Tuesday, August 14, 2012

Berbeda, Maka?

Akhir-akhir ini saya merasa orang-orang (terutama warga Jakarta) menjadi lebih sensitif; unfortunately; not in a good way. Berdasarkan yang saya lihat, orang-orang menjadi cenderung lebih defensif ketika menyangkit dirinya sendiri dan di sisi lain mulai xenophobic terhadap hal-hal selain dirinya. Hal ini menyebabkan mereka seringkali bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya remeh. Perwujudan egoisme? Mungkin. Tapi mungkin juga paranoia.

Alasan saya mengungkit hal diatas karena akhir-akhir ini, media massa di Jakarta (kalau bukan di seantero Indonesia) diramaikan dengan isu-isu seputar suku, agama, dan ras. Dipicu oleh kampanye untuk putaran kedua Pilkada yang prosesnya, menurut saya, tidak anggun, isu SARA kembali menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan, didiskusikan, dan bahkan diperdebatkan. Tidak, saya tidak akan membicarakan proses Pilkada. Sudah terlalu banyak yang melakukan hal tersebut. Saya hanya ingin membicarakan efek domino dari perebutan kekuasaan semu tersebut.

Fakta: Perbedaan Itu Nyata
 
Berbeda itu indah

  Saya kira tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia ini, perbedaan itu ada dan nyata. Jauh di dalam hati, tentu masing-masing dari kita ingin menjadi berbeda; karena lewat perbedaan itulah kita bisa menonjolkan diri kita. Otherwise we would just be a statistic; and statistic, as we all know, is boring. Ya, kalau berani jujur, saya pikir kita semua punya hasrat untuk dilihat sebagai diri kita sendiri. Karena itulah kita berusaha menunjukkan kualitas-kualitas kita ke mata dunia; dan di sisi lain mulai memberi jarak antara diri kita dan orang lain dengan menentukan batas-batas dalam bentuk perbedaan.

Perbedaan itu bisa apa saja. Dari perbedaan fisik seperti warna kulit dan bentuk badan, perbedaan identitas seperti agama dan aliran politik, sampai perbedaan preferensi seperti warna dan makanan favorit. Sayangnya, dalam upaya kita menjadi berbeda, tingkat toleransi kita terkompromikan. Kita hanya mau menerima perbedaan sampai batas comfort zone kita. Segala sesuatu di luar itu adalah keanehan yang mengancam. Dan salah.

Ironis sebenarnya, dalam rangka mengejar individualitas kita justru mengasosiasikan diri kita dengan kelompok-kelompok. Kita menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai perlindungan, tempat kita merasa nyaman dan aman. Tidak salah sih, toh mencari rasa aman adalah suatu hal yang naluriah. Permasalahannya adalah ketika orang terjebak dalam euforia kelompok dan melupakan bahwa ada kelompok-kelompok lain.

Perbedaan = Konflik?
Tidak bisa dipungkiri, seringkali perbedaan dan pembedaan menyebabkan friksi antar manusia dan antar kelompok. Tapi, sebagaimana yang saya pelajari di bangku kuliah, konflik tidak selalu buruk. Kadang konflik justru dapat mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, tergantung cara kita menyikapi dan mengatasi konflik tersebut. Dalam hal ini, kebijaksanaan dan kerendahan hati menjadi penting. Kenapa? Karena konflik muncul karena ada lebih dari satu kepentingan; dan kesediaan mengakui dan menolerir kepentingan lain penting dalam resolusi konflik.

Dalam lagunya yang bertajuk Beauty of Grey, Live mengatakan: "...the perception that divides you from him is a lie, for some reason we never ask why." Saya tidak sepenuhnya setuju dengan ini sih. Kenyataannya seperti yang saya katakan tadi, perbedaan itu ada dan nyata. Tapi perlu diingat bahwa identitas adalah sesuatu yang punya aspek cross-cutting. Kalaupun berbeda di salah satu aspek, pasti kita juga punya persamaan di aspek lain. Tidak mungkin tidak. Permasalahannya kita tak pernah repot-repot bertanya, sebenarnya apa sih persamaan dan perbedaan di antara kita?

Balik ke isu SARA yang sekarang sedang ramai, banyak orang membuat pernyataan bahwa isu SARA tidak boleh diangkat, apalagi di ruang publik. Saya sangat tidak setuju. Justru karena isunya ada dan sensitif, maka perlu dibicarakan. Ketidaktahuan itulah yang membuat orang meliyankan sesuatu. Ketika ada ruang untuk diskusi dan saling mengenal, barulah pengertian bisa tumbuh. Tapi ya itu, dalam berdiskusi kita harus mau menurunkan benteng kita dan mau menerima penjelasan dari pihak lain. Kalau tidak, yang ada jadinya malah debat kusir.

Maka?
Ada beberapa hal yang menurut saya penting ketika menyikapi isu SARA. Pertama, perbedaan itu nyata dan adalah bodoh ketika kita berusaha menafikkannya. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir konflik negatif, kita harus bersedia membuka diri dan mempelajari hal-hal di luar zona nyaman kita. Tanpa hal ini, maka mau tidak mau kita akan terperangkap dalam xenofobia yang menjadikan kita defensif sampai pada taraf ofensif.

Kedua, kelompok dibentuk oleh individu-individu dengan pengalaman dan persepsinya masing-masing. Hindari generalisasi dan stereotip. Dalam setiap kelompok pasti ada individu yang baik dan juga jahat, yang reseh dan juga asyik. Ya, mereka punya persamaan; but guess what? Some of them have similarities with you too. Bahkan mungkin lebih banyak dari yang anda bayangkan sebelumnya.

Ketiga, bagaimanapun berbedanya kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan. Penting untuk memanusiakan manusia. Meskipun dalam beberapa kasus, saya merasa sulit melakukannya, tapi saya selau berusaha mengingat hal ini. Berusaha memberikan setiap orang respek yang layak mereka dapatkan, simply karena dia manusia.

Keempat, selalu gunakan logika dan empati dalam menyikapi informasi. Hanya karena seseorang lebih terpandang, tua, atau hafal kitab suci bukan berarti dia tau semuanya. Olah setiap informasi yang anda terima dengan otak dan hati. Coba bayangkan anda ada di posisi orang lain; apa kepentingannya? apa kesusahannya? apa yang melatarbelakangi tindakannya? Meski mungkin tidak mungkin memahami 100% tentang orang lain, tapi tindakan ini bisa memperluas persepsi anda, dan juga menjadikan anda lebih bijaksana.

Gambar diambil dari alamat ini.

No comments:

Post a Comment