Saturday, May 24, 2014

Stuck on You

Beberapa wakktu terakhir, timeline saya dipenuhi orang-orang yang mengeluhkan sikap yang diambil oleh salah satu staf pengajar di almamater saya, yang entah kenapa namanya masih terdaftar, padahal sudah tidak pernah mengajar sejak entah kapan. Sebagai anggota angkatan yang sudah tidak pernah bertemu beliau secara intens, saya sih nggak terlalu mengerti ya kenapa orang-orang bisa segitu kecewanya sama si Bapak ini. Personally, menurut saya apabila kita melihat track record si Bapak selama ini, keputusan yang dia ambil kali ini sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Tapi mungkin beda ya, kalau kenal secara personal. It creates emotional attachment; and emotional attachment, as we all know, clouds judgement.

Tapi saya tidak akan membicarakan soal situasi politik Indonesia yang semakin memanas menjelang pemilihan presiden. Terlalu mainstream. Biarlah teman-teman lain yang lebih paham isu saja yang membicarakan soal itu. Saya ingin membicarakan soal loyalitas.

Beberapa waktu yang lalu, salah satu teman saya mendapat kesempatan kerja yang luar biasa. Kesempatan kerja ini memberikan dia kesempatan mengembangkan diri, dan sangat sesuai dengan passion-nya. Yang sedikit membingungkan adalah, di kala itu, institusi tempatnya bekerja mengatakan akan melepaskan teman saya itu, karena toh dia akan kembali lagi ke institusi mereka. Menurut saya respon ini agak aneh. Setiap orang punya hak untuk mengembangkan diri mereka dalam konteks profesional. Ketika suatu wadah tidak lagi bisa menaungi kebutuhan seseorang untuk berkembang, sudah tidak bisa menawarkan apa-apa untuk pengembangan diri, apakah seseorang harus tetap bertahan for the sake of loyalty? Terkait situasi ini, kakak saya memberikan respon yang menurut saya cukup nendang. Tetaplah loyal pada tujuan yang ingin kamu capai, bukan pada institusi.

I totally can relate with what she said, dan menurut saya hal ini bisa juga diterapkan dalam konteks yang saya sebut di awal tulisan ini. Saya sadar bahwa banyak orang menghormati Bapak-yang-mengaku-dosen itu. Penghormatan ini muncul karena at one point, Bapak ini bukan hanya seorang figur yang luar biasa, tapi juga revolusioner. Saya mengerti mengapa begitu banyak orang yang menghormati si Bapak. Orang-orang melihat betapa briliannya beliau dan bisa memahami dan menyetujui perjuangan beliau. Dan hal tersebut adalah alasan yang sangat valid untuk menghormati seseorang.

Yang jadi masalah (menurut saya), adalah masyarakat punya kecenderungan mengultuskan suatu figur: "Wah pemikiran beliau keren sekali, maka sudah pastilah beliau sepanjang hidupnya akan keren. Maka dengan demikian sebagai orang yang Indonesia yang loyal akan mengikuti beliau kemanapun beliau pergi." Naif, menurut saya. Dan agak beresiko. Menggantungkan kesetiaan pada satu figur atau institusi atau kelompok, apalagi di tingkat hard core, akan mematikan kemampuan individu untuk berpikir kritis. Jadinya yang ada ya pack mentality. Kemanapun kawanan saya pergi saya akan selalu mengikuti.

Ini yang saya lihat dilakukan oleh banyak orang di tengah-tengah situasi sosial-politik yang semakin lama semakin kacau. Orang-orang sepertinya mulai malas menentukan prinsip-prinsipnya dan membentuk pemikiran-pemikirannya sendiri. Akhirnya, mereka mengadopsi mentah-mentah secondhand thoughts dari orang lain. Bisa jadi orang tersebut adalah guru, bos, alim ulama, atau bahkan BFF; yang jelas, apapun yang dikatakan oleh figur yang tampaknya dapat dipercaya tersebut pastilah yang terbaik. Mungkin yang dirasakan orang-orang mirip seperti yang pernah dikatakan Sting ya. "If I ever lose my faith in you, there'll be nothing left for me to do." Maaf ya, Eyang Sting, I love you to the moon and back, but I would have to disagree with you on this.

I am a self-proclaimed realist, saya percaya orang akan mengambil keputusan yang memjamin keberlangsungan mereka sendiri. Terlepas dari romantisme apapun yang kita yakini, mempercayai bahwa manusia yang punya egoisme akan membuat setiap keputusan berdasarkan kepentingan kita, for as long as they shall live, adalah keyakinan yang terlampau naif.

Kembali lagi ke urusan loyalitas; buat saya loyalitas itu penting. Orang yang punya integritas harus punya loyalitas. Kalau nggak loyal, ya jadinya mencla-mencle kalau kata orang Jawa. Tapi loyalitas kepada apa? Saya pikir yang penting adalah loyalitas kepada nilai, prinsip, dan tujuan yang kita yakini. Apabila menemukan figur yang terang-terangan memperjuangkan nilai, prinsip, dan tujuan yang kita miliki; maka adalah hal yang wajar apabila kita mendukung orang tersebut, sampai tahap militan apabila diperlukan. Tapi saya pikir manusia juga harus jeli dalam melihat, apakah orang yang kita dukung masih mendukung kita? Apakah dia sendiri masih loyal dengan nilai, prinsip, dan tujuan yang membuat kita memberi dukungan kita kepadanya? Kalau tidak, yakin masih mau mendukung orang tersebut?