Tuesday, May 12, 2015

Antara Hak dan Pilihan untuk Menyakiti

Di penghujung minggu kemarin, kantor saya menggelar sesi diskusi dengan kelompok LGBT. Tujuannya simpel, untuk memanusiakan teman-teman dari kelompok ini di mata teman-teman kantor. Selama ini kita menganggap bahwa kita berpikiran terbuka terhadap teman-teman dari kelompok marjinal ini, tapi berapa banyak dari kita yang secara sadar pernah berinteraksi dengan mereka? Dengan mendatangkan teman-teman dari kelompok LGBT ke hadapan kami, kantor kemudian memberi wajah kepada sebuah fenomena yang sebelumnya abstrak. Ini lo, wujudnya kelompok marjinal ini. Mereka bukan semata sebuah wacana yang diciptakan untuk menggugah kesadaran kita.

SETUJUUU..!! *lah, semangat*
Gambar diambil dari laman Facebook seorang kawan.
Nggak tahu beliau dapat dari mana.
Saya sendiri sudah cukup banyak berinteraksi secara sadar dengan teman-teman LGBT. Saya tahu mereka gay dan kami tetap bisa menjalin pertemanan yang bermakna. Buat saya sih tidak ada bedanya LGBT dengan orang-orang "normal". LGBT bisa jatuh cinta dan juga punya preferensi dalam menentukan penampilan. Toh seperti yang dikatakan bos saya tadi pagi, "Di beberapa wilayah, orang yang berpakaian berbeda kayak kamu ini ya bisa dimarjinalisasi dan diusir dari komunitas." Iya sih. Tidak perlu beda-beda banget untuk membuat orang lain merasa tidak nyaman. Kadang perbedaan kecil saja bisa dipermasalahkan. Masalah simpel sebenarnya, sayangnya mayoritas orang nampaknya punya hobi untk membuat suatu masalah lebih rumit dari aslinya.

The Unexpected Question
Di akhir sesi diskusi ini, salah satu teman transgender melempar pertanyaan: "Apabila suami/istri kalian kepergok sedang 'berhubungan' dengan orang sesama jenis, apa yang akan kalian lakukan?" Pertanyaan yang menarik sekali. Untuk saya sih simpel. Ini sama sekali bukan masalah preferensi seksual. Ini masalah kejujuran, respek, dan juga pilihan sadar.

Reaksi saya kalau hal itu terjadi? Ya ngamuk lah! Dalam hubungan yang sifatnya eksklusif, mbok mau 'hubungan' ini dilakukan pasangan dengan orang dengan jenis kelamin lain maupun sama, saya bakalan tetap ngamuk. Kenapa? Karena ini masalah integritas. Kecuali ada konsesi bahwa ada ruang-ruang untuk orang lain dalam hubungan, maka setiap orang yang terlibat dalam hubungan tersebut dituntut untuk berusaha mempertahankan komitmen. Karena ketika membuat komitmen, ada implikasi dan konsekwensi yang inheren dengan komitmen tersebut. Salah satunya ya dengan cara mengontrol libido dan mengambil pilihan yang sejalan dengan komitmen tersebut. Asumsinya, setiap orang yang sudah dewasa bisa mengerti ini. Tapi ternyata ya nggak juga tuh. *eh, curcol*

OK!! Eh, apa tadi?
Credit: IFAD
Honesty is The Best Policy
Saya mendengar hal menarik ketika menonton salah satu serial di TV kabel beberapa hari berselang: "The only thing that we can control in a relationship is our own honesty. We can only hope that the other person will do the same." Sebuah hubungan yang bermakna; entah itu hubungan asmara, pertemanan, profesional, atau apapun itu; harus dilandasi oleh kejujuran, yang mana akan mengarah kepada rasa saling percaya. And trust requires constant maintenance.

Saya ingat ketika saya melamar di organisasi saya sekarang. Salah satu pertanyaan bos saya ketika itu adalah "Do you know about logframes?" dan dengan PD saya menjawab: "No. What is that?" Keputusan tepat untuk dilakukan, if I might say so myself. Karena tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari, dan dengan jujur tidak akan ada ekspektasi yang tidak sesuai. Toh saya tetap diterima di posisi yang saya lamar, jadi saya mengasumsikan bahwa kejujuran saya diapresiasi. Hahaha...

R.E.S.P.E.C.T
Balik lagi ke pertanyaan tadi. Salah satu teman saya menjawab bahwa apapun yang terjadi, ya sebagai orang terdekat kita harus tetap mendukung. Well, good for you if you can do that, Mas. Terus terang saya mengatakan bahwa saya tidak akan bisa melakukannya. Dan saya juga tidak mau. Does that make me a homophobic? I don't think so. It made me a person that deserves to be treated with respect.

Berbeda dengan keluarga biologis yang sifatnya given, pernikahan merupakan buah dari keputusan yang dibuat secara sadar. Dengan memutuskan untuk menikahi seseorang dari jenis kelamin yang berbeda, bahkan ketika kita mengetahui bahwa kita lebih tertarik (dan juga kompatibel) dengan sesama jenis, kita secara sadar memutuskan akan mengorbankan pihak yang kita nikahi; karena in one way or the other, akan ada pihak yang terluka. Buat saya, ini tidak adil. Ceritanya akan berbeda ketika dari awal ada arrangement antara kedua belah pihak. Yang penting (buat saya, paling tidak) adalah memberikan counterpart pilihan untuk ikut dengan skema yang ditawarkan atau mencari opsi lain yang lebih sesuai.

Post-Script
 
Credit: CultNoise Magazine
As a side note, ketika saya menanyakan pertanyaan ini ke salah satu teman yang closeted gay, dia menjawab: "Ya gua bakal minta cerai lah!" Tidak masuk akal buat saya, tapi bisa saya maklumi juga sih. Buat saya mengagumkan bagaimana tuntutan masyarakat bisa mempengaruhi pilihan seseorang untuk bersikap. Bagaimana kemudian ekspektasi publik bisa memaksa orang untuk menyangkal dirinya, dengan cara yang tidak positif.

As another side note, diskusi kemarin menjalar ke diskusi-diskusi informal lain. Di setiap diskusi tersebut, orang-orang yang berdiskusi dengan saya selalu menggunakan kata 'kita' dan 'mereka' dalam pembicaraan. Bahkan bagi orang yang bekerja di "organisasi berbasis hak" seperti tempat saya bekerja, masih sulit untuk tidak meliyankan kelompok marjinal. Tanpa kita sadari, pola pikir "ya, hal tersebut ada, tapi tidak di sekeliling saya," sebenarnya juga merupakan salah satu upaya menyangkal keberadaan kelompok marjinal. Padahal siapa coba yang bisa memastikan kalau yang diajak bicara itu juga bukan LGB? Barangkalicuma nggak ngomong aja.

No comments:

Post a Comment