk senantiasa berbuat baik, bukan karena ada balasannya, tapi karena berbuat baik adalah hal yang benar untuk dilakukan. Buat saya, agama mengajarkan saya bahwa Tuhan itu sempurna, dan segala ciptaannya ada untuk dicintai dengan segenap hati. Sulit memang melaksanakannya. Saya akan berbohong kalau mengatakan bahwa saya sudah berhasil melakukan ini. Tapi, ya, itu salah satu aspek agama buat saya.

Mencintai segala ciptaan dengan segenap hati. Buat saya hal ini masih mustahil dilakukan oleh manusia. Paling tidak, saya berusaha untuk memperlakukan manusia sebagai manusia. Berusaha mengenal seseorang sebelum menentukan bagaimana saya bersikap terhadapnya. Berusaha tidak memperdulikan identitasnya ketika berinteraksi. Sekali lagi saya tekankan, saya masih berusaha loh ya. Bukan berarti saya sukses melakukannya setiap saat. Saya pikir mustahil bisa menghargai orang sebagaimana adanya orang tersebut ketika kita secara sadar sudah menempatkan mereka dalam kategori bersalah. Berdasarkan pengalaman saya, kadang kesan pertama bisa sangat menyesatkan.

Mari bicara pengalaman saya soal dengan LGBT. Saya bertemu banyak LGBT dalam hidup saya, mulai dari yang tidak saya sadari, belum bisa terbuka, mau mengakui, sampai yang terlalu vokal perihal seksualitasnya. Satu hal yang saya sadari, mereka tidak jauh berbeda dengan teman-teman saya yang lain. Ada yang baik, ada yang tidak. Ada yang pengertian, ada yang menyebalkan. Sama seperti manusia lainnya. Kembali pada pengalaman saya dengan teman-teman LGBT, beberapa dari teman-teman terbaik saya LGBT. Banyak dari mereka adalah orang-orang yang mengagumkan. Beberapa bahkan jauh lebih religius dari saya. Saya tidak melihat alasan mengapa mereka tidak bisa mendapat hal yang sama dengan manusia lainnya. Bukankah yang ada adalah hak asasi manusia dan bukan hak asasi heteroseksual? Lalu dimana masalahnya?

Saya sangat percaya bahwa keputusan memilih pasangan adalah salah satu hak yang paling hakiki. Meskipun prakteknya seringkali berbeda, saya sangat sangat percaya bahwa setiap orang harus diberi kebebasan menggunakan pertimbangannya masing-masing dalam memilih pasangan dan diberi kebebasan untuk belajar dari akibat pilihannya tersebut. Orang di luar boleh memberi pertimbangan. Mereka juga harus siap memberi dukungan apabila ada hal yang salah. Tapi mereka tidak berhak mengambil keputusan bagi orang tersebut. Kalau argumennya kaum LGBT adalah pendosa, so what lah ya? Saya juga pendosa, dan saya mendapat hak tersebut. Kenapa mereka tidak? 

Thursday, March 7, 2013

A Promise Is A Promise

Hari ini adalah Hari Perempuan Internasional. Tema yang telah ditentukan untuk HPI tahun ini adalah “A promise is a promise: Time for action to end violence against women.” Menurut saya tema ini sangat sesuai dengan konteks saat ini. Di tahun 2012 ada banyak insiden kekerasan terhadap perempuan yang menangkap perhatian dunia internasional, mulai dari penembakan Malala sampai gang-rape di India.

Kekerasan terhadap perempuan sebenarnya merupakan masalah klasik; sayangnya hal ini juga merupakan masalah yang keras kepala. Segala daya dan upaya telah dikerahkan oleh orang-orang yang peduli pada isu ini, tapi sampai saat ini kekerasan terhadap perempuan masih merajalela di seluruh dunia. Isu ini bahkan tampak berkembang secara kuantitas dan kualitas. Hal ini belum tentu berarti hal buruk. Kenyataan bahwa semakin banyak insiden kekerasan terhadap perempuan yang terdokumentasi menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyadari buruknya kekerasan terhadap perempuan; dan juga mulai berani mengambil tindakan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian, perjalanan untuk membebaskan perempuan dari kekerasan masih panjang.

Hal yang menurut saya membuat kekerasan terhadap perempuan sulit sekali diberantas adalah karena akar permasalahan ini terletak di tempat yang sangat privat, yaitu di dalam pikiran manusia. Argumen yang dibangun perlahan selama bertahun-tahun oleh the so-called society membuat orang-orang secara tidak sadar menempatkan perempuan sebagai second-class citizen di dalam pikiran mereka. Akibatnya, hal ini terpancar dari tindakan mereka sehari-hari. Selama perempuan tidak dianggap mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki sebagai manusia, maka tindak dehumanisasi terhadap mereka akan tetap terjadi. After all, bagaimana kita bisa menghargai pihak yang kita pandang lebih rendah?

Persepsi inilah yang menurut saya perlu diubah sebelum kita bisa mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Bukannya saya menyederhanakan masalah, tapi saya merasa setiap penyelesaian yang tidak menyentuh akar permasalahan hanyalah pengobatan simptomatik yang tidak akan bertahan. Untuk bisa melakukan ini dibutuhkan usaha ekstensif dan tenaga yang tidak sedikit. Kenyataannya ada banyak pihak yang merasa bahwa mempertahankan persepsi ini lebih menguntungkan daripada mengubahnya; dan bukan hanya laki-laki, banyak perempuan juga merasa seperti ini.

We don't have to be a Greek goddess
to fight violence against women


Sembari kita melakukan usaha-usaha mengubah mindset dan menunggu hasilnya, pengobatan simptomatik menjadi solusi yang superfisial, namun sangat diperlukan. Salah satu hal yang menurut saya penting dilakukan adalah menetapkan dan menegakkan rule of law dengan tegas agar bisa memberikan perempuan perlindungan terhadap kekerasan. Indonesia sudah lama meratifikasi CEDAW, tapi sampai saat ini aturan-aturan perlindungan perempuan yang berlaku di Indonesia juga tampaknya masih menyediakan banyak loophole untuk pelaku kejahatan. Belum lagi aparat yang terkesan enggan untuk menindaklanjuti pelaporan-pelaporan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kedua hal ini diperparah lagi oleh masyarakat yang, entah kenapa, seringkali membela pelaku kejahatan menyudutkan korban kekerasan terhadap perempuan. Ketika bahkan untuk mengobati gejala penyakit saja kita enggan, apakah merupakan hal yang aneh kalau penyakit kita tidak kunjung sembuh?

Akhirnya, dalam semangat HPI, saya ingin menyerukan bahwa meskipun berat, perang melawan kekerasan terhadap perempuan adalah perang yang harus kita menangkan. Karena itu kita harus terus mengingatkan diri kita untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di dunia internasional, negara, komunitas, rumah tangga, dan, yang paling penting, dalam pribadi kita masing-masing. After all, a promise is a promise, and commitment to fulfill it is more important than making it.

-----------------------------------------------
~ Picture of Pallas Athena were taken from this site.