Wednesday, October 22, 2014

Konsumerisme dan Insecurity

Hari ini ada dua topik yang menarik perhatian saya. Topik pertama muncul ketika saya sedang mengobrol ngalor-ngidul dengan beberapa teman kantor saya, yaitu tentang konsumerisme. Ceritanya temannya teman saya menulis disertasi yang didalamnya menyinggung tentang bagaimana di masa sekarang, kebutuhan manusia sebagai homo economicus sudah bergeser dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar ke arah pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat rohaniah, yang menyangkut prestise.

What Drives Us to Buy
Lucuk sih. Banget sih. Tapi kok...*
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sulit bagi orang di masa sekarang untuk menyaksikan perwujudan fenomena ini. Orang rela antri berjam-jam, bahkan berhaari-hari untuk mendapatkan iPhone 6 atau untuk memborong perabot impor dari Skandinavia di toko yang baru buka di bilangan Alam Sutra sana.

Saya bukannya tidak paham keinginan memiliki barang yang hip dan trendi, tapi saya adalah orang yang sangat praktis. Most of the time, sebelum saya melakukan sesuatu, saya bertanya pada diri saya sendiri: apakah usaha yang saya keluarkan sebanding dengan potential gain yang akan saya dapat? Dan untuk saya, mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk sepasang sandal atau antri berjam-jam untuk mendapatkan sebuah barang (yang untuk saya berarti menghadapi risiko pingsan karena dehidrasi atau darah rendah) bukan usaha yang sebanding.

Salah satu hal yang tadi sempat kami diskusikan mengenai konsumerisme adalah bagaimana brand besar, dengan segala upaya advertising dan marketingnya, telah dengan sukses mengkondisikan pemikiran kita untuk mengasosiasikan simbol-simbol tertentu dengan sensasi tertentu. Contoh yang tadi kami bicarakan sih bagaimana ketika kita melihat double arch warna kuning kita akan langsung berpikir soal makanan, di tingkat lumayan parah bahkan sampai langsung merasa lapar ketika melihat logo tersebut.

Apa artinya? Berarti meskipun kita percaya bahwa kita punya free will, secara tidak sadar kita sudah dikondisikan dan diarahkan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu. Dengan kata lain, sebenarnya keputusan-keputusan yang kita ambil ya dipengaruhi konstruk yang setiap hari membombardir kita dari segala arah, dan free will jadi sebatas ilusi semata.

Tapi mungkin terlalu jauh ya, kalau mengasumsikan seperti itu. Jadi mari sementara kita tinggalkan dulu perdebatan mengenai seberapa nyata free will yang kita miliki dan beralih ke topik menarik nomor dua: Renée Zellweger.

You Had Me At Hello
Generasi 90an pasti kenal nama ini. Berbeda dengan artis kebanyakan, Renée bagaikan angin segar karena dia merepresentasikan perempuan biasa--common woman. Renée tidak mempunyai wajah aristokrat seperti Nicole Kidman atau badan bombshell seperti Monica Belluci. She was a typical girl next door dengan wajah yang tidak ditutupi make up berlebihan dan badan yang tidak sempurna menurut standar masyarakat yang agak kacau. Meskipun perlu diakui bahwa tetangga saya mukanya juga nggak ada yang seperti beliau sih.

Senyum itu. Baju putih itu.**
Anyway, most of us have come to love sweet little Renée. Karena itulah hari ini banyak orang terkejut melihat foto-fotonya ketika menghadiri acara Elle. Wajah Renée Zellweger berubah drastis. Banyak spekulasi kemudian muncul mengenai apa yang telah dilakukan Renée pada wajahnya. Salah satu artikel yang saya temukan bahkan membayar dokter bedah plasstik unuk menganalisa prosedur apa saja yang telah dilakukan oleh Renée pada wajahnya. Botox dan eyelift, kata dokter bedah itu.

Insecurity, Thanks to Society
Saya tidak tahu apakah asumsi tadi benar. Terus terang saya tidak terlalu peduli. Renée Zellweger adalah perempuan dewasa yang bisa memutuskan sendiri apa yang ingin dia lakukan pada tubuhnya. Apapun yang telah dia lakukan, itu haknya. Just to be fair, beliau menyatakan bahwa perubahan di wajahnya adalah hasil dari "happy, healthy lifestyle."

Tapi mari tidak terpaku pada nona yang diasosiasikan dengan Bridget Jones ini. Mari bicara tentang hal lain: insecurity. Terus terang saya agak sulit mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, karena tampaknya 'perasaan tidak aman' kurang berhasil menangkap urgensi yang ingin saya sampaikan. Jadi kita gunakan kata insecurity saja lah ya.

Insecurity adalah hal yang mengerikan. Dia bisa memaksa orang merubah gaya berpakaian, bentuk wajah, sampai cara bersikap; demi menyenangkan pihak lain. L'enfer, c'est les autres, kata Sartre pada suatu masa. Neraka adalah orang-orang lain. Menurut saya sih kutipan ini luar biasa mengena di hati ya. Insecurity muncul karena ada ekspektasi. Ekspektasi ini dipaksakan oleh masyarakat pada setiap orang, sampai ia berhasil merubah persepsi kita akan diri kita sendiri. Menimbulkan perasaan bahwa ada yang salah dengan diri kita, dan dengan demikian maka kita perlu merubah aspek-aspek tertentu dari keberadaan kita.

Absurd memang, tapi sangat nyata. Saya merasakan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. For some reasons, masyarakat (secara kolektif) meyakini bahwa mereka punya hak untuk mengatur orang lain sesuai keinginan mereka. Bodoh, tapi sayangnya juga keras kepala. Apabila seorang individu tidak cukup kuat menangkal tekanan masyarakat ini, dan tekanan ini bukan hal yang mudah untuk ditangkal, maka individu ini akan hancur tergerus ekspektasi massa.

"I'm Gonna Live My Life, But Not The Way You Want Me To"
Nah kalau saya yang bukan siapa-siapa ini saja bisa merasakan tekanan luar biasa dari masyarakat sampai dengan sukses membuat saya jengkel luar biasa, coba bayangkan yang dirasakan oleh artis Hollywood yang seratus juta kali lebih terkenal dari saya.

Budaya konsumerisme yang sama telah membuat mayarakat yang terekspos dengan film-film Hollywood mengasosiasikan artis tertentu dengan imaji tertentu. Karena itulah meskipun masyarakat jelas tidak punya hak sama sekali mengatur bagaimana idolanya harus tampil dan membawa diri, but they can't help it. Mereka punya ekspektasi, dan di masa yang kaya jalur informasi tapi minim etika ini, mereka tidak keberatan menyerang objek ekspektasi mereka dengan terang-terangan. Orang-orang bertindak kejam bahkan tanpa menyadarinya. Padahal gara-gara tekanan yang muncul dari mereka jugalah banyak artis merasakan insecurity yang memaksa mereka untuk berubah.

Jadi, bagaimana ya... Meskipun saya tidak setuju merubah penampilan dengan drastis karena tuntutan orang lain, tapi saya paham sekali kenapa orang-orang bisa melakukan hal tersebut di bawah tekanan. Jadi saya merasa tidak punya hak mengritik hal-hal yang dilakukan orang lain sebagai akibat dari tekanan masyarakat tersebut. In a way, jadi merasa sedikit bisa memaklumi teriakan minta tolong Britney Spears, Lindsay Lohan, dan Miley Cyrus dalam lagu-lagu mereka dan terutama tindakan mereka.

Be Kind, Rewind
That being said, saya mau mengajak semua yang membaca tulisan ini to please just be kind. After all, everyone is fighting their own battle, yang mana tidak bisa dibandingkan dengan masalah orang lain. Meskipun sulit, mari sama-sama belajar menyadari bahwa kita tidak punya hak untuk menuding dan menghakimi tindakan orang lain; karena seberapapun sulitnya kita pahami, setiap masalah yang dihadapi setiap orang itu nyata, dan setiap orang punya toleransi yang berbeda-beda terhadap masalah.

---------------------------------------------------------
* ARKELSTORP by IKEA, diambil dari www.ikea.com
** Diambil dari poster Jerry Maguire

Saturday, September 20, 2014

Damai adalah...

Tanggal 21 September adalah hari yang sangat dekat di hati saya. Tidak hanya karena Earth Wind and Fire menyanyikan lagu tentang malam ke-21 di bulan September, tapi juga karena hari ini ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Internasional oleh PBB. Sejak tahun 2005, secara konstan saya selalu mengadakan perayaan khusus di tanggal ini, meski dengan bentuk yang berbeda-beda.

Tahun ini, teman-teman saya di Yogya mengadakan inisiatif daring dan mengajak pengguna twitter untuk membagi pendapat mereka tentang perdamaian dengan menggunakan tagar #damaiadalah. Dari tweet-tweet yang saya lihat sejauh ini, kebanyakan sifatnya sangat personal dan aplikatif. Kebanyakan menyangkut kehidupan pribadi: seputar sekolah, kerja, pergaulan, dan keluarga. Sedikit sekali yang membicarakan soal konsep.

Speaking of which, perdamaian adalah konsep yang luas. Tergantung di level mana kita bicara, pembahasan mengenai perdamaian bisa jadi sangat berbeda satu dengan lainnya. Tapi hari ini saya ingin bicara tentang perdamaian di unit yang terkecil: diri sendiri. Bagi saya, seperti halnya kebahagiaan, peace is a state of mind. Segala sesuatu dimulai dari diri sendiri, tak terkecuali perdamaian. Saya pikir seseorang tidak mungkin bisa benar-benar memulai diskusi tentang perdamaian sebelum dia sendiri meyakini pentingnya perdamaian. Saya pikir setiap orang sampai taraf tertentu mengusahakan perdamaian. Hanya saja, bagaimana seseorang membentuk perdamaian di sekelilingnya akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia melihat perdamaian.

Bagi saya, perdamaian adalah kebebasan untuk melakukan sesuatu yang secara jujur terasa benar. Saya termasuk orang yang meyakini keberadaan hati nurani; dan hati nurani tidak pernah bohong. Kita bisa saja menggunakan rasionalisasi untuk membungkam suara hati, tapi deep down inside, kita akan tahu ketika kita melakukan hal yang salah. Saya selalu berusaha jujur pada diri sendiri. Salah satu indikator yang jelas apabila saya melakukan kesalahan adalah ketika saya merasakan kebutuhan untuk menyembunyikannya. Ketika saya merasa perlu berbohong, ketika itulah saya tahu yang saya lakukan salah.

Bagi saya, perdamaian adalah menyadari bahwa kita semua sama-sama manusia. Perdamaian terjadi ketika setiap manusia memperlakukan semua manusia lainnya sebagai manusia, tanpa mempertimbangkan embel-embel identitas yang melekat padanya. Mengutip salah satu filsuf terbesar sepanjang masa, "Do unto others what you would have others do unto you." Terdengar simpel, tapi sebenarnya sulit sekali. Karena di dalamnya tersirat pesan-pesan kesetaraan, keterbukaan pikiran, dan kerendahan hati.

Bagi saya, perdamaian adalah menyayangi diri sendiri. Menyayangi di sini bukan dalam konteks narsisistik, tapi bagaimana kita bisa berdamai dengan segala kelebihan dan kekurangan kita. Hal ini terutama sulit karena kita hidup di dalam masyarakat yang punya kecenderungan untuk menghakimi. Apapun yang kita lakukan, masyarakat akan selalu menuding kita punya kekurangan. Langkah pertama yang harus kita ambil dalam rangka menyayangi diri sendiri adala belajar untuk mengabaikan suara-suara negatif ini dan menyadari bahwa kita sempurna dalam segala ketidaksempurnaan kita.

Bagi saya, perdamaian adalah membagikan cinta kepada dunia. First and foremost, manusia harus punya kemampuan menerima dan memberikan kasih sayang. Salah satu cara membuat dunia yang lebih baik adalah dengan memastikan bahwa segala perilaku dan perkataan kita dilandasi oleh kasih pada diri sendiri, sesama, dan lingkungan di sekitar kita. 

Bagi saya, perdamaian adalah kemampuan meresolusi konflik, serta kedewasaan untuk menghindari eskalasi konflik yang tidak diperlukan. Konflik adalah bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik ada sebagai buah dari pemikiran kritis untuk mendorong perubahan yang lebih baik dalam masyarakat. Bagaimana seseorang mengelola konflik akan menentukan perubahan yang terjadi dalam masayarakat.

Kira-kira demikian perdamaian menurut saya. Jujur, saya saat ini tidak punya kemampuan untuk sepenuhnya melaksanakan hal yang saya tuliskan di atas, but I constantly thrive to do the best I can to make the world a more peaceful place. Bagaimana dengan anda?

Saturday, August 30, 2014

Our Love of Negativity

Do you know that our brains are hardwired to response instantly and more profoundly to negativity? Fenomena ini bahkan punya nama: Negativity Bias. Serius! Saya tidak mengada-ada. Kalau tidak percaya, silahkan buka tautan berikut ini. Konon katanya bias terhadap negativitas ini terbentuk dalam rangka melindungi kita dari hal-hal buruk.

Kemungkinan besar otak kita jadi seperti ini untuk
mengakomodasi kebutuhan Link dan kawan-kawannya
untuk bertahan hidup.
Bayangkan kita hidup dalam konteks prehistorik, dimana ada banyak ancaman fisik mengintai di segala tempat; dan di sisi lain, hanya sedikit mekanisme pertahanan eksternal. Untuk mempertahankan diri, manusia kemudian mengembangkan reflek untuk merespon negativitas di sekitarnya secara instan. Masuk akal, sebenarnya. Tapi mengingat alam semesta selalu menemukan cara untuk menyeimbangkan segala hal yang ada, this superpower of ours comes with a catch.

Karena otak kita secara alami lebih mudah merespon negativitas, akibatnya hal-hal negatif yang kita dengar dan kita rasakan akan cenderung punya akibat yang lebih besar pada diri kita.Mungkin hal ini yang menyebabkan depresi menjadi masalah yang besar dan sulit ditangani dalam masyarakat kita.

My Own Personal Demon
Saya ingin berbagi mengenai bagian hidup saya belum lama berselang yang jarang sekali saya bagi dengan orang lain. Yaitu ketika saya pikir saya merasa depresi. Saya tidak pernah secara klinis didiagnosa mengidap depresi. Simply, karena ketika itu saya tidak pernah mencari bantuan klinis. Back then, I did not know any better. Tapi, for the sake of good storytelling, mari sejenak kita setujui bahwa yang saya alami ketika itu bisa masuk ke dalam kategori depresi.

Saya tidak ingat kapan pastinya, tapi depresi saya ketika itu berangkat dari perasaan inkompeten. Saya adalah mahasiswi semester akhir yang seharusnya membuat tugas akhir kuliah saya. And I was not performing as well as my peers did. Saya memang bukan orang yang luar biasa cemerlang secara akademik. Tapi di sisi lain, sampai saat itu saya juga tidak pernah mengalami kegagalan akademik. Segala hal yang saya lakukan selalu mendapat apresiasi yang saya anggap sesuai dengan usaha yang saya keluarkan. Dan saat itu, ada masanya saya merasa bahwa hasil yang saya capai tidak sebanding dengan apa yang saya usahakan. Dan entah kenapa, itu justru membuat saya berhenti berusaha.

Mungkin kesannya manja, dan mungkin memang benar ketika itu saya manja. Tapi perasaan inkompeten yang ketika itu saya rasakan nyata. Begitu nyata sampai saya menarik diri dari lingkungan saya. Saya berhenti menghabiskan waktu dengan teman-teman; menghindari interaksi dengan orang-orang yang saya kenal; baik secara fisik maupun virtual; dan menghabiskan sebagian besar waktu saya di kamar kos berukuran 3x3, hanya keluar ketika waktunya makan atau ketika saya kehabisan stok komik. Itupun tidak selalu. Saya berhenti merasakan. Saya kehilangan kemampuan untuk merasa senang maupun sedih. Yang ada hanya perasaan bosan luar biasa. Selama kurang lebih tiga tahun, I live my days just for the sake of surviving until the next day. Berlebihan? Ya, saya tahu. Sayangnya itulah yang saya rasakan ketika itu, dan selama kurun waktu tersebut, saya benar-benar tidak mampu untuk mengangkat diri saya keluar dari perasaan negatif yang saya rasakan.

At the end of the day, you must face your depression
alone, as people can only do so much.
In retrospect, ketika itu saya sebenarnya relatif tidak punya masalah. Dan saya ketika itu sadar benar akan hal tersebut. Saya pikir justru kesadaran tersebut yang membuat masa-masa itu semakin berat. I realise that I am still the same blessed person I was when I am happy, but somehow I can't afford to bring myself to that state of happiness again.

Orang-orang berusaha membantu saya dengan kalimat-kalimat penyemangat mereka. But they have their own life, and they can only sympathise so much. Lagipula, setiap kata positif yang mereka katakan pada saya justru membuat saya merasa semakin gagal sebagai manusia. Ibarat terang lilin, kata-kata mereka semakin menunjukkan kegelapan yang ada di dalam hati saya (OMG, bahasanya... Pliss deh...).

Saya tidak yakin kapan dan bagaimana pastinya, tapi somehow saya berhasil keluar dari kegelapan tersebut. Saya yakin bahwa a big part of that is because of the people that refused to leave me alone, even when I tried so hard to push them away. Salah satu hal yang saya rasa juga sangat membantu saya adalah kepindahan kakak saya ke kota tempat saya tinggal. Somehow, in a weird kind of way, she made me feel that I have someone watching over me. As uncomfortable as it was, it helps

Saat ini, saya baik-baik saja. Tapi saya masih berusaha setiap hari untuk tidak jatuh lagi seperti saat itu. Saya orang yang menjalani keseharian dengan relatif gembira, tapi itu karena saya harus mengingatkan diri saya setiap hari untuk fokus kepada hal-hal yang membahagiakan. I need to constantly try to be the best version of me. Karena sekali saya lengah, my old demon would come back and haunt me. Untuk saya, hal yang paling sulit dihadapi adalah apabila teman-teman saya sedang menceritakan kegiatan yang mereka lakukan selama saya menarik diri. Knowing that I wasn't there to share their laughter really hurts, untungnya sejauh ini sisi logis saya masih bisa mengalahkan sisi emosional saya.

Oh, Society...
Anyway, enough about me. Alasan saya membagikan pengalaman tersebut adalah karena akhir-akhir ini saya merasa masyarakat menjadi sangat judgemental. Baru-baru ini salah satu aktor paling luar biasa di dunia ini ditemukan meninggal. Beliau dicurigai bunuh diri atas karena depresi. Banyak komentar mengalir, kebanyakan mempertanyakan: "Kok bisa-bisanya orang yang dilimpahi keberkahan seperti beliau depresi?" dan tidak sedikit yang menyalahkan beliau karena bunuh diri. Untuk saya, pertanyaan tersebut tidak relevan. You can have everything there is to have in this world and still be depressed. Saya ketika itu tidak kekurangan apapun. Setidaknya saya pikir demikian. Tapi saya masih bisa tuh kehilangan kemampuan saya merasakan.

It does not matter if it does not make sense to you. What depressed people feel in times of their depression is real, and that is the only thing that matters. Depresi adalah suatu hal yang sangat personal, dan orang lain tidak punya hak menilai, karena mereka tidak mungkin bisa memahami apa yang dirasakan seseorang ketika depresi. Jangankan orang lain, lha wong yang depresi aja bingung apa yang mereka rasakan kok.

Saya pikir masyarakat kita harus belajar untuk lebih sensitif. Lebih dari dua dekade saya hidup di Indonesia, saya merasa masyarakat negara ini in a way sama sekali tidak sensitif. Saya pernah bertemu dengan seorang yang pada suatu masa sekolah di tempat saya bersekolah. Saya tidak dekat dengan beliau, dan itu pertama kalinya saya bertemu dengannya setelah bertahun-tahun. Berikut pembicaraan yang saya alami dengannya:

"Hai! Kamu kurus banget sekarang!"
"Hahaha.. Dari dulu bukan aku kurus?"
"Iya, tapi beneran deh, kamu kurus banget. Kamu nggak papa kan?"
"Nggak papa, justru sekarang lagi sehat banget tuh!"
"Serius kamu nggak papa? Kurus banget loh, kamu kayak sakit deh."
"Nggak papa, bener kok. Orang dari dulu juga begini."

And the repetitive conversation lasted for about two agonising minutes. Dia minta kami bertukar nomor. Saya pura-pura mencatat nomornya dan berjanji akan me-miss call. Tidak saya lakukan. Sebagai orang yang kurus menurut standar manusia yang merasa normal, saya sering mengalami kejadian seperti ini. Saat ini saya sudah bisa cuek, tapi ada masanya hal ini sulit saya terima. I was not always as confident as I am now. There were times when I have serious confidence issue, and these comments did not help me at all.

Mungkin agak judgemental kalau saya menyatakan bahwa komentar-komentar sedemikian merupakan proyeksi dari personal failure seseorang. Tapi saya yakin komentar-komentar sedemikian tidak berangkat dari kebaikan hati. Meskipun anda berhasil meyakinkan diri anda bahwa komentar-komentar anda adalah buah kepedulian; IMO, that's a big pile of shit. Kenyataannya, mendiskreditkan orang lain memang bisa membuat anda merasa lebih baik mengenai diri anda sendiri. Dan itulah yang anda lakukan setiap kali berkomentar soal seseorang.


Yang perlu anda ingat adalah, di saat yang sama komentar anda (tidak peduli seberapa harmless komentar tersebut menurut anda) akan mempunyai efek negatif pada penerima. Bahkan mungkin sampai pada taraf ekstrim. So please, people, be kind. And keep your opinion to yourselves. You never know what a person is struggling with and how your negative remarks can influence them, even when you think it's not negative. Akhir kata, mengutip kata-kata Dalai Lama, "Be kind whenever possible. It is always possible."

---------------------------------------------------------
* Gambar pertama: Brendan Fraser dalam film Encino Man, 1992. 
** Gambar kedua diambil dari laman berikut ini.
*** Gambar ketiga diambil dari laman  berikut ini.

Wednesday, July 2, 2014

No Man Fits to Rule The World Alone

Pagi ini saya membaca status salah seorang teman di Facebook yang berbunyi demikian: "10 orang pengacau mati demi menjaga 250jt jiwa saya rasa tindakan yg sangat tepat daripada pengacau ini dibiarkan hidup tapi kedaulatan nkri terancam..bersyukurlah karna masih bisa tinggal di negara yg aman..mencak2 tanpa tau yg sebenarnya..fitnah dimana2 waww..sesungguhnya negara kita terancam jika manusianya dibutakan media yg di sokong asing yg memang mengincar sda kita.." dan saya jadi tergerak untuk menulis. Menurut saya menarik ketika di masa sekarang, dengan segala kemajuan yang telah dicapai di area Hak Asasi Manusia, masih ada pendapat-pendapat semacam ini. Tidak salah, karena semua orang punya hak berpendapat. Personally, I believe that some people are better off dead. I'm just glad that it's not up to me.

Capital Punishment
Saya pikir ada dua hal yang membuat argumen teman saya ini terkesan ignorant (cuek, abai) di mata saya. Pertama, Indonesia adalah negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Kenyataannya, tanpa perlu pemimpin yang militeristik (dan saya katakan militeristik karena beliau sebenarnya tidak lagi merupakan bagian dari militer) kita sudah mempunyai mekanisme untuk mematikan 'pengacau'. Mekanisme ini dijamin dan diatur dalam undang-undang. Ada parameter yang (lumayan) jelas mengenai siapa saja yang bisa dibunuh demi kebaikan bangsa dan warga negara lainnya. Meskipun passion saya terletak di studi perdamaian, jujur, saya tidak keberatan dengan capital punishment. As I said earlier, I believe that some people are better off dead.


No! No! No! Human sacrifice is NEVER necessary!*
Meskipun demikian, ada garis tipis tapi esensial yang membedakan antara capital punishment dalam pemerintahan yang demokratis dan diktator. Garis tipis ini direpresentasikan dalam sistem peradilan. Dalam demokrasi, orang punya hak untuk mendapat persidangan yang adil, punya hak untuk menceritakan kisahnya dan berargumen untuk keselamatan jiwanya. Dalam pemerintahan yang diktator (apalagi ketika yang jadi diktator punya kecenderungan tirani dan megalomania), hak ini tidak ada. A handful of people holds the trigger, and they can shot at will. Mereka bisa menggunakan alasan apapun untuk menjustifikasi tindakannya, tapi tanpa mengikuti mekanisme hukum yang berlaku, it all comes down to 'pengen aja'.

Kalau kata Ace of Bace "no man fits to rule the world alone," pertanyaan saya, apakah ada orang yang cukup beneficent, cukup 'lurus', untuk diberi kekuasaan itu? Menentukan siapa yang layak diselamatkan dan siapa yang layak dibunuh? Saya pikir tidak ada, dan tidak akan pernah ada. Kenapa? Because it's human nature to be subjective. Yang baik bagi satu orang tidak mungkin baik bagi semua orang. Karena itulah kita punya peraturan hukum dan perundangan. Jadi isu sesungguhnya bukanlah memilih pemimpin bertangan besi, tapi penguatan (dan di saat yang sama pembersihan) mekanisme hukum dan perundangan. 

Ignorance is Bliss
Hal kedua yang menunjukkan betapa abainya teman saya terletak di frasa kedua dan ketiga: "bersyukurlah karna masih bisa tinggal di negara yg aman..mencak2 tanpa tau yg sebenarnya.." Kenyataannya, ignorance is bliss. Lebih mudah (dan nyaman) ketika kita tidak tahu apa-apa. Tapi saya tidak percaya kalau ketidaktahuan (dan derivatnya yaitu kebodohan) adalah sesuatu yang harus kita syukuri. 

Informasi adalah kekuatan, dan dengan demikian disinformasi dan misinformasi adalah kelemahan. Kenyataannya, salah satu hal yang menyebabkan setiap orang bisa mengeluarkan pendapatnya di dunia maya adalah kenyataan bahwa saat ini di negara kita orang bisa bebas berbagi informasi. Dua hari yang lalu teman saya yang berpengalaman menjadi mahasiswa di masa Orba berbagi bagaimana dia di kampus tidak bisa bebas bercerita apa yang dia rasakan, bahkan kepada teman-teman yang biasa bergaul dengannya. Kenapa? Karena sedikit salah bicara, mahasiswa di masa itu bisa hilang ditelan bumi. 

Is this what we really want? Really?**
Apakah keadaan seperti ini benar-benar lebih baik daripada kebebasan yang chaotic seperti sekarang? Orang dipaksa menjadi bungkam dan submisif? Kalau menurut status teman saya sih iya. Tapi teman saya lupa bahwa pengertian 'pengacau' bisa digunakan dengan sangat bebas di tangan tiran. Kita lihat Widji Thukul yang sampai saat ini masih 'hilang'. Beliau hanya orang yang frustrasi dengan keadaan di sekelilingnya dan menyuarakan rasa frustrasi itu ke dalam syair. Kekacauan riil apa yang sesungguhnya dia ciptakan? Kalaupun ada, paling di ranah ideologis. Apa orang layak dibunuh karena punya pemikiran? Apa keluarganya layak tidak diberi penjelasan dimana dia berada? Saya pikir tidak perlu jadi orang pintar untuk menjawab pertanyaan ini. Cukup jadi orang yang punya hati. 

It's A Strange World After All
Tahun 1998 banyak teman saya dan keluarganya lari ke luar negeri karena mereka merasa terancam keselamatannya. Anda bisa berargumen kalau yang terjadi saat itu tidak seperti yang diekspos oleh media. Bahwa media mem-blow up kejadian sesungguhnya. Kenyataan yang saya lihat sebagai anak SD yang menemani Mama ke gereja saya saat itu adalah, banyak orang mencari perlindungan di Gereja. Beberapa dari mereka terluka secara fisik. Banyak teman saya lari ke luar negeri. Kakak saya yang berwajah mirip etnis Tionghoa ketakutan untuk keluar rumah. Keluarga saya takut tiba-tiba ada yang menuduh kami sebagai dukun dan mengirim massa ke pintu rumah kami. Itu kenyataan yang saya lihat dan rasakan pada saat itu. Saya minta jangan mengecilkan ketakutan yang kami rasakan, karena itu nyata buat kami. 

Pada suatu masa yang belum terlalu jauh dari saat ini, segelintir orang menciptakan common enemy dalam rangka melegitimasi kekuasaannya. Demi untuk bisa memperpanjang eranya sedikit lebih lama lagi. Dan pada saat itu, banyak orang terpengaruh dan mempercayai logika kacau yang ditawarkan sedikit orang ini. Kecenderungan yang saya lihat akhir-akhir ini, ada pihak-pihak yang menggunakan pola kampanye yang sama, dan banyak orang menelan mentah-mentah 'fakta' yang disodorkan tanpa repot-repot mencerna lebih lanjut. Karena itu saya menulis hal ini. Karena rupanya banyak orang sudah lupa masa-masa itu. Mungkin karena mereka ada di pihak oppressor, bukan di pihak oppressed.

Tulisan ini terkesan terlalu personal? Ya, karena ini blog personal. Saya bisa menulis apa saja, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan apabila saya lahir beberapa tahun lebih awal. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pemilihan Presiden kali ini menyebalkan karena orang cenderung untuk mengatakan 'jangan pilih ini karena...' daripada 'pilihlah ini karena...' Saya mengakui, saya juga menggunakan pola pikir ini dalam pilpres kali ini. Ketika anda menghadapi masa paceklik dimana tidak ada makanan, dan anda ditawari dua pilihan: yang satu ikan busuk dan yang satu ikan yang tidak terlalu segar tapi masih layak makan, apakah anda akan memilih ikan busuk? Saya pikir tidak. 

Terus terang, saya tidak mengawali tulisan ini sebagai usaha berkampanye untuk salah satu capres, tapi saya tidak bisa menghindari ketika tulisan ini jadi condong menjadi dukungan untuk salah satu pihak. Toh Desmond Tutu pernah bilang "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality." Salam dua jari. (^.^)V

------------------------------------------------------------------
* Picture of "Freedom of Worship" was drawn by Tony Auth and can be found here
** Picture of king was taken from this page.

Saturday, May 24, 2014

Stuck on You

Beberapa wakktu terakhir, timeline saya dipenuhi orang-orang yang mengeluhkan sikap yang diambil oleh salah satu staf pengajar di almamater saya, yang entah kenapa namanya masih terdaftar, padahal sudah tidak pernah mengajar sejak entah kapan. Sebagai anggota angkatan yang sudah tidak pernah bertemu beliau secara intens, saya sih nggak terlalu mengerti ya kenapa orang-orang bisa segitu kecewanya sama si Bapak ini. Personally, menurut saya apabila kita melihat track record si Bapak selama ini, keputusan yang dia ambil kali ini sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Tapi mungkin beda ya, kalau kenal secara personal. It creates emotional attachment; and emotional attachment, as we all know, clouds judgement.

Tapi saya tidak akan membicarakan soal situasi politik Indonesia yang semakin memanas menjelang pemilihan presiden. Terlalu mainstream. Biarlah teman-teman lain yang lebih paham isu saja yang membicarakan soal itu. Saya ingin membicarakan soal loyalitas.

Beberapa waktu yang lalu, salah satu teman saya mendapat kesempatan kerja yang luar biasa. Kesempatan kerja ini memberikan dia kesempatan mengembangkan diri, dan sangat sesuai dengan passion-nya. Yang sedikit membingungkan adalah, di kala itu, institusi tempatnya bekerja mengatakan akan melepaskan teman saya itu, karena toh dia akan kembali lagi ke institusi mereka. Menurut saya respon ini agak aneh. Setiap orang punya hak untuk mengembangkan diri mereka dalam konteks profesional. Ketika suatu wadah tidak lagi bisa menaungi kebutuhan seseorang untuk berkembang, sudah tidak bisa menawarkan apa-apa untuk pengembangan diri, apakah seseorang harus tetap bertahan for the sake of loyalty? Terkait situasi ini, kakak saya memberikan respon yang menurut saya cukup nendang. Tetaplah loyal pada tujuan yang ingin kamu capai, bukan pada institusi.

I totally can relate with what she said, dan menurut saya hal ini bisa juga diterapkan dalam konteks yang saya sebut di awal tulisan ini. Saya sadar bahwa banyak orang menghormati Bapak-yang-mengaku-dosen itu. Penghormatan ini muncul karena at one point, Bapak ini bukan hanya seorang figur yang luar biasa, tapi juga revolusioner. Saya mengerti mengapa begitu banyak orang yang menghormati si Bapak. Orang-orang melihat betapa briliannya beliau dan bisa memahami dan menyetujui perjuangan beliau. Dan hal tersebut adalah alasan yang sangat valid untuk menghormati seseorang.

Yang jadi masalah (menurut saya), adalah masyarakat punya kecenderungan mengultuskan suatu figur: "Wah pemikiran beliau keren sekali, maka sudah pastilah beliau sepanjang hidupnya akan keren. Maka dengan demikian sebagai orang yang Indonesia yang loyal akan mengikuti beliau kemanapun beliau pergi." Naif, menurut saya. Dan agak beresiko. Menggantungkan kesetiaan pada satu figur atau institusi atau kelompok, apalagi di tingkat hard core, akan mematikan kemampuan individu untuk berpikir kritis. Jadinya yang ada ya pack mentality. Kemanapun kawanan saya pergi saya akan selalu mengikuti.

Ini yang saya lihat dilakukan oleh banyak orang di tengah-tengah situasi sosial-politik yang semakin lama semakin kacau. Orang-orang sepertinya mulai malas menentukan prinsip-prinsipnya dan membentuk pemikiran-pemikirannya sendiri. Akhirnya, mereka mengadopsi mentah-mentah secondhand thoughts dari orang lain. Bisa jadi orang tersebut adalah guru, bos, alim ulama, atau bahkan BFF; yang jelas, apapun yang dikatakan oleh figur yang tampaknya dapat dipercaya tersebut pastilah yang terbaik. Mungkin yang dirasakan orang-orang mirip seperti yang pernah dikatakan Sting ya. "If I ever lose my faith in you, there'll be nothing left for me to do." Maaf ya, Eyang Sting, I love you to the moon and back, but I would have to disagree with you on this.

I am a self-proclaimed realist, saya percaya orang akan mengambil keputusan yang memjamin keberlangsungan mereka sendiri. Terlepas dari romantisme apapun yang kita yakini, mempercayai bahwa manusia yang punya egoisme akan membuat setiap keputusan berdasarkan kepentingan kita, for as long as they shall live, adalah keyakinan yang terlampau naif.

Kembali lagi ke urusan loyalitas; buat saya loyalitas itu penting. Orang yang punya integritas harus punya loyalitas. Kalau nggak loyal, ya jadinya mencla-mencle kalau kata orang Jawa. Tapi loyalitas kepada apa? Saya pikir yang penting adalah loyalitas kepada nilai, prinsip, dan tujuan yang kita yakini. Apabila menemukan figur yang terang-terangan memperjuangkan nilai, prinsip, dan tujuan yang kita miliki; maka adalah hal yang wajar apabila kita mendukung orang tersebut, sampai tahap militan apabila diperlukan. Tapi saya pikir manusia juga harus jeli dalam melihat, apakah orang yang kita dukung masih mendukung kita? Apakah dia sendiri masih loyal dengan nilai, prinsip, dan tujuan yang membuat kita memberi dukungan kita kepadanya? Kalau tidak, yakin masih mau mendukung orang tersebut?

Sunday, April 20, 2014

Via Dolorosa

"Apakah tuduhanmu terhadap orang ini?"
"Jikalau Ia bukan penjahat, kami tidak menyerahkannya kepadamu!"
Kata Pilatus pada mereka, "Ambillah Dia, dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu!"
Kata orang-orang Yahudi itu, "Kami tidak diperbolehkan membunuh seseorang." 

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti misa Jumat Agung sebagai bagian dari rangkaian tri hari suci. Sebelum anda pergi, jangan khawatir, ini bukan tulisan agamis, pun bukan tulisan historis. Tapi untuk sedikit memberi konteks bagi anda yang tidak beragama Katolik, hari Jumat Agung adalah hari yang secara khusus digunakan untuk memperingati penderitaan dan kematian Yesus. Perjalanannya melewati Via Dolorosa, atau Jalan Penderitaan. Jadi, hari Jumat yang setiap tahun libur itu bukan Paskah ya, karena paskah itu peringatan kebangkitan Yesus, baru dirayakan di hari Minggu.

Dalam tradisi Katolik, misa Jumat Agung sedikit berbeda dari misa biasa, salah satunya karena pembacaan Injil tentang kisah sengsara Yesus dinyanyikan oleh passio. Mungkin supaya orang-orang bisa lebih menghayati kisah sengsara tersebut ya? Karena dengan dinyanyikan, suasananya jadi lebih khidmat dan sedikit mencekam. Sayangnya, keputusan konsili vatikan entah nomor berapa untuk menggunakan passio di misa Jumat Agung juga membuat peserta misa seringkali mengantuk. Kenapa? Karena bacaan Injilnya jadi lamaaaaa...

Kebencian dan Logika
Anyway, ketika mendengarkan passio kemarin, ada dua segmen menarik yang saya sadari dari kisah sengsara Yesus yang dilagukan tersebut. Yang pertama adalah di adegan ketika para umat Yahudi membawa Yesus ke hadapan Pilatus, dan terjadilah dialog yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Penggalan dialog ini bagi saya sangat menarik karena mengonfirmasi hal yang sudah saya yakini sejak lama. Hatred clouds our judgement.

Just saying, you must have hated someone so much
if you want him to die an agonizing death, right?*
Kenapa saya bilang demikian? Umat Yahudi pada saat itu sangat membenci Yesus. Rasa benci ini begitu besar sampai-sampai mereka menginginkan kematiannya. Sesuatu yang bahkan tidak diijinkan dalam hukum Taurat. Makanya mereka membawa Yesus ke Pilatus, pejabat Romawi yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman mati.

Saya mengerti mengapa para tokoh Yahudi pada saat itu bisa membenci Yesus. Yesus adalah figur yang revolusioner. Dan semua hal yang mengganggu status quo akan dianggap sebagai ancaman oleh orang-orang yang sudah merasa terlalu nyaman di dalamnya. Terutama ketika para tokoh ini merasakan bahwa ada kebenaran dalam kata-kata sang revolusioner. Mereka takut orang lain akan melihat kebenaran tersebut, dan meyakini bahwa mereka juga menginginkan revolusi. Dan setiap ancaman, dalam pemikiran realis, harus segera dimusnahkan.

Yang lebih menarik dalam dialog ini sebenarnya adalah pack mentality atau mentalitas kawanan yang ditunjukkan oleh orang Yahudi sisanya, yang sebenarnya tidak mendapat keuntungan apa-apa dari struktur sosial yang berlaku pada saat itu. Kalaupun mendapat keuntungan, pasti tidak sebanyak para tokoh yang saya sebutkan tadi. Tapi mereka ikut-ikutan sepenuh hati meyakini bahwa Yesus adalah ancaman yang begitu besar, sampai-sampai hukum Taurat yang mereka junjung tinggi bolehlah diabaikan demi menghapuskan ancaman ini. Kenapa saya bilang ikut-ikutan? Karena ide ini muncul dari Kayafas, seorang tokoh Yahudi yang menyatakan bahwa adalah lebih berguna jika satu orang mati demi seluruh bangsa.

Kalau saya pikir-pikir, pack mentality yang ditunjukkan orang Yahudi pada saat itu mirip ya dengan yang terjadi saat ini? Tidak hanya dalam ranah agama, tapi juga dalam ranah sosial, politik, dan lain-lain; manusia saat ini sangat mudah disetir oleh pihak lain yang mereka anggap lebih pintar, lebih bijak, dan lebih berkuasa. Makanya pada saat ini banyak sekali yang oleh salah satu teman saya disebut sebagai Klompentapir: Kelompok Pendemo Tanpa Berpikir. Seperti orang Yahudi saat itu, sebenarnya mereka sih tidak yakin masalahnya apa. Pokoknya harus dilawan. Makanya apabila kita bertanya pada mereka seperti yang dilakukan Pilatus pada orang Yahudi dalam dialog di atas, paling-paling jawaban yang para Klompentapir berikan ini sama nggantungnya degan jawaban orang-orang Yahudi di atas. Nevertheless, mereka haqul yakin kalau isu ini perlu mereka bela, kalau perlu sampai menghilangkan nyawa, entah nyawa mereka sendiri atau nyawa orang lain.

Saya tidak tahu pendapat anda, tapi menurut saya fenomena ini menyedihkan. Menyedihkan karena manusia, dengan segala kemegahannya, tidak mampu menggunakan pemikiran kritis dan logika. Saya tidak tahu apakah kecenderungan ini memang human nature atau hanya muncul ketika manusia menghadapi kehidupan yang sulit. Tapi saya menolak meyakini manusia tidak bisa memilih menggunakan logikanya. Satu hal yang pasti, sistem yang kacau memperparah kecenderungan ini. Dan ya, menurut saya sistem yang berlaku Indonesia saat ini kacau balau.

Terjebak dalam Simbolisme
Itu satu, mari kita beranjak ke hal kedua yang membuat saya tertarik; supaya tidak dituding gagal move on. Dalam bacaan Injil Jumat Agung, dikatakan bahwa umat Yahudi tidak masuk ke gedung pengadilan untuk menonton secara langsung inkuisisi Pontius Pilatus terhadap Yesus, karena pada hari itu adalah hari persiapan paska Yahudi, peringatan keluarnya umat Yahudi dari perbudakan Mesir. Masuk ke gedung pengadilan bisa menajiskan diri mereka, tapi jangan tanya saya kenapa. Saya bukan ahli Taurat.

Bagus sih, tidak mau menajiskan diri mereka sebelum perayaan hari besar. Yang membuat saya heran adalah, setelah itu mereka--dengan segala kebenciannya--ikut menyaksikan dan meramaikan kisah sengsara Yesus. Sungguh, saya gagal memahami apa yang menyebabkan mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi najis dengan menonton orang dihakimi, tapi tidak akan menjadi najis ketika mereka beramai-ramai menghakimi dan menikmati penderitaan orang yang sama. In my own personal opinion, yang kedua sih harusnya lebih membuat najis ya.

Tapi lagi-lagi menurut saya kejadian ini relevan dengan keadaan sekarang. Saya jadi teringat beberapa saat lalu ada artikel yang membahas mengenai penelitian bertajuk "How Islamic are Islamic Countries?" yang dipublikasikan di tahun 2010. Saya sendiri belum pernah membaca hasil penelitian tersebut dan hanya mendasari pendapat saya dari artikel di atas. Intinya, negara-negara yang dianggap lebih 'Islami' dalam artian bagaimana ajaran Islam mempengaruhi kehidupan bernegara dan sosial umat Muslim justru bukan negara-negara Islam.

Saya tidak bermaksud mendiskreditkan teman-teman yang Muslim. Hanya ingim mengomentari fenomena yang saya amati saja. Saya mengamati bahwa banyak umat 'beragama', tidak hanya Islam, puas dengan menerapkan aspek-aspek simbolis dari agamanya. Asal sudah ke gereja setiap minggu dan selalu ingat Kristus itu baik, ya sudah menjadi umat Kristen yang baik. Tapi amit-amit kalau sampai pacaran, apalagi nikah sama orang yang beda agama. Yesus pasti nangis di surga sana. Kasarnya demikian.

Your religion is so much more than these symbols,
people! It's what you do in your day-to-day life
that matters the most! **
Masalahnya, saya ini orang yang meyakini bahwa agama adalah sarana bagi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Menjadi manusia yang lebih baik untuk saya erat kaitannya dengan memperlakukan manusia lain secara lebih baik pula. Hal ini yang saya pikir sering dilupakan oleh orang-orang yang merasa beragama. Seringkali ketika merasa beragama, orang punya kecenderungan menempatkan orang beragama lain sebagai second-class citizen. Mereka lupa kalau orang beragama lain itu diciptakan oleh Tuhan juga. Dalam pendapat saya sih, Tuhan yang menciptakan orang yang memeluk segala macam agama, dan bahkan orang yang tidak beragama sekalipun itu Tuhan yang sama ya. Nggak tau ya menurut anda gimana.

Kesimpulannya?
Seperti biasa, tidak ada kesimpulan! Hahaha... Tapi saya jadi berpikir, dengan segala kemajuan yang dialami oleh manusia sejak jaman Yesus disalib sampai sekarang, ternyata masih banyak hal yang tidak berubah. Sebegitu lambatkah kemajuan peradaban kita sampai-sampai kita masih melakukan kesalahan yang sudah dilakukan 2.000 tahun yang lalu? Atau kita hanya oblivious? Menolak menyadari bahwa kita melakukan kesalahan dan menolak berubah ke arah yang lebih baik?

Saya percaya bahwa manusia; sebagai makhluk Tuhan yang konon paling sempurna; dianugerahi akal, budi, dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Kita diberikan kemampuan untuk melakukan analisa dan pertimbangan rasional sehingga kita mampu menimbang-nimbang hal yang mana yang baik dan buruk. Sekaran pertanyaannya, jalan mana yang mau kita ambil? Apa kita mau menjadi lebih baik? Ataukah kita mau tetap melakukan kesalahan yang sudah kita lakukan selama paling tidak 2.000 tahun? The choice is entirely up to you.

------------------------------------------------
*Gambar salah satu perhentian Via Dolorosa di Yerusalem diambil dari halaman ini.
** Gambar ssimbol-simbol religius diambil dari halaman ini.

Thursday, March 6, 2014

Inspiring Change

Tanpa terasa satu tahun sudah (hampir) berlalu sejak tulisan terdahulu soal Hari Perempuan Internasional (International Women's Day/IWD). Dalam dua hari, dunia akan kembali memperingati hari yang didedikasikan bagi perempuan; termasuk bagi perjuangan, kepentingan, dan tantangan yang mereka miliki dan hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tema IWD tahun 2014, Inspiring Change, menurut saya cukup menarik.

Untuk saya, perubahan adalah hal yang dapat dengan mudah dirasakan. Sayangnya tidak semua perubahan mudah dilihat. Kita bisa merasakan bagaimana cuaca berubah dingin di malam hari, kita bisa merasakan arah angin berubah, kita bisa merasakan kue berubah semakin harum ketika dipanggang. Tapi berhubung perubahan-perubahan tersebut tidak bisa dilihat, kadang kita mengabaikan perubahan tersebut begitu saja tanpa sempat mengapresiasi perubahan tersebut sebagaimana mestinya.



Perubahan Bagi Perempuan
Sebagai orang yang bekerja di bidang pembangunan sosial, saya merasakan bagaimana sulitnya menciptakan perubahan yang kita cita-citakan. Perubahan dalam konteks perbaikan keadaan perempuan apalagi. Sama sekali bukan hal yang mudah. Ada segudang faktor yang bisa memungkinkan dan menggagalkan perubahan-perubahan positif bagi perempuan. Hampir semuanya bersifat abstrak, sebagian besar ada dalam pikiran manusia. Dan pikiran manusia adalah lingkup yang sangat sulit dipengaruhi, apalagi diubah.

Mewujudkan perubahan ini butuh banyak waktu, tenaga, dan sumberdaya. Ditambah lagi reward-nya rendah. Sudah kerja jungkir balik setengah mati, tetap saja tidak ada yang berubah. Para feminis sudah berkoar-koar sejak akhir abad ke-19 untuk memperbaiki keadaan perempuan. Bahkan mungkin sejak sebelum itu. Kenyataannya, sampai saat ini opresi terhadap perempuan masih ada. Kalau dipikir dengan cara demikian, rasanya bawaannya depresi. Makanya, kita perlu ingat, perubahan ke arah yang lebih baik juga sudah banyak loh.

Banyak orang pastinya berpikir, perempuan ini maunya apa sih? Kok ya nggak bosan teriak-teriak terus? Kalau dipaksa dirangkum dalam satu kata sih, menurut saya yang diinginkan perempuan adalah respect. First and foremost, perempuan adalah manusia. Karena hal tersebut, maka perlakukanlah perempuan dengan rasa hormat yang layak didapatkan manusia. Implikasi dari pernyataan itu bisa melebar ke berbagai arah sesuai konteks, tapi saya rasa sih kata-kata tersebut cukup merangkum keinginan saya yang perempuan ini. Diperlakukan dengan rasa hormat, tidak hanya berarti diperlakukan sama loh. Kenyataannya, perempuan dan laki-laki berbeda. Masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing dalam berbagai aspek. Tapi perbedaan tersebut tidak bisa dijadikan basis untuk membeda-bedakan, apalagi sampai merendahkan pihak lainnya.

Inspiring Change
Kembali ke tema IWD tahun ini, Inspiring Change. Baiklah, kita ingin perubahan bagi perempuan. Tapi tentunya kita tidak ingin perubahan yang sifatnya superficial--hanya di permukaan saja. Kita menginginkan perubahan yang lestari dan berkelanjutan. Dengan demikian generasi setelah kita juga tetap bisa merasakan perubahan yang kita usahakan. Bagaimana kita bisa mencapai hal itu, anak-anaaak?? Tentunya dengan membuat orang-orang lain merasa bahwa mereka juga menginginkan perubahan itu.

Menurut interpretasi saya, tema IWD tahun ini sangat dalam. Inspiring change berarti kita tidak hanya berhenti sampai membuat perubahan, tapi kita ingin juga mempengaruhi orang lain agar terinspirasi untuk membawa perubahan dalam lingkup pengaruhnya masing-masing; entah itu mencakup dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat, atau bahkan yang lebih luas lagi. Tapi untuk memacu orang untuk ingin berubah, kita harus terlebih dahulu meyakinkan mereka bahwa perubahan yang nantinya terjadi akan membawa keuntungan bagi mereka, dan bahwa keuntungan yang akan mereka dapatkan sebanding dengan usaha yang mereka keluarkan. Agar bisa sukses, keinginan untuk berubah ini tidak boleh hanya dimiliki oleh perempuan, tapi juga oleh anggota masyarakat lainnya.

Be The Change We Want To Be!
Women fighter! Yay!!
Berdasarkan pengalaman saya, dalam sistem yang tidak mendukung perempuan, perempuan tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Setelah perempuan terinspirasi untuk berubah, kita harus memastikan mereka mempunyai cukup daya untuk mengusahakan perubahan secara terus-menerus. Mengingat bahwa mewujudkan perubahan adalah sesuatu yang melelahkan secara lahir bathin. Maka mereka harus dilengkapi dengan senjata yang bisa membantu mereka berjuang. Bukan senjata yang bisa digunakan untuk melukai secara fisik, tapi berupa kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan untuk memperoleh rasa hormat yang layak mereka terima.


Meski demikian, musuh utama kita--para agen perubahan--bukanlah patriarki, tapi diri kita sendiri. One question remains, sebelum kita berusaha meyakinkan orang lain, apakah kita sendiri sudah yakin kita menginginkan perubahan tersebut, dengan segala konsekwensinya? Karena sebelum kita yakin, kita tidak akan mungkin bisa meyakinkan orang lain.