Monday, May 27, 2013

Purnama, Sutra, dan Lampu Kilat

The Background 
Sehari sebelum Waisak, saya menemukan artikel ini di facebook.  Setelah saya membacanya, saya merasa bisa memahami persepsi penulisnya, maka saya memutuskan memajang artikel ini di dinding facebook saya. Niatan saya ketika memasang laman ini di dinding saya cuma satu: mengingatkan orang-orang bahwa tindakan yang seringkali kita lakukan tanpa niat jahat (dalam hal ini mengambil foto 'atraksi pariwisata') ternyata mengganggu hak asasi orang lain, dan membuat orang tersebut merasa terganggu. Apalagi karena ini bukan isu baru, melainkan sudah saya dengar beberapa tahun berturut-turut; maka terdoronglah saya untuk melakukan (bahasa kerennya) awareness raising ke masyarakat luas.

Beberapa teman saya rupa-rupanya juga memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Berarti saya bukan satu-satunya yang merasa bahwa hal ini merupakan masalah. Sepemahaman saya, orang beribadah butuh ketenangan. Apalagi ketika sekuens peribadatannya melibatkan sesi meditatif. Naah, mendekati orang yang lagi asik bermeditasi kemudian dengan semena-mena mengambil foto dengan menggunakan flash pasti akan mengganggu orang yang sedang beribadah dong. That's just common sense. Saya tidak percaya bahwa orang tidak punya pemahaman ini. Kecuali, kalau mungkin mereka nggak pernah kusyuk beribadah ya. Sayangnya, for the sake of a good photo, orang mengabaikan pemahaman mendasar ini. Apakah salah berusaha mengabadikan momen indah? Menurut saya tidak. Tapi kan ada metode yang lebih ramah. Gunakanlah lensa tele dari jarak yang tidak akan mengganggu dan jangan ribut ketika ada orang yang sedang berdoa.

Tapi yang membuat saya sedih bukan karena fenomena ini masih saja terjadi setelah beberapa tahun, tapi karena respon yang diberikan orang-orang atas artikel ini. Buat saya, ketidakpekaan yang ditunjukan orang-orang terhadap orang yang sedang berdoa ini merupakan salah satu indikasi bahwa toleransi belum terinternalisasi dalam pemikiran para pelakunya. Ya, saya setuju dengan penulis artikel ini. Untuk saya ini masalah intoleransi. Tapi ternyata banyak orang tidak berpendapat demikian.

The Opinions
Bukan intoleransi? I beg to differ!
"Ini bukan soal toleransi atau bukan. Jangan dicampuradukan soal ketidakbecusan mengatur dengan toleransi. Yang disebut tidak toleransi adalah ketika umat budha di Borobudur sedang ibadah terus di usir atau di bom. Itu baru disebut tidak toleransi," tulis seseorang yang tidak saya kenal di dinding facebook teman saya. Menyedihkan. Orang baru mau mengakui intoleransi ketika sudah ada bom yang meledak. Saya pernah berada dalam gedung yang porak poranda karena ledakan bom, dan untuk saya itu sudah level intoleransi yang paling tinggi. Sayangnya, rupa-rupanya masih banyak anggota masyarakat menolak mengakui bentuk-bentuk intoleransi yang lebih rendah dan memilih mengabaikan indikasi-indikasi intoleransi. Akibatnya, ketika bom meledak baru deh semua ribut, padahal mungkin kalau potensi konflik ditangani lebih awal, tidak akan sampai ke tindakan yang seekstrim pengeboman.

Banyak juga yang merasa bahwa artikel ini seperti memprovokasi hubungan mayoritas dan minoritas, terutama karena si penulis menulis bahwa orang Islam pastilah marah apabila ibadah Shalat Iednya diganggu orang-orang yang tiba-tiba menyelinap di antara saf. Menurut saya sih, kata-kata ini bukan bertujuan untuk memprovokasi, tapi memberi ilustrasi. Manusia lebih mudah memahami ketika ada ilustrasi dibandingkan ketika membicarakan konsep yang abstrak. Terbukti kan, baru membayangkan ibadahnya diganggu saja sudah banyak orang yang bertindak defensif.  

"...padahal kalo aturannya disampaikan apa yang boleh dan apa yang enggak, dan ada enforcement penegakan aturan tersebut oleh otoritas kan beres." Aduuh, kesannya kayak ketika ada orang melanggar lampu merah terus orang lain berkata "polisi sih, nggak nilang orang-orang kayak begitu!" Sampai kapan sih kita mau menjustifikasi kesalahan orang dengan menyalahkan lemahnya penerapan hukum? Saya setuju kok panitia acara sebaiknya menerapkan aturan yang lebih ketat. Mereka seharusnya memberikan batasan yang jelas antara tempat peribadatan dan penonton. Tapi untuk saya yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran dalam pikiran masing-masing orang bahwa toleransi dan saling menghormati sesama manusia itu penting. Buat saya tidak cukup memaklumi keberadaan pihak lain, lebih penting untuk mengakui bahwa orang lain itu manusia seperti kita, dengan hak dan kepentingan yang sama. Pengakuan itu juga harus benar-benar kita percayai sehingga terwujud dalam kelakuan kita sehari-hari. Tanpa pemahaman itu, kata 'toleransi' hanya menjadi sesuatu yang superfisial. Iya sih, aturan bisa membuat kita hidup lebih teratur, tapi apa gunanya tanpa keinginan kita mengatur diri sendiri? Rasa-rasanya jadi terkesan seperti omong kosong.

"Tapi what do u expect ? mereka turis," tulis orang asing lain. Yang saya harapkan? Nggak banyak. Cuma semua orang sungguh-sungguh meyakini pentingnya toleransi dalam arti luas; ditambah kesadaran untuk menghormati orang lain dengan kepentingan yang berbeda. On second thought, mungkin ini hal besar untukk diminta. Tapi untuk awalnya saya ingin orang-orang menyadari bahwa pendapat orang itu penting. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar, meskipun itu hanya opini satu orang, hal ini perlu disikapi tidak hanya dengan otak, tapi juga dengan hati. Dengan kesadaran penuh bahwa semua manusia itu setara. Tidak mungkin kita bisa menangani keluhan tersebut ketika kita belum menganggap pihak lain tersebut sama dengan kita. 

Pendapat lain yang bikin saya geregetan setengah mati: "Dari pelajaran anak SD, kt belajar : Islam beribadah di MASJID, nasrani di GEREJA, hindu di PURA, buddha di VIHARA, tapi ga disebutin di candi," oke, argumen ini mungkin bisa dikatakan oleh anak SMP. Tapi apakah masih layak digunakan oleh orang yang merasa dewasa? Kata orang, tak kenal maka tak sayang; dan untuk saya, pernyataan ini mengindikasikan bahwa orang-orang tidak merasa penting untuk mencari tahu tentang orang lain, kebudayaan lain, dan kepentingan lain. Orang-orang merasa nyaman dengan mengetahui tentang kelompok mereka sendiri sampai-sampai mematikan sensitivitas mereka terhadap keberadaan kelompok lain yang, kenyataannya, dalam banyak hal berbeda dengan diri mereka.

The Conclusion?
Saya tidak bagus dalam membuat kesimpulan. Banyak tulisan saya di blog ini sifatnya menggantung karena saya tidak mau membuat konklusi. After all, tulisan-tulisan ini murni pendapat pribadi saya dan bukannya analisa akademis yang bisa diambil kesimpulan rigid-nya. Saya cuma berdoa semoga kita bisa lebih sensitif terhadap orang lain dan tidak terlalu egosentris. Tidak ada manusia yang sempurna, maka berhentilah menempatkan diri kita di paling atas. Kata nenek-kakek, di atas langit masih ada langit. Perbaikan hanya bisa terlaksana ketika setiap orang punya keinginan bukan hanya untuk mengubah keadaan, tapi juga mengubah diri sendiri. Satu hal yang jelas-jelas perlu kita ubah? Mungkin baliho di bawah ini ya..


*tepok jidat*

----------------------------------------------
*kedua gambar ini diambil dari dinding facebook. Apabila anda merasa anda yang mengambil gambar-gambar tersebut, tolong hubungi saya.

No comments:

Post a Comment