Kemarin saya dan dua teman saya melakukan rangkaian perjalanan impulsif. Lapar, lalu pergi makan di tempat makan baru dilanjutkan karaoke di tempat beraroma tradisional-nasionalis yang belum pernah kami coba sebelumnya. Perjalanan impulsif kami mencapai klimaks ketika kami memutuskan untuk menonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto (sejak saat ini akan dikenal sebagai Tjokro) malam harinya. Dengan cotton sleeveless top dan celana pendek, tanpa membawa jaket. Baru menyadari kemungkinan hipothermia ketika sudah sampai di teater.
Credit: DK |
***
Sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan Soegija. Terutama, karena Soegija tidak bisa memenuhi ekspektasi saya (for the sake of traffic, silahkan baca artikel ini). Jadi, saya masuk ke ruangan teater sambil berpikir: "Sama Soegija bagusan mana ya?" Dan setelah menonton film Tjokro, saya merasa bahwa film ini jauh lebih menarik untuk saya. Bukan, bukan karena sekelibat adegan Reza Rahardian menunggang kuda menggunakan beskap dan blangkon. Paling tidak bukan itu alasan satu-satunya.
Satu hal yang saya sadari ketika menonton film Tjokro adalah betapa gagalnya kurikulum sejarah nasional bangsa Indonesia. Saya ingat belajar soal H.O.S. Tjokroaminoto di sekolah. Tentang SDI yang berubah menjadi SI, terpecah menjadi dua, dan menjadi cikal bakal PKI. Tapi ketika itu saya sama sekali tidak tergugah dengan kisah beliau. Mungkin karena saya juga masih sangat muda kala itu dan belum bisa memahami kompleksitas dinamika sosial-politik-ekonomi yang dihadapi tokoh-tokoh di buku sejarah. Meski demikian, saya pikir sebagian kesalahan ada pada kurikulum sejarah yang terlalu memberi penekanan pada segi kronologis dan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Sayang, padahal apabila disampaikan dengan metode yang tepat, kisah sejarah dapat menginspirasi generasi muda dan menumbuhkan nasionalisme. Jauh lebih efektif daripada upacara bendera seminggu sekali.
***
Laki-laki cerdas nan tampan, berkharisma kuat, berwajah lokal, berpakaian tradisional, dengan aura cenderung kekirian. *kipas2* |
Jejeran artis Indonesia ternama yang ditawarkan film ini jelas tidak mengecewakan. Ada Reza Rahardian yang, meskipun overexposed, mampu berakting dengan apik; Sujiwo Tejo yang dramatis (saya masih suka mendengarkan lagu-lagu beliau dari masa sebelum beliau kenal twitter); Alex Komang yang saya masih tidak percaya telah tiada; Ibnu Jamil dan Christine Hakim yang dialeknya sangat believable *standing applause*; dan serentetan artis lain yang sukses menghidupkan narasi cerita ini. Berbeda dengan Soegija, interaksi antar tokoh dalam film Tjokro terasa cair dan tidak dipaksakan. Dengan perkecualian satu tokoh yang, menurut teman saya, dimasukkan dalam cerita dalam rangka menjaring massa MBDC.
Hal lain yang membuat saya senang menonton film ini: berbeda dengan Soegija yang terkesan menglorifikasi perang, perjuangan yang diangkat di film Tjokro jauh lebih terasa dekat. Rasa frustrasi yang dirasakan para tokoh, pilihan-pilihan strategis yang dibuat, kesempatan untuk menyerap semangat dan ilmu serta mengembangkan pemikiran kritis, dan di sisi lain juga melepaskan diri dari mentor yang selama ini membimbing buat saya jauh lebih relatable daripada adegan-adegan perang yang mendapat sorotan di film Soegija. Lebih respectable juga.
***
Doe-eyed, clingy girl that plays victim to get men's attention. Sorry girl, I don't buy it! (Credit: Mara Carr) |
Apabila beliau didasari atas tokoh nyata, I think she has been unfairly portrayed, karena Stella dalam film Tjokro tampak seperti fangirl dengan daddy issue yang mengikuti kemana saja Tjokro pergi dan mencari kesempatan untuk bicara barang sebentar dengan ksatria berkuda putih yang dianggapnya bisa menyelamatkan dirinya dari dunia yang kejam. Dan kalau beliau hanya tokoh rekaan, saya pikir tokoh Mbok Tun bisa dengan lebih efektif menyentil isu identitas tanpa harus buang-buang air time.
Kelemahan lain ada di inkonsistensi. Apabila mau menekankan penggunaan bahasa daerah, akan lebih baik apabila bahasa daerah tersebut digunakan dengan konsisten. Apabila tidak bisa membedakan penggunaan bahasa kromo dan ngoko, serta dialek Jawa Timur dan Yogyakarta, ada baiknya gunakan saja bahasa Indonesia.But then again, saya sukaaa gojek kere yang ditampilkan di sepanjang film.
All in all, quite a good movie (setelah semua adegan menyangkut Stella dihilangkan ya). Watching the movie, I can't help to feel amazed by the characters and the life they are living, the determination they are feeling, and the struggle they are facing.<3
No comments:
Post a Comment