Sunday, August 19, 2012

"Mohon maaf lahir bathin!"

Semasa hidup saya entah berapa kali saya sudah mengucapkan kata-kata ini, baik secara lisan maupun tulisan. Ya, setiap kali lebaran datang, saya selalu bergabung dalam semangat lebaran.Hal ini saya lakukan karena saya menikmatinya. Saya suka semangat persaudaraan yang muncul ketika lebaran, begitu juga keceriaan yang sangat kental ketika lebaran tiba. Saya melihat keadaan dimana setiap orang berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang lebih baik setelah berpuasa sebulan lamanya sebagai perwujudan dari harapan akan perubahan dan perbaikan; dan hal itu indah.

Tahun ini, seperti juga tahun-tahun lainnya, saya sudah mengirimkan beberapa ucapan selamat Idul Fitri ke beberapa teman terdekat, sepaket dengan kata-kata mohon maaf lahir bathin. Tentu saja masing-masing diiringi dengan niat tulus untuk memperbaiki hubungan yang retak karena segala kekhilafan. Tapi tahun ini saya sedikit berpikir, setelah ritual saling maaf memaafkan ini selesai, kemudian apa? 

Maaf ya..
Di bangku SMP saya diajarkan mengenai tahapan pertobatan. Tahap pertama adalah menyadari bahwa kita telad melakukan kesalahan. Sebelum bisa memperbaiki diri, kita haruslah mengetahui, sebenarnya apa sih dosa yang telah kita lakukan? Kenapa sih hal itu kita anggap sebagai sebuah dosa? Hal ini haruslah terlebih dahulu direnungkan. Lagipula, apa gunanya meminta maaf ketika kita sendiri tidak tahu kesalahan kita? Apalagi ketika kita tidak merasa bersalah.

Tahap kedua adalah menyesali kesalahan tersebut. Saya adalah manusia, dengan segala kekurangannya. Secara pribadi, saya merasa ada beberapa kesalahan yang saya tahu sebaiknya tidak saya lakukan, tapi saya tidak menyesal tuh melakukannya. Paling tidak belum. Saya menyadari bahwa ini adalah perwujudan dari egoisme tingkat tinggi yang saya miliki, tapi inilah kenyataannya. Saya pikir tidak adil bagi kedua belah pihak ketika saya menyatakan minta maaf secara holistik (lahir bathin) ketika masih ada hal-hal yang tidak sungguh-sungguh saya sesali.

Tahap ketiga adalah mengakui kesalahan kita. Mengakui kesalahan lewat meminta maaf tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki hubungan antarmanusia yang retak karena dosa, tapi juga membebaskan bathin kita secara pribadi dari perasaan tidak mengenakkan yang muncul karena kita menyadari kita berdosa. Anda akan terkejut bagaimana perasaan anda akan menjadi jauh lebih ringan setelah anda mengeluarkan kata-kata maaf. Untuk dapat melakukan hal ini, sayangnya, dibutuhkan kerendahan hati dan kesediaan mengakui bahwa kita manusia lemah. Oh ya, akan lebih baik apabila permintaan maaf bersifat spesifik dan bukannya holistik, agar kita tau dan lawan bicara mengerti konteks permohonan maaf yang kita berikan.

Tahap terakhir, dan ini yang paling penting, adalah berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Sayangnya tahapan inilah yang paling sering dilupakan. Setiap permohonan maaf sebaiknya harus diresapi dan diwujudkan dalam bentuk perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Permintaan maaf tidak akan ada gunanya apabila hal tersebut hanya menjadi wacana, apalagi apabila hal ini terjadi berulang kali.

Selamat hari raya Idul Fitri, semua!
Saya tidak percaya orang bisa memulai lagi dari awal. Setiap tindakan yang kita lakukan akan meninggalkan bekas pada diri kita dan orang lain yang terlibat. Saya tidak percaya setelah ritual maaf-maafan setiap tahun segala sesuatunya akan serta merta menjadi baik kembali. Diperlukan usaha terus-menerus untuk bisa menjadi baik, dan hal itu tidak mudah. Karena mengevaluasi diri terus-menerus itu melelahkan, demikian juga melawan ego yang sering kali tidak mau menerima bahwa dia telah melakukan kesalahan. Tapi suka atau tidak hal itulah yang harus dilakukan.

Akhir kata, selamat Idul Fitri bagi kita semua. Semoga kita semua mau melaksanakan proses panjang menuju fitrah. Mudah-mudahan kita akan mampu meminta maaf tidak hanya lewat perkataan tetapi juga lewat pikiran dan perbuatan kita. Dan semoga kita bisa senantiasa membangun hubungan baik dengan sesama manusia dan juga dengan Tuhan yang maha esa, tidak peduli apa agama kita. Minal aidin wal faidzin!

*Gambar Sorry diambil dari alamat ini dan gambar Eid Mubarak diambil dari alamat ini.

Tuesday, August 14, 2012

Berbeda, Maka?

Akhir-akhir ini saya merasa orang-orang (terutama warga Jakarta) menjadi lebih sensitif; unfortunately; not in a good way. Berdasarkan yang saya lihat, orang-orang menjadi cenderung lebih defensif ketika menyangkit dirinya sendiri dan di sisi lain mulai xenophobic terhadap hal-hal selain dirinya. Hal ini menyebabkan mereka seringkali bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya remeh. Perwujudan egoisme? Mungkin. Tapi mungkin juga paranoia.

Alasan saya mengungkit hal diatas karena akhir-akhir ini, media massa di Jakarta (kalau bukan di seantero Indonesia) diramaikan dengan isu-isu seputar suku, agama, dan ras. Dipicu oleh kampanye untuk putaran kedua Pilkada yang prosesnya, menurut saya, tidak anggun, isu SARA kembali menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan bahkan diperdebatkan. Tidak, saya tidak akan membicarakan proses Pilkada. Sudah terlalu banyak yang melakukan hal tersebut. Saya hanya ingin membicarakan efek domino dari perebutan kekuasaan semu tersebut.

Fakta: Perbedaan Itu Nyata
 
Berbeda itu indah

  Saya kira tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia ini, perbedaan itu ada dan nyata. Jauh di dalam hati, tentu masing-masing dari kita ingin menjadi berbeda; karena lewat perbedaan itulah kita bisa menonjolkan diri kita. Otherwise we would just be a statistic; and statistic, as we all know, is boring. Ya, kalau berani jujur, saya pikir kita semua punya hasrat untuk dilihat sebagai diri kita sendiri. Karena itulah kita berusaha menunjukkan kualitas-kualitas kita ke mata dunia; dan di sisi lain mulai memberi jarak antara diri kita dan orang lain dengan menentukan batas-batas dalam bentuk perbedaan.

Perbedaan itu bisa apa saja. Dari perbedaan fisik seperti warna kulit dan bentuk badan, perbedaan identitas seperti agama dan aliran politik, sampai perbedaan preferensi seperti warna dan makanan favorit. Sayangnya, dalam upaya kita menjadi berbeda, tingkat toleransi kita terkompromikan. Kita hanya mau menerima perbedaan sampai batas comfort zone kita. Segala sesuatu di luar itu adalah keanehan yang mengancam. Dan salah.

Ironis sebenarnya, dalam rangka mengejar individualitas kita justru mengasosiasikan diri kita dengan kelompok-kelompok. Kita menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai perlindungan, tempat kita merasa nyaman dan aman. Tidak salah sih, toh mencari rasa aman adalah suatu hal yang naluriah. Permasalahannya adalah ketika orang terjebak dalam euforia kelompok dan melupakan bahwa ada kelompok-kelompok lain.

Perbedaan = Konflik?
Tidak bisa dipungkiri, seringkali perbedaan dan pembedaan menyebabkan friksi antar manusia dan antar kelompok. Tapi, sebagaimana yang saya pelajari di bangku kuliah, konflik tidak selalu buruk. Kadang konflik justru dapat mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, tergantung cara kita menyikapi dan mengatasi konflik tersebut. Dalam hal ini, kebijaksanaan dan kerendahan hati menjadi penting. Kenapa? Karena konflik muncul karena ada lebih dari satu kepentingan; dan kesediaan mengakui dan menolerir kepentingan lain penting dalam resolusi konflik.

Dalam lagunya yang bertajuk Beauty of Grey, Live mengatakan: "...the perception that divides you from him is a lie, for some reason we never ask why." Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ini sih. Kenyataannya seperti yang saya katakan tadi, perbedaan itu ada dan nyata. Tapi perlu diingat bahwa identitas adalah sesuatu yang punya aspek cross-cutting. Kalaupun berbeda di salah satu aspek, pasti kita juga punya persamaan di aspek lain. Tidak mungkin tidak. Permasalahannya kita tak pernah repot-repot bertanya, sebenarnya apa sih persamaan dan perbedaan di antara kita?

Balik ke isu SARA yang sekarang sedang ramai, banyak orang membuat pernyataan bahwa isu SARA tidak boleh diangkat, apalagi di ruang publik. Saya sangat tidak setuju. Justru karena isunya ada dan sensitif, maka perlu dibicarakan. Ketidaktahuan itulah yang membuat orang meliyankan sesuatu. Ketika ada ruang untuk diskusi dan saling mengenal, barulah pengertian bisa tumbuh. Tapi ya itu, dalam berdiskusi kita harus mau menurunkan benteng kita dan mau menerima penjelasan dari pihak lain. Kalau tidak, yang ada jadinya malah debat kusir.

Maka?
Ada beberapa hal yang menurut saya penting ketika menyikapi isu SARA. Pertama, perbedaan itu nyata dan adalah bodoh ketika kita berusaha menafikkannya. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir konflik negatif, kita harus bersedia membuka diri dan mempelajari hal-hal di luar zona nyaman kita. Tanpa hal ini, maka mau tidak mau kita akan terperangkap dalam xenofobia yang menjadikan kita defensif sampai pada taraf ofensif.

Kedua, kelompok dibentuk oleh individu-individu dengan pengalaman dan persepsinya masing-masing. Hindari generalisasi dan stereotip. Dalam setiap kelompok pasti ada individu yang baik dan juga jahat, yang reseh dan juga asyik. Ya, mereka punya persamaan; but guess what? Some of them have similarities with you too. Bahkan mungkin lebih banyak dari yang anda bayangkan sebelumnya.

Ketiga, bagaimanapun berbedanya kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan. Penting untuk memanusiakan manusia. Meskipun dalam beberapa kasus, saya merasa sulit melakukannya, tapi saya selau berusaha mengingat hal ini. Berusaha memberikan setiap orang respek yang layak mereka dapatkan, simply karena dia manusia.

Keempat, selalu gunakan logika dan empati dalam menyikapi informasi. Hanya karena seseorang lebih terpandang, tua, atau hafal kitab suci bukan berarti dia tau semuanya. Olah setiap informasi yang anda terima dengan otak dan hati. Coba bayangkan anda ada di posisi orang lain; apa kepentingannya? apa kesusahannya? apa yang melatarbelakangi tindakannya? Meski mungkin tidak mungkin memahami 100% tentang orang lain, tapi tindakan ini bisa memperluas persepsi anda, dan juga menjadikan anda lebih bijaksana.

Gambar diambil dari alamat ini.