Sunday, January 6, 2013

Memilih Kemacetan

"We always have a choice. Whether we can live with our choices is the real question." (Revenge, Season 2, kalau saya tidak salah ingat.)

Bicara Jakarta, seringkali inheren dengan bicara kemacetan. Semua yang pernah tinggal di Jakarta dalam kurun waktu dua dekade terakhir pasti sudah memahami bahwa kemacetan sudah menjadi bagian yang tampaknya tidak terelakkan dari hidup di kota ini. Seringkali di linimasa saya menemukan orang (termasuk saya juga, sih) mengeluhkan tentang kemacetan yang dialami di Jakarta. Kemacetan ekstrim yang terjadi hampir sepanjang tahun di Jakarta memang melelahkan, merugikan, dan menyebalkan.

Saya menemukan bahwa seringkali orang yang mengeluhkan kemacetan di kota ini menyalahkan pihak lain (pemerintah yang tidak menyediakan solusi yang tepat, supir angkot yang seenak udelnya, pengendara motor yang tidak punya etika, dan lain sebagainya). Jarang sekali saya melihat orang mengeluhkan kemacetan sambil menawarkan solusi yang feasible. Ada sih, tapi sedikit berbanding orang yang tidak solutif. Seringkali saya juga seperti itu, kenapa? Karena saya terus terang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Secara teori sih, ada banyak hal yang saya bayangkan dapat mengatasi kemacetan di kota ini; tapi dalam segi implementatif, saya sadar bahwa penerapan solusi versi saya juga akan melahirkan permasalahan baru, yang juga perlu dipikirkan matang-matang solusinya.

Jakarta di jam tidak terlalu sibuk
 Pagi ini saya terjebak kemacetan luar biasa. Maklum lah, hari pertama adik-adik mulai masuk sekolah. (Tuh, kan! Saya menyalahkan orang lain lagi). Sementara saya terjebak kemacetan, saya jadi berpikir betapa kecilnya seorang saya di dalam entitas yang bernama lalu lintas. Lautan mobil ini tidak peduli apabila saya terlambat, atau hampir mati sekalipun. Dia punya ritmenya sendiri, melaju dalam kecepatannya sendiri, dan tidak membiarkan saya keluar dari arus tersebut. Segala usaha untuk melepaskan diri secara prematur akan berakibat pada semakin parahnya ritme tersebut.

Selain pemikiran yang kontemplatif tersebut, saya juga menyadari hal lain. Bahwa masalah ini sudah ada sejak jaman orang tua saya. Situasi saat ini memang lebih parah, tapi masalah utamanya sama. Terlalu banyak kendaraan di jalan. Meskipun pernyataan ini masih bisa diperdebatkan, tapi saya cukup yakin bahwa salah satu hal yang menyebabkan over-kapasitas jalan adalah pertumbuhan penduduk Jakarta yang cukup tinggi.

Saya sangat mengerti bahwa manusia secara alami akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan hidup. Di dunia yang digerakkan oleh aktivitas ekonomi seperti yang kita tinggali sekarang, akses terhadap modal (untuk tidak mengatakan uang) adalah hal yang sangat penting dalam memastikan kita mampu bertahan, tidak hanya mempertahankan hidup tapi juga untuk mempertahankan kualitas hidup. Karena itu, tidak heran banyak orang kemudian berkerumun di Jakarta, di mana roda perekonomian berputar sangat kencang dan (relatif) stabil. Sayangnya, hal ini mengakibatkan over-populasi dan segala masalah turunannya di Jakarta dan sekitarnya.

Tidak, saya tidak menyalahkan para migran yang datang ke kota ini. Kenyataannya saya juga ada di sini sekarang. Tapi sekali lagi, kemacetan adalah hal yang inheren dengan Jakarta, bahkan ketika saya duduk di bangku SD, dan mungkin lama sebelumnya. Dalam pengaturan negara kita yang kacau dan terlalu sentralistik ini, saya yakin bahwa paling tidak orang-orang di luar Jakarta yang memiliki televisi mengetahui tentang permasalahan in. Neverthreless, the inflow of human remains high.

Yang ingin saya katakan adalah: para migran yang masuk ke Jakarta memilih untuk masuk ke Jakarta, berikut dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi disini tidak hanya berarti mereka akan terjebak dalam kemacetan Jakarta, tapi juga bahwa kemacetan akan semakin parah dengan kedatangan mereka. Apalagi ketika masing-masing memilih membawa kendaraan sendiri. Ini baru masalah kemacetan, belum lagi masalah lainnya. Lalu, kenapa mengeluh? Bukankah idealnya kita sudah bisa mengantisipasi hal ini sebelum mengambil keputusan pindah ke Jakarta?

Memang sih, seperti yang saya tuliskan barusan idealnya kita sudah bisa mengantisipasi stress berangkat ke kantor sambil menghadapi kemacetan setiap harinya. Tapi kenyataannya, di dunia ini tidak ada yang ideal. Kembali ke kutipan yang saya tuliskan di awal, saya jadi merasa bahwa kita perlu sedikit merenungkan bahwa keputusan untuk tinggal di kota yang kacau balau ini adalah keputusan kita sebelum mulai mengeluh. Apalagi ketika kita adalah bagian dari permasalahan tersebut.

Sulit memang, membayangkan konsekwensi dari keputusan kita saat kita membuat keputusan. Apalagi ketika penilaian kita dibutakan oleh faktor lain (gaji, misalnya?). Sayangnya konsekwensi baik dan buruk melekat dengan setiap keputusan yang kita buat. Naif, menurut saya, mengharapkan konsekwensi yang positif saja. Daripada mengutuk konsekwensi negatif dari keputusan kita tampaknya lebih baik bila kita melakukan yang terbaik untuk tidak menambah buruk permasalahan yang memang sudah ada sebelumnya.

*Foto lalu lintas diambil dari alamat ini.