Monday, January 4, 2016

Hepi Hepi 2016

Semakin kita beranjak dewasa (untuk tidak mengatakan tua), semakin kecil arti selebrasi hari besar. Entah kenapa, merayakan beberapa hari besar jadi terasa banal. Terutama ketika makna dari perayaan tersebut jadi hilang, atau mungkin memang sejak awal tidak pernah merasuk dalam perasaan. Jadinya cuma celebration for celebration's sake. Semacam: pada beriang ria nih, yah saya ikutan aja lah. And this kind of way to celebrate is fun for a while, sampai pada saat menikmati keriaan bersama temanpun sudah menjadi sebuah kebutuhan sosial, dan bukan sarana pemuasan spiritual. *halah, kok susah menemukan bahasa yang cocok ya..*

Bukannya saya nggak suka keriaan sih, but as I become older, saya jadi jauh lebih selektif dalam memilih teman-teman saya beriang ria. I have a very small circle of friends with whom I am comfortable with. Sisanya ya cuma jadi social prerequisite. Bukan berarti saya nggak bisa bersenang-senang dengan mereka. Tapi mungkin bersenang-senang sudah tidak jadi prioritas lagi buat saya kali ya. Geez, I sound like a geezer!

Tapi jangan salah paham ya, saya bukannya sama sekali nggak suka selebrasi. Masih ada juga kok hari-hari libur dan/atau hari besar yang membuat saya bersemangat. Paskah dan Valentine misalnya. Eh, Valentine itu masuk hari besar nggak sih?

Anyway, saya menulis artikel ini karena beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel Antonio Gramsci berikut yang mengritisi soal perayaan tahun baru. Udah, nggak usah kaget gitu saya baca Gramsci. Kebeneran aja linknya ada di timeline, makanya saya klik.

Somehow, the article clicked. Konsepsi satuan waktu yang berlaku umum membuat kita mempercayai ilusi bahwa di setiap transisi antar satuan waktu ada permulaan baru. Dan ini terjadi setiap pagi, setiap hari Senin, setiap tanggal 1, apalagi setiap tanggal 1 Januari. Kita ingin percaya bahwa di setiap transisi ada awal baru untuk kita, meskipun pada kenyataannya hidup kita terus berjalan tanpa jeda. Hal yang terjadi tahun lalu tidak bisa dihapus begitu saja hanya dengan membuang kalender dan menggantung kalender baru. Kerjaan yang masih pending masih harus dikerjakan. Orang yang kita sakiti juga masih kesakitan.


Okay, at this point, pendapat saya jadi berbeda sama Gramsci. Kalau dia lebih optimis, pemikiran saya agak sedikit lebih gelap. Sedikit aja kok tapi. Beda dengan dia yang ingin setiap hari menjadi awal yang baru, saya berpendapat bahwa kita harus lebih realistis. Nggak usahlah memaksakan diri membuat resolusi berjamaah karena externally imposed milestone begitu. We all will change at our own pace. Nggak usah dipaksakan.

That being said, terlepas dari seberapapun kelamnya isi kepala saya, saya sukaaaaaa kembang api! Jadi ya, malam tahun baru kemarin tetap menikmati juga sih. Tuh kan. Labil.

No comments:

Post a Comment