SETUJUUU..!! *lah, semangat* Gambar diambil dari laman Facebook seorang kawan. Nggak tahu beliau dapat dari mana. |
The Unexpected Question
Di akhir sesi diskusi ini, salah satu teman transgender melempar pertanyaan: "Apabila suami/istri kalian kepergok sedang 'berhubungan' dengan orang sesama jenis, apa yang akan kalian lakukan?" Pertanyaan yang menarik sekali. Untuk saya sih simpel. Ini sama sekali bukan masalah preferensi seksual. Ini masalah kejujuran, respek, dan juga pilihan sadar.
Reaksi saya kalau hal itu terjadi? Ya ngamuk lah! Dalam hubungan yang sifatnya eksklusif, mbok mau 'hubungan' ini dilakukan pasangan dengan orang dengan jenis kelamin lain maupun sama, saya bakalan tetap ngamuk. Kenapa? Karena ini masalah integritas. Kecuali ada konsesi bahwa ada ruang-ruang untuk orang lain dalam hubungan, maka setiap orang yang terlibat dalam hubungan tersebut dituntut untuk berusaha mempertahankan komitmen. Karena ketika membuat komitmen, ada implikasi dan konsekwensi yang inheren dengan komitmen tersebut. Salah satunya ya dengan cara mengontrol libido dan mengambil pilihan yang sejalan dengan komitmen tersebut. Asumsinya, setiap orang yang sudah dewasa bisa mengerti ini. Tapi ternyata ya nggak juga tuh. *eh, curcol*
OK!! Eh, apa tadi? Credit: IFAD |
Saya mendengar hal menarik ketika menonton salah satu serial di TV kabel beberapa hari berselang: "The only thing that we can control in a relationship is our own honesty. We can only hope that the other person will do the same." Sebuah hubungan yang bermakna; entah itu hubungan asmara, pertemanan, profesional, atau apapun itu; harus dilandasi oleh kejujuran, yang mana akan mengarah kepada rasa saling percaya. And trust requires constant maintenance.
Saya ingat ketika saya melamar di organisasi saya sekarang. Salah satu pertanyaan bos saya ketika itu adalah "Do you know about logframes?" dan dengan PD saya menjawab: "No. What is that?" Keputusan tepat untuk dilakukan, if I might say so myself. Karena tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari, dan dengan jujur tidak akan ada ekspektasi yang tidak sesuai. Toh saya tetap diterima di posisi yang saya lamar, jadi saya mengasumsikan bahwa kejujuran saya diapresiasi. Hahaha...
R.E.S.P.E.C.T
Balik lagi ke pertanyaan tadi. Salah satu teman saya menjawab bahwa apapun yang terjadi, ya sebagai orang terdekat kita harus tetap mendukung. Well, good for you if you can do that, Mas. Terus terang saya mengatakan bahwa saya tidak akan bisa melakukannya. Dan saya juga tidak mau. Does that make me a homophobic? I don't think so. It made me a person that deserves to be treated with respect.
Berbeda dengan keluarga biologis yang sifatnya given, pernikahan merupakan buah dari keputusan yang dibuat secara sadar. Dengan memutuskan untuk menikahi seseorang dari jenis kelamin yang berbeda, bahkan ketika kita mengetahui bahwa kita lebih tertarik (dan juga kompatibel) dengan sesama jenis, kita secara sadar memutuskan akan mengorbankan pihak yang kita nikahi; karena in one way or the other, akan ada pihak yang terluka. Buat saya, ini tidak adil. Ceritanya akan berbeda ketika dari awal ada arrangement antara kedua belah pihak. Yang penting (buat saya, paling tidak) adalah memberikan counterpart pilihan untuk ikut dengan skema yang ditawarkan atau mencari opsi lain yang lebih sesuai.
Post-Script
Credit: CultNoise Magazine |
As another side note, diskusi kemarin menjalar ke diskusi-diskusi informal lain. Di setiap diskusi tersebut, orang-orang yang berdiskusi dengan saya selalu menggunakan kata 'kita' dan 'mereka' dalam pembicaraan. Bahkan bagi orang yang bekerja di "organisasi berbasis hak" seperti tempat saya bekerja, masih sulit untuk tidak meliyankan kelompok marjinal. Tanpa kita sadari, pola pikir "ya, hal tersebut ada, tapi tidak di sekeliling saya," sebenarnya juga merupakan salah satu upaya menyangkal keberadaan kelompok marjinal. Padahal siapa coba yang bisa memastikan kalau yang diajak bicara itu juga bukan LGB? Barangkalicuma nggak ngomong aja.
No comments:
Post a Comment