Sunday, June 28, 2015

To Live is To Love



"To make those rainbows in my mind
When I think of you some time
And I want to spend some time with you" 

***

Jatuh cinta itu perasaan yang sangat menyenangkan, bukan? That sense of excitement, that constant urge to smile, that longing for one more text from the person, that sting of jealousy seeing the person talking with another. Saya sih bukan orang yang romantis-romantis amat ya, tapi buat saya, being in love makes me a better (and a slightly more stupid) person, and I LOVE it. Saya juga senang melihat orang lain jatuh cinta. Buat saya tidak ada yang lebih hidup daripada orang yang sedang jatuh cinta. And I think every single thing about falling in love is worth the emotional roller coaster.

Dan atas alasan tersebutlah maka saya bergembira ketika hari Jumat kemarin secara nasional Amerika mengakui pernikahan sesama jenis. Kalau kata salah satu kolega saya di facebook: "Yang terjadi di amerika hari2 terakhir ini bukan sekedar urusan kawin, tapi bagaimana sistem hukum merespon hak asasi manusia, bagaimana penegak hukum memberi makna baru bagi teks2 hukum dan jurispridensi, dan yang paling penting adalah bagaimana agama tidak masuk dalam sistem hukum." (Pratiwi, 2015).

Buat saya, dengan memberikan pengakuan bahwa komunitas LGBTQ berhak untuk melakukan pernikahan antara mereka, pemerintah Amerika memaksa banyak warganya untuk mengakui apa yang mereka tolak untuk akui: bahwa kelompok ini ada.

***

Manusia selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dengan caranya sendiri. Setiap hal yang dilakukan manusia selama hidupnya didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat hidup mereka lebih baik. Meskipun kadang dalam proses tersebut, mereka mengambil jalan yang dapat merusak diri mereka sendiri dan orang lain. Untuk meyakinkan diri bahwa jalan yang dilakukan sudah benar, kita meliyankan orang lain. Menempatkan mereka sebagai kontras untuk memberi gelap pada hidup kita yang kita anggap terang. You can do all in your power to deny it, but deep down inside, you know I'm right. =P

Jauh lebih mudah memang, untuk meyakini bahwa yang kita lakukan benar dan yang dilakukan orang lain salah. I know, because sometimes I do that to superficially makes me feel better for a while. Mengerikan membayangkan bahwa hal yang kita percayai sesungguhnya bukan hal yang benar. Sayangnya, kita tidak akan pernah benar-benar tahu mana yang namanya kebenaran mutlak. Yang bisa kita ketahui hanya realita kita, dan realita sangat dipengaruhi oleh subjektivitas.

Photo credit: Blue Snapper
Sekarang siapa sih yang bisa bilang kalau dia benar-benar tahu apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang yang jatuh cinta sama sesama jenis? Like, for a fact? Meskipun kita tidak ingin mengakuinya, kenyataannya all that we know about sin are just secondhand information. They are merely things we know from everyone else. Tidak setuju? Yakin sepenuh hati LGBTQ bakal masuk neraka? Situ pernah ketemu Tuhan dan ngobrolin soal ini? Nggak juga kan?

Saya tidak akan memaksa kalian meyakini bahwa diakuinya pernikahan sejenis di Amerika adalah hal yang baik. Kalian berhak mempunyai pendapat kalian masing-masing. Besides, I have realised for a long time that I cannot control what other people think or do. Even though the world will be a lot better if I can.

***

Anyway, salah satu teman juga menanyakan di status facebooknya apakah kami (yang memasang rainbow pride sebagai foto profil kami) akan menerima apabila anak kami suatu saat mengakui bahwa dirinya gay dan ingin menikahi pasangannya. Percaya atau tidak, saya sudah menanyakan pertanyaan ini pasa diri saya sendiri, ketika saya memikirkan apakah aya betul-betul sepenuhnya menerima dan mengakui LGBTQ. 

Saya sudah melihat bagaimana beratnya menjadi gay di dalam lingkungan yang tidak bisa menerima mereka. Saya juga melihat bagaimana pasangan gay bisa bahagia. Jauh lebih bahagia dari kebanyakan pasangan heterosexual; dan mereka yang diterima oleh keluarganya juga jauh lebih bahagia lagi. Dan buat saya, sangat penting melihat anak-anak saya (mengasumsikan akan ada ya) bahagia.