Tuesday, April 5, 2016

Batman v Superman: Inequality, Paranoia, dan Disfungsi Komunikasi

Weekend lalu saya pergi dan menonton Batman V.S. Superman: Dawn of Justice yang (thanks to the rave reviews) sepiiii.. Setelah dibombardir dengan film-film superhero Marvel yang cenderung berwarna (literally), menurut saya film ini bagaikan angin segar. Yah, angin segar di tengah gelap badai sih. But refreshing nevertheless. After all, what do you expect when Christopher Nolan's the producer?

Infografis diambil website Oxfam. Silahkan baca laporan
lengkapnya yang berjudul "An Economy for the 1%"
di sini, tapi jangan berharap menemukan nama Bruce
Wayne ya...
Sebelum masuk dalam pembahasan soal filmnya, I must admit that I would always choose Batman over Superman. Kenapa? Karena Bruce Wayne tidak punya metahuman powers, kecuali mungkin fakta bahwa dia termasuk di dalam "62 orang yang menguasai sumber daya yang sama seperti setengah sumber daya dunia" (Oxfam, 2016).

Tanpa visi, kemampuan, dan kecerdasan beliau tidak mungkin bisa mengepalai two-men vigilante operation, terutama ketika harus menghadapi musuh yang metahuman. Brains over brawls, girls! Brains over brawls...

Film dan karya-karya kebudayaan seringkali mencerminkan keadaan riil dalam masyarakat ketika karya tersebut dibuat, Menurut saya, plot dalam film ini sangat relevan dengan keadaan kekinian. Film ini berhasil menggambarkan bagaimana paranoia dapat tereskalasi menjadi konfik terbuka untuk mengakomodasi kepentingan segelintir orang yang belum tentu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat.

Illegal Alien
Tapi dia unyuuuuu... (Photo Credit: Warner Bros)
Superman is an alien. Terlepas dari fakta bahwa dia sudah secara de facto sudah dinaturalisasi.

Kenyataannya, banyak hal yang tidak kita mengerti tentang Kryptonian. Dan kita tidak punya cara untuk mengetahui lebih jauh. Lha wong kebudayaannya sudah hancur.

Satu-satunya sumber informasi yang ada juga hanya bisa diakses oleh Kal-El yang notabene keturunan Kryptonian. Hal ini menjadikan Kal-El suatu keanehan. Enigma. Anomali. And therefore, a threat.

Pada dasarnya manusia punya kecenderungan untuk berkelompok dengan orang-orang yang serupa. Karena itulah kita menciptakan beragam identitas. Supaya kita bisa merasa aman ketika kita berada dalam satu kelompok yang sama. Perlu? Mungkin juga. Tapi sayangnya perasaan aman ini mempunyai efek samping: xenofobia.

Ketidakberdayaan dan Ego
Sebagai metahuman, Superman punya kemampuan yang tidak dimiliki mayoritas manusia. Hal ini disadari oleh Bruce Wayne dan Lex Luthor. Hal ini sedikit banyak menimbulkan perasaan tidak berdaya. Makanya mereka mati-matian mencari senjata yang bisa digunakan untuk membunuh (atau minimal melumpuhkan) Superman. Dalam rangka menjustiifikasi pencarian ini, mereka mengatasnamakan seluruh umat manusia. Kok saya jadi ingat teman saya (keturunan Tionghoa) yang tadi siang ngomel gara-gara Jaya Suprana mengatasnamakan orang keturunan Tionghoa dalam argumen anti-Ahoknya ya. :-D

Perasaan tidak berdaya ini kemudian mengusik ego Bruce dan Lex. Mereka selama ini ada di dalam posisi priveledged dalam masyarakat. Eh ternyata di atas langit masih ada langit. Berbeda dengan mereka yang diuntungkan karena sumber daya yang mereka kontrol, priveledge Superman inheren dengan dirinya. Coba bayangkan betapa menyebalkannya hal ini bagi Bruce dan Lex. Orang dari kelas yang jauh lebih rendah dari mereka bisa mendapat exposure dan penghargaan jauh lebih besar dari masyarakat tanpa berusaha terlalu keras. And we all know what happens to men when their ego are disrupted, no? *wink wink*

Minim Komunikasi
Dalam setiap hubungan yang berhasil, ada komunikasi yang fungsional. Batman dan Superman tidak punya ini. Satu-satunya kontak nyata yang terjadi di antara mereka berdua sebelum berantem adalah ketika Clark nguping pembicaraan Bruce dan Alfred di pesta Lex Luthor. Di adegan inipun tidak ada upaya serius untuk saling mengenal satu sama lain. Emang susah ya, kalau ada dua Alpha Male dalam ruangan. Bawaannya pengen beratem aja.

Padahal coba kalau di saat itu mereka ngobrol dengan pikiran terbuka dan berusaha mengenal dan mengetahui background story satu sama lain. Bukan tidak mungkin mereka bakalan jadi BFF kan? Atau minimal jadi sekutu lah yaaa...


Atau mungkin cuma butuh Jimmy Kimmel...


American Idol
Satu hal yang mengkhawatirkan dari film ini adalah distopia dimana ada milisi yang tampak sangat berdedikasi untuk mendukung Superman, terlepas dari fakta bahwa dia digambarkan sebagai lalim. (Yay Ezra Miller!)

Mungkin dikarenakan perasaan tidak berdaya dalam dunia, manusia senantiasa merindukan sosok mesiah yang bisa diikuti dan diidolakan. Dalam film ini, tokoh tersebut adalah Superman. Dalam dunia nyata, bisa saja tokoh itu jadi Ahok atau bahkan Haji Lulung.

Punya idola sih oke-oke saja. Tapi selalu ingat bahwa idola juga manusia yang tidak mungkin bisa memenuhi 100% ekspektasi kita. Hati-hati nanti kasusnya jadi kayak Aung San Suu Kyi. Kecewa. Bahkan seorang Superman saja dalam film ini gagal mencegah bom bunuh diri yang menewaskan banyak orang di Capitol Hill. Makanya nggak usah mengkultuskan manusia (atau bahkan Krypronian) deh. Musyrik juga.

No comments:

Post a Comment