Sunday, May 27, 2012

Disfungsi Empati


Sudah sekitar dua bulan saya hijrah ke kota Jakarta setelah menghabiskan lebih dari tujuh tahun terakhir di kota Yogyakarta. Bagi banyak orang tinggal di kota Jakarta mungkin bukan merupakan hal yang menyenangkan, tapi saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di kota ini. Terus terang saja, perubahan tempat tinggal ini terasa menyegarkan. Bagaimanapun menyenangkannya kota Yogya, saya merasa saya sudah cukup tinggal di sana. Paling tidak untuk saat ini.

Sebagai orang yang baru saja lepas dari bangku kuliah, kegiatan saya di kota Jakarta diwarnai dengan mencari kerja. Saya mengirimkan banyak lamaran dan menghabiskan mayoritas waktu saya di Jakarta menunggu respon atas lamaran yang saya kirimkan. Apa boleh, buat, saya memang belum berminat menciptakan lapangan kerja. Ketika lamaran saya akhirnya direspon oleh pihak penyedia lapangan kerja, maka tindakan yang selanjutnya saya lakukan adalah mendatangi penyedia lapangan kerja untuk melaksanakan tes ataupun wawancara. Dikarenakan ketiadaan kemampuan mengendarai kendaraan bermotor, maka saya menggantungkan diri pada sistem transportasi umum yang beroperasi di daerah Jakarta dalam rangka mendatangi para penyedia lapangan kerja.

Untuk kalian yang mulai bertanya-tanya apa hubungan empati dengan curhat saya di atas, jangan khawatir. Sebentar lagi semuanya akan menjadi jelas. Sebelum saya pindah ke Yogyakarta, saya sudah cukup akrab dengan bis kota, mengingat bahwa hampir setiap hari saya menggunakan moda transportasi tersebut. Namun, akhir-akhir ini saya lebih tertarik menggunakan sarana Transjakarta dan Commuter Line karena saya bisa menghemat cukup banyak waktu dibandingkan ketika saya menggunakan bis kota. Kedua sarana transportasi ini dapat dikatakan selalu penuh pada jam-jam berangkat dan pulang kerja pegawai. Berdiri saja sulit, apalagi mendapat tempat duduk. Kecuali anda berangkat dari perentian pertama, sepertinya duduk adalah hal yang cukup mustahil. Tidak masalah untuk saya, karena meskipun berperawakan kecil, saya merasa cukup sehat sehingga berdiri selama 1-2 jam di kendaraan umum tidak terlalu mengganggu saya.

Hal yang menurut saya mengganggu justru adalah orang-orang yang kesulitan berdiri dan memberikan tempat duduk bagi orang yang lebih membutuhkan. Meskipun di dalam kereta dan bus Transjakarta jelas-jelas ada tulisan yang menyatakan untuk memberi prioritas bagi orang lanjut usia, orang diffable, wanita hamil, dan orang yang membawa balita, saya menyaksikan banyak orang nampaknya pura-pura tidak memahami himbauan tersebut. Banyak anak muda dengan perawakan sehat tidak mau berdiri dan memberikan tempat duduknya, bahkan ketika petugas sudah terang-terangan meminta mereka untuk berdiri dan memberikan tempat duduk.

Berdasarkan pemahaman saya respon alami manusia ketika melihat orang lain kesusahan (seperti misalnya melihat  orang usia lanjut yang kesusahan berdiri dalam bis yang penuh) adalah turut merasakan kesulitan tersebut. Karena semua manusia (dengan pengecualian mereka yang sosiopat tentunya) mempunyai kemampuan berempati. Kemampuan inilah yang menyebabkan kita tersenyum ketika melihat teman kita mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya atau berjengit ketika melihat jari ibu kita teriris pisau ketika memasak. Aneh ketika seseorang melihat kesusahan orang lain tapi memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.

Seperti halnya kebiasaan merokok, saya percaya bahwa keputusan untuk tidak melakukan hal yang benar dan baik ini merupakan kebiasaan yang dilatih. Bahasa kerennya acquired habit. Untuk sampai pada tahap dimana ia bisa dengan tenang mengabaikan penderitaan orang (sekecil apapun itu) saya percaya bahwa orang harus membiasakan diri untuk tidak merespon dorongan empatis dari dalam dirinya. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa orang-orang ini bukannya tidak punya empati, tapi karena kebiasaan, maka dorongan empatis dalam diri mereka sudah tidak berefek lagi. Keadaan ini yang kemudian saya sebut sebagai disfungsi empati.

Pertanyaannya: apakah kita rela masyarakat kita terjangkit disfungsi empati? Terus terang saya tidak rela. Bukannya saya merasa saya sudah selalu melakukan hal yang benar, tapi sepertinya tidak ada salahnya kita mengingatkan orang-orang agar peduli kepada keadaan di sekitarnya. Paling tidak itulah yang saya coba lakukan dengan menulis artikel ini. At the very least, marilah kita mencoba introspeksi diri dan terus menerus mengingatkan diri kita untuk tidak mengabaikan dorongan empati yang kita rasakan dan mulai mengurangi keegoisan kita masing-masing untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

2 comments: