Sunday, October 14, 2012

Because I am a Girl

A father asks his daughter:
Study? Why should you study?
I have sons aplenty who can study
Girl, why should you study?
 
The daughter tells her father:
Since you ask, here’s why I must study.
Because I am a girl, I must study.

Long denied this right, I must study
For my dreams to take flight, I must study
Knowledge brings new light, so I must study
For the battles I must fight, I must study
Because I am a girl, I must study.

To avoid destitution, I must study
To win independence, I must study
To fight frustration, I must study
To find inspiration, I must study
Because I am a girl, I must study.

To fight men’s violence, I must study
To end my silence, I must study
To challenge patriarchy I must study
To demolish all hierarchy, I must study.
Because I am a girl, I must study.

To mould a faith I can trust, I must study
To make laws that are just, I must study
To sweep centuries of dust, I must study
To challenge what I must, I must study
Because I am a girl, I must study.
 
To know right from wrong, I must study.
To find a voice that is strong, I must study
To write feminist songs I must study
To make a world where girls belong, I must study.
Because I am a girl, I must study.

~ Because I am a Girl, I must Study by Kamla Bhasin

Malala, at the age of 12
Picture courtesy of msnbc
Malala Yousufzai, 14 tahun, ditembak di kepala dalam perjalanan pulang dari sekolah karena berusaha memastikan haknya mendapat pendidikan. Di satu sisi, kisah Malala (dan banyak lagi kisah lainnya) membuat diri saya bersyukur lahir di negara yang mengijinkan perempuan mengenyam pendidikan sampai ke tingkat yang tinggi, besar dalam keluarga yang menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak perempuan, dan bergaul dalam lingkungan yang menghormati hak perempuan akan pendidikan. Namun, di sisi lain, kisah-kisah ini membuat saya berpikir, bagaimana saya sebagai individu bisa membantu perempuan-perempuan yang haknya atas pendidikan diabaikan, dan bahkan dirampas; hanya karena mereka perempuan.

Saya bukan feminis. Saya tetap percaya pada pembagian peran, meski saya yakin bahwa jenis kelamin tidak bisa dijadikan satu-satunya faktor yang mendefinisikan pembagian peran tersebut. Tapi ya, saya percaya bahwa perbedaan ada agar kita bisa saling melengkapi. Justru karena alasan tersebut, maka saya berpendapat bahwa penting bagi semua orang, laki-laki dan perempuan, untuk mendapatkan pendidikan. Kenapa? Karena bagaimana mungkin kita bisa saling mendukung apabila kita tidak memiliki kapasitas yang sama? Dalam berelasi di tingkat apapun, bukankah pihak dengan kapasitas yang lebih rendah cenderung menjadi beban? Lalu kenapa kita, sebagai masyarakat, dengan sengaja menciptakan beban-beban dalam kehidupan bermasyarakat kita dengan menjauhkan suatu golongan tertentu dari akses terhadap pendidikan?

Berbicara dalam konteks spesifik perempuan, saya sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang tidak ramah pada perempuan. Bagi perempuan, setiap hari adalah perjuangan. Kami harus bertahan menghadapi pihak-pihak yang memandang kami sebagai warga kelas dua, dan di saat-saat tertentu bertahan menghadapi orang yang memperlakukan kami sebagai objek. Banyak perempuan bahkan tidak menyadari bahwa hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima dan menyikapinya sebagai sebuah kewajaran. Padahal ketika masyarakat tidak berpihak pada perempuan, seorang perempuan harus bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk perlindungan diri. Bagaimana seorang perempuan dapat melindungi dirinya apabila dia dididik untuk menghormati dan menjaga keberlangsungan ketimpangan yang merugikan dirinya?

Ada banyak sekali pertanyaan dalam tulisan saya kali ini. Banyak diantaranya tidak bisa saya jawab. Dalam suatu diskusi yang saya ikuti baru-baru ini,saya belajar bahwa ketimpangan gender diciptakan oleh lingkungan di luar tubuh biologis kita dan bercokol dalam pikiran kita semua. Setelah diskusi tersebut saya jadi berpikir bahwa sebagai masyarakat, dua hal yang penting untuk kita lakukan adalah berhenti mentolerir pembedaan-pembedaan atas dasar jenis kelamin yang dapat merugikan salah satu pihak serta merombak pola pikir kita dalam memandang pola hubungan yang timpang antara pria dan wanita, dengan mengakui bahwa memang ada ketimpangan di sana.

Saya masih belum bisa menjawab pertanyaan apa yang bisa saya lakukan untuk perempuan-perempuan yang tidak seberuntung saya dalam hal mengenyam pendidikan, tapi mulai sekarang, setiap hari saya akan berusaha perlahan-lahan untuk tidak menolerir diskriminasi dan mulai bersuara bagi mereka yang tidak tahu bahwa mereka boleh bersuara. Mungkin tidak dengan cara yang bombastis, tapi saya yakin bahwa saya bisa berkontribusi terhadap perubahan, sekecil apapun.