Wednesday, July 2, 2014

No Man Fits to Rule The World Alone

Pagi ini saya membaca status salah seorang teman di Facebook yang berbunyi demikian: "10 orang pengacau mati demi menjaga 250jt jiwa saya rasa tindakan yg sangat tepat daripada pengacau ini dibiarkan hidup tapi kedaulatan nkri terancam..bersyukurlah karna masih bisa tinggal di negara yg aman..mencak2 tanpa tau yg sebenarnya..fitnah dimana2 waww..sesungguhnya negara kita terancam jika manusianya dibutakan media yg di sokong asing yg memang mengincar sda kita.." dan saya jadi tergerak untuk menulis. Menurut saya menarik ketika di masa sekarang, dengan segala kemajuan yang telah dicapai di area Hak Asasi Manusia, masih ada pendapat-pendapat semacam ini. Tidak salah, karena semua orang punya hak berpendapat. Personally, I believe that some people are better off dead. I'm just glad that it's not up to me.

Capital Punishment
Saya pikir ada dua hal yang membuat argumen teman saya ini terkesan ignorant (cuek, abai) di mata saya. Pertama, Indonesia adalah negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Kenyataannya, tanpa perlu pemimpin yang militeristik (dan saya katakan militeristik karena beliau sebenarnya tidak lagi merupakan bagian dari militer) kita sudah mempunyai mekanisme untuk mematikan 'pengacau'. Mekanisme ini dijamin dan diatur dalam undang-undang. Ada parameter yang (lumayan) jelas mengenai siapa saja yang bisa dibunuh demi kebaikan bangsa dan warga negara lainnya. Meskipun passion saya terletak di studi perdamaian, jujur, saya tidak keberatan dengan capital punishment. As I said earlier, I believe that some people are better off dead.


No! No! No! Human sacrifice is NEVER necessary!*
Meskipun demikian, ada garis tipis tapi esensial yang membedakan antara capital punishment dalam pemerintahan yang demokratis dan diktator. Garis tipis ini direpresentasikan dalam sistem peradilan. Dalam demokrasi, orang punya hak untuk mendapat persidangan yang adil, punya hak untuk menceritakan kisahnya dan berargumen untuk keselamatan jiwanya. Dalam pemerintahan yang diktator (apalagi ketika yang jadi diktator punya kecenderungan tirani dan megalomania), hak ini tidak ada. A handful of people holds the trigger, and they can shot at will. Mereka bisa menggunakan alasan apapun untuk menjustifikasi tindakannya, tapi tanpa mengikuti mekanisme hukum yang berlaku, it all comes down to 'pengen aja'.

Kalau kata Ace of Bace "no man fits to rule the world alone," pertanyaan saya, apakah ada orang yang cukup beneficent, cukup 'lurus', untuk diberi kekuasaan itu? Menentukan siapa yang layak diselamatkan dan siapa yang layak dibunuh? Saya pikir tidak ada, dan tidak akan pernah ada. Kenapa? Because it's human nature to be subjective. Yang baik bagi satu orang tidak mungkin baik bagi semua orang. Karena itulah kita punya peraturan hukum dan perundangan. Jadi isu sesungguhnya bukanlah memilih pemimpin bertangan besi, tapi penguatan (dan di saat yang sama pembersihan) mekanisme hukum dan perundangan. 

Ignorance is Bliss
Hal kedua yang menunjukkan betapa abainya teman saya terletak di frasa kedua dan ketiga: "bersyukurlah karna masih bisa tinggal di negara yg aman..mencak2 tanpa tau yg sebenarnya.." Kenyataannya, ignorance is bliss. Lebih mudah (dan nyaman) ketika kita tidak tahu apa-apa. Tapi saya tidak percaya kalau ketidaktahuan (dan derivatnya yaitu kebodohan) adalah sesuatu yang harus kita syukuri. 

Informasi adalah kekuatan, dan dengan demikian disinformasi dan misinformasi adalah kelemahan. Kenyataannya, salah satu hal yang menyebabkan setiap orang bisa mengeluarkan pendapatnya di dunia maya adalah kenyataan bahwa saat ini di negara kita orang bisa bebas berbagi informasi. Dua hari yang lalu teman saya yang berpengalaman menjadi mahasiswa di masa Orba berbagi bagaimana dia di kampus tidak bisa bebas bercerita apa yang dia rasakan, bahkan kepada teman-teman yang biasa bergaul dengannya. Kenapa? Karena sedikit salah bicara, mahasiswa di masa itu bisa hilang ditelan bumi. 

Is this what we really want? Really?**
Apakah keadaan seperti ini benar-benar lebih baik daripada kebebasan yang chaotic seperti sekarang? Orang dipaksa menjadi bungkam dan submisif? Kalau menurut status teman saya sih iya. Tapi teman saya lupa bahwa pengertian 'pengacau' bisa digunakan dengan sangat bebas di tangan tiran. Kita lihat Widji Thukul yang sampai saat ini masih 'hilang'. Beliau hanya orang yang frustrasi dengan keadaan di sekelilingnya dan menyuarakan rasa frustrasi itu ke dalam syair. Kekacauan riil apa yang sesungguhnya dia ciptakan? Kalaupun ada, paling di ranah ideologis. Apa orang layak dibunuh karena punya pemikiran? Apa keluarganya layak tidak diberi penjelasan dimana dia berada? Saya pikir tidak perlu jadi orang pintar untuk menjawab pertanyaan ini. Cukup jadi orang yang punya hati. 

It's A Strange World After All
Tahun 1998 banyak teman saya dan keluarganya lari ke luar negeri karena mereka merasa terancam keselamatannya. Anda bisa berargumen kalau yang terjadi saat itu tidak seperti yang diekspos oleh media. Bahwa media mem-blow up kejadian sesungguhnya. Kenyataan yang saya lihat sebagai anak SD yang menemani Mama ke gereja saya saat itu adalah, banyak orang mencari perlindungan di Gereja. Beberapa dari mereka terluka secara fisik. Banyak teman saya lari ke luar negeri. Kakak saya yang berwajah mirip etnis Tionghoa ketakutan untuk keluar rumah. Keluarga saya takut tiba-tiba ada yang menuduh kami sebagai dukun dan mengirim massa ke pintu rumah kami. Itu kenyataan yang saya lihat dan rasakan pada saat itu. Saya minta jangan mengecilkan ketakutan yang kami rasakan, karena itu nyata buat kami. 

Pada suatu masa yang belum terlalu jauh dari saat ini, segelintir orang menciptakan common enemy dalam rangka melegitimasi kekuasaannya. Demi untuk bisa memperpanjang eranya sedikit lebih lama lagi. Dan pada saat itu, banyak orang terpengaruh dan mempercayai logika kacau yang ditawarkan sedikit orang ini. Kecenderungan yang saya lihat akhir-akhir ini, ada pihak-pihak yang menggunakan pola kampanye yang sama, dan banyak orang menelan mentah-mentah 'fakta' yang disodorkan tanpa repot-repot mencerna lebih lanjut. Karena itu saya menulis hal ini. Karena rupanya banyak orang sudah lupa masa-masa itu. Mungkin karena mereka ada di pihak oppressor, bukan di pihak oppressed.

Tulisan ini terkesan terlalu personal? Ya, karena ini blog personal. Saya bisa menulis apa saja, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan apabila saya lahir beberapa tahun lebih awal. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pemilihan Presiden kali ini menyebalkan karena orang cenderung untuk mengatakan 'jangan pilih ini karena...' daripada 'pilihlah ini karena...' Saya mengakui, saya juga menggunakan pola pikir ini dalam pilpres kali ini. Ketika anda menghadapi masa paceklik dimana tidak ada makanan, dan anda ditawari dua pilihan: yang satu ikan busuk dan yang satu ikan yang tidak terlalu segar tapi masih layak makan, apakah anda akan memilih ikan busuk? Saya pikir tidak. 

Terus terang, saya tidak mengawali tulisan ini sebagai usaha berkampanye untuk salah satu capres, tapi saya tidak bisa menghindari ketika tulisan ini jadi condong menjadi dukungan untuk salah satu pihak. Toh Desmond Tutu pernah bilang "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality." Salam dua jari. (^.^)V

------------------------------------------------------------------
* Picture of "Freedom of Worship" was drawn by Tony Auth and can be found here
** Picture of king was taken from this page.